Sejak sebelum kawin (biasalah, anak Hukum bilangnya kawin, bukan nikah), saya dan Buya bersepakat untuk saling memahami pekerjaan masing-masing. Pekerjaan saya terikat waktu Senin sampai Sabtu, 8 sampai 14. Sedangkan pekerjaan Buya tidak terlalu terikat waktu kecuali pada waktu-waktu tertentu di mana kehadirannya di lokasi proyek merupakan suatu kewajiban. Karena pekerjaan Buya masih ada toleransi waktunya, maka Buya lah yang sering bolak-balik antara Ende dan Aloripit. Sejauh 92 kilometer jauhnya jarak antara kami jika Buya harus pulang ke Aloripit untuk mengurus pekerjaan. Jika situasi sudah kondusif, baru lah Buya ke Ende.
Rasakan sensasi Sejenak Lupakan Gadget di Nara Coffee.
Long Distance Relationship (LDR) sudah biasa kami jalani sejak masa pacaran. Kompensasinya, setiap selesai shalat Maghrib Buya pasti video call (vc) hingga adzan shalat Isya berkumandang dari Masjid Al Ikhlas Aloripit. Sampai-sampai pernah beberapa hari kami tidak vc-an, Puan (Mamanya Buya) bertanya-tanya, kok sepi-sepi amat 😁 Maklum, kalau vc itu kita selalu ramai. Ada Al dan Nasha nimbrung, kadang banyakan ngobrol sama Nasha (bocah ini doyan bernyanyi sampai khatam satu album). Banyak cerita, banyak tawa, terus saling pamer makanan.
Biasanya Al paling suka tanya soal kudapan (aneka kue) karena kadang-kadang kan saya membikin sendiri kudapan macam risol dan dadar. Kalau tidak, bisa dipastikan selalu ada biskuit dan cemilan lain punya si Indra dan Thika. Paling jengkel kalau Buya mulai terpancing dan ikut pamer makanan macam bebek bakar atau ayam bakar. Puan kan memang memelihara bebek dan ayam di belakang rumah. Jengkel sekali melihat mereka mencocol daging ayam bakar ke sambal 😂 bisa-bisa asap keluar dari ubun-ubun saking jengkelnya.
Kamis malam Buya mendadak pamer kepiting bakar. Tinggal cangkangnya saja. Begitu banyak piring dan nampan di atas lantai. Rupanya mereka makan bersama-sama dengan keluarga samping rumah, Bapaknya si Inka. Sampai ngiler melihatnya. Kata Buya, "Nanti ke Ende saya bawakan untuk Ine." Saya pikir masih lama Buya ke Ende karena pekerjaan di sana sedang mau finishing. Tak disangka, saat saya pulang dari rumah duka (keluarga), melihat sepeda motor Buya sudah parkir manis di teras Pohon Tua. Horeee. Abang pulang.
Buya menunjuk satu kardus di atas kursi sambil bilang, "Itu kepitingnya." Lantas terdengar suara kresek-kresek halus dari dalam kardus. "Kepitingnya masih hidup."
😅
Demi isteri bawa kepiting hidup 92 kilometer.
Terima kasih, Buya.
Kepitingnya masih terikat di dalam keranjang. Kemudian sama Mama Len dibersihkan, dipotong, lantas direbus. Saya meminta Mama Len menyiapkan bumbu dasar (bawang merah, bawang putih, kunyit, garam), dan tambahan santan Kara. Iyess, kepiting yang sudah direbus tadi lantas dimasak kari simpel. Sesimpel saya 😋 Rasanya? Aiyooooh, enakkkk! Kepiting tanpa bumbu apa pun sudah enak, apa lagi dimasak begitu. Kata Mama Len, "Selama ini cari cumi-cumi di pasar tidak ada, eh hari ini masak kepiting." Maklum, sudah berhari-hari saya dan Mama Len pusing mengantur menu makan di rumah. Ikan melulu: ikan potong, ikan ekor, ikan asin, kadang ayam, kadang perkedel. Pengen cumi-cumi, belum musim kata bapak-bapak di pasar.
Kami pengen bisa menginap di De' Barbara Cafe, Resto, and Villa.
Tapi katanya Muslim haram memakan kepiting? Eits, tunggu dulu. Ini kepiting laut, bukan kepiting darat. Buya Yahya menerangkan bahwa kepiting yang diharamkan dalam mazhab Syafi’i ialah jenis kepiting yang hidupnya di darat. Halal untuk dimakan. Alhamdulillah. Kepiting kari + nasi panas. Aiyooohh!
Selamat menikmati malam Minggu!
Cheers.
Saya kalau makan kepiting gak tau apa yg mau dimakan 😂😂😂 tapi kepiting Soka bumbu telur asin itu maknyuss
BalasHapusHahahahaha kami harus siapkan cobek buat menghancurkan cangkangnya dulu tu Om... :D
Hapusitu dikuah santan ya? bikin ngiler aja mb :)
BalasHapus