Saya selalu dipandang sebagai orang yang baik-baik saja. Tidak pernah susah. Status media sosial selalu ceria. Artikel di blog membahas hal-hal general seperti dunia pekerjaan, produk DIY, atau dunia traveling. Kalau bercerita, selalu cerita gembira berujung tawa. Tapi itu pendapat orang lain yang dilayangkan, langsung, pada saya. Sejujurnya saya tidak selalu baik-baik saja. Hanya saja, mengutip pandangan hidup pendiri Universitas Flores (Uniflor) Opa Ema Gadi Djou: Hati yang riang gembira adalah obat. Pun mengutip apa yang disampaikan Bapak Aladin Yunus dalam sebuah ceramah saat saya SMA: Harus bersyukur atas segala nikmat dan musibah yang dicobakan Allah SWT pada umatNya. Harus selalu bersyukur? Iya! Jika tangan kananmu cidera, bersyukurlah tangan kiri tidak (cidera).
Baca Juga: Mengenal PhotoScape Untuk Keperluan Sunting Foto
Tidak terbiasa memburai-burai usus ke jalanan merupakan falsafah hidup saya terutama pada masa digital seperti sekarang; orang-orang marah di media sosial, sedih di media sosial, bahkan berdoa pun di media sosial. Tidak semua teman di media sosial dapat diandalkan sebagai teman susah. Jadi, biarkan energi positif saja yang diburai di media sosial, di blog, atau pada teman-teman sekitar dalam obrolan-obrolan ringan. Yang lainnya biar saya dan Allah SWT saja yang tahu. Tapi dengan menulis ini, akhirnya kalian tahu bahwa saya tidak selalu baik-baik saja. Ha ha ha.
Terdorong menulis ini pun karena I am not alone. Setidaknya ada tiga perempuan tangguh yang saya kenal selalu ceria tetapi mereka mengalami cidera parah.
"Tangan kiriku ini sulit bergerak bebas. Terus sekarang kalau kaki terlalu lama beraktifitas, sakit di bagian lutut," ujar Indri, seorang teman baru, teman binti teman, yang minggu kemarin berada di Kota Ende untuk suatu urusan, saat kami menghabiskan malam Minggu di street food center Kota Ende di Jalan Soekarno. Syok mendengarnya, dalam hati saya berkata: saya tidak sendiri. Indri yang nampak ceria, ramah, senang bercerita dan mendengarkan cerita, tawanya renyah, ternyata mengalami cidera. Satu dua perempuan mungkin bakal mengeluh tiada jeda. Tapi tidak dengan Indri. Sungguh, dari luar dia terlihat sehat wal bmw ... eh wal afiat. Bahkan saat tiba di rumah saya mengelus kedua mata yang minusnya cuma 2 (kanan) dan 1,8 (kiri) karena kedua mata Indri minus 16 (kanan) dan minus 11 (kiri).
"Sejak kecelakaan bulan November itu Mbak Tuteh, tangan saya yang persendiannya sempat copot ini sakit sekali kalau tidur miring ke kanan. Lutut kanan saya juga sulit sekali diajak sholat normal terlebih saat tahiyat akhir. Sakitnya bukan main! Makanya saya sering sholat duduk." Lain Indri, lain lagi Ummi Fat. Pendidik yang selalu ceria ini bercerita pada saya tentang cidera yang dialaminya ketika kecelakaan di mana dia berusaha menahan berat sepeda motor demi menyelamatkan anaknya di boncengan. Ummi lantas meluruskan ke depan kedua tangannya yang ... tidak simetris. Salah satunya bengkok. Saat saya juga meluruskan kedua tangan ke depan, Ummi terkejut. Ternyata kami sama. Pada Ummi saya menyarankan pergi ke fisioterapis: Ibu Ningsih.
Tidak pada Ummi saja, pada Flori Dida pun demikian, saya sarankan untuk pergi ke fisioterapis yang sama. Bagi kalian yang sudah lama membaca blog ini, pasti tahu saya punya seorang sahabat bernama Flori. Bedanya Flori dengan Indri dan Ummi adalah, bayangannya Flori saja sudah mengajak kita terbahak-bahak. Iya, super ceria. Bawel? Pasti. Di balik keceriaan Flori tersimpan nyeri pinggang akibat jatuh/kecelakaan.
Tidak semua yang kalian lihat itu betul. Ceria, iya. Cidera, juga iya.
Siapa sangka saya yang tidak pernah mengeluh ini mengalami cidera otot yang disebut frozen shoulder? Lengan kanan saya nyerinya minta ampun. Oleh karena itu saya harus difisioterapi di klinik Ibu Ningsih. Tulang ekor saya bengkok dan nyeri akibat jatuh pada tahun 2020 yang lalu. Dan kaki saya mengalami kebas (neuropati) akibat diabetes. Ha ha ha. Dan saya masih tertawa bebas seakan-akan 100% sehat. Makanya orang-orang rata-rata tidak percaya kalau saya cidera. Buktinya masih bisa kendarai sepeda motor ke luar kota begitu kok! Embeeerrr ... kalau saya manja, siapa yang bakal boncengin? Bukan, bukan curhat. Tapi permasalahannya, kemandirian itu perlu agar saya pribadi tidak bergantung pada orang lain. Saat ini kaki saya juga diterapi oleh Ibu Ningsih. Dikasih sinar cinta. Eh, sinar infra red.
Baca Juga: Bangkit Dari Cengkeraman Covid-19
Sama seperti pos sebelumnya, tulisan ini juga sudah lama ngedraf dan baru sekarang saya lengkapi, kemudian dipublis. Setelah saya cek lagi, masih banyak draf tulisan, yang bagus, dan rugi kalau tidak dipublis. Karena pengalaman kita bisa jadi pelajaran berharga bagi orang lain. Karena, toh tidak semua yang kalian lihat itu betul. Ha ha ha. Di dunia ini, banyak orang sengaja bertopeng untuk meminimalisir kekuatiran. Salah satunya saya. Biarlah cidera-cidera ini saya sendiri yang rasakan, termasuk bengkoknya tulang ekor, toh kalau pun diceritakan, belum tentu cidera fisik ini dapat sembuh. Ikhtiar saja ya.
Semoga bermanfaat!
Cheers.