5 Hal Yang Menghambat Saya Menulis dan Menyelesaikan Novel. Kata menulis merujuk pada perbuatan. Kata menulis sudah pasti menjadikan orang yang melakukannya disebut penulis. Tetapi tidak semua penulis kemudian menjadi penulis: penulis novel misalnya. Penulis novel sangat jauh berbeda dengan penulis yang menulis tugas Hukum Ketenagakerjaan di lembar double folio untuk dikumpulkan ke dosen. Menulis novel adalah sesuatu yang sulit karena penulisnya tidak sekadar menulis fiksi tetapi juga sebagian fakta yang diperoleh melalui riset terlebih dahulu. Itulah sebabnya sampai dengan saat ini saya belum berhasil menulis dan menyelesaikan novel yang serius, apalagi diterbitkan oleh penerbit. Susah, cuy! Hehe.
Baca Juga: 5 Alasan Kalian Harus Melakukan Flores Overland Sekarang
Tapi bukan saya namanya kalau tidak ngotot menulis novel. Ide-ide berkeliaran di kepala bahkan sampai jadi gembel di jalanan labirin otak. Beberapa memang sudah tertuang pada lembaran MS Word, kemudian tersimpan rapi di folder bernama Jao Tulis (Saya Tulis). Salah satunya dengan sengaja sudah saya publish di blog ini. Judulnya Triplet. Silahkan dibaca. Kalau kalian mau membacanya sih *nyengir*. Sementara itu yang lainnya cuma duduk manis atau ... ngegembel! Masih ada teman yang bertanya, kapan membukukan lagi tulisan-tulisan saya. Kapan, ya? Entahlah. Mungkin menunggu dinosaurus beli terompet menyemangati. Meskipun demikian, saya bersyukur ada sekitar 10 (sepuluh) buku yang memuat nama saya sebagai penulisnya baik solo maupun berkelompok.
Karena saya sendiri yang melakoninya, otomatis saya tahu persis apa saja yang menghambat saya menulis dan menyelesaikan (cerita) novel. Kalian juga mau tahu? Mari kita lihat sama-sama.
1. Terlalu Pemilih (Huruf)
Apakah saya saja, atau kalian juga mengalaminya? Benar kalau orang bilang paragraf pertama itu bakal memakan waktu lebih lama ketimbang paragraf-paragraf berikutnya. Bagi saya, selain paragraf pertama, yang juga memakan waktu lebih lama dari proses menuang ide adalah memilih huruf. Dulu, waktu masih membaca Harry Potter, saya terpikat sama huruf Book Antiqua. Lantas saya memilih huruf Bookman Old Style. Sekilas mirip, tetapi Bookman Old Style lebih terlihat rapi ketimbang Book Antiqua. Sesekali saya mengubah jenis huruf dengan Times New Roman dan Calibri. Sampai kemudian saya membaca buku berjudul Kisah 99 Cahaya di Langit Eropa yang ditulis oleh Hanum Rais. Dan huruf di dalam buku itu begitu memukau! Saya suka!
Maka, saya tinggalkan semua draf novel yang ada dan mulai mengembara mencari huruf tersebut. Tidak saya temukan, memang. Lagi pula di bukunya sendiri tidak menjelaskan jenis huruf yang digunakan. Lantas saya terdampar di sebuah blog bahasa Inggris, di mana huruf yang dipakainya mirip sekali dengan huruf di dalam buku Kisah 99 Cahaya di Langit Eropa. Dengan sedikit klak-klik, ketemu nama huruf itu. Masih dalam keluarganya Generis. Coba tebak? Ah, ya. Rata-rata semua huruf dalam keluarga itu berbayar. Tapi saya berhasil mengunduh satu jenis hurufnya yaitu GenerisSans W-04 Medium. Huruf ini kemudian yang terus saya pakai sekaligus menyemangati saya melanjutkan draf novel berjudul Mai Ka.
Doakan Mai Ka selesai ya, kawan.
2. Mengganti Plot
Ini yang fatal. Bayangkan ketika kalian sudah menulis enam bab, di mana dasar-dasar suatu cerita sudah terbentuk, kemudian mendadak mengganti plot. Oh my God. Artinya menulis ulang satu dua bab, bahkan menulis ulang dari bab pertama! Betapa konyolnya saya. Bukan, bukan karena saya tidak membikin garis besar cerita itu terlebih dahulu. Itu sudah saya lakukan:
a. Ide cerita.
b. Garis besar dalam bab-bab.
c. Untuk poin b, bahkan ada judulnya.
Tetapi, tetap saya, ketika gendoruwo merasuki, saya akan mengganti plot begitu saja. Ini memang fatal karena bisa saja saya justru menulis ulang sebuah cerita dari awal padahal cerita sebelumnya sudah 50% rampung. Mohon jangan ditiru perbuatan ini karena kalian bakal merugi. Rugi waktunya itu yang tidak kuat. Haha. Makanya ini menjadi salah satu penghambat saya menulis bahkan menyelesaikan novel.
3. Paruh Waktu
Namanya bukan penulis, jadi waktunya tergantung kondisi dan prakiraan cuaca. Alangkah senangnya jika punya waktu khusus sekitar enam bulan yang digunakan hanya untuk menulis cerita/novel. Pokoknya bangun pagi langsung menghadap laptop karena menyikat gigi bisa menunggu *plak*. Meninggalkan laptop sesaat sebelum tidur. Berkelanjutan setiap hari, semangat juga terpompa, bisa selesai dengan lekas meskipun ada sela pemilihan jenis huruf misalnya. Tapi ceritanya saya ini kan juga punya hal-hal lain yang harus dikerjakan. Sehingga, menulis novel dilakukan pada saat betul-betul punya waktu kosong. Dan waktu kosong itu ibarat hujan berlian. Sulit untuk bisa 'menemukan' waktu yang 100% kosong tanpa interupsi ini itu. Begitu waktunya ada, eh semangat mengendur.
4. Riset
Ini juga alasan yang membikin proses menulis dan menyelesaikan novel terhambat. Seperti yang sudah saya bilang, meskipun fiksi tapi fakta harus ada. Oleh karena itu setiap menulis: menulis blog atau menulis novel, saya harus melakukan riset. Riset ini berkaitan dengan:
a. Kata yang dipakai
Untuk yang satu ini saya selalu mengandalkan kamus (online) agar tidak salah dalam memilihnya. Benarkah kata yang saya pakai itu sesuai dengan maksud dan tujuannya?
b. Lokasi dan tanggal kejadian
Ini penting. Tidak mungkin lah saya menulis Kabupaten Nagekeo terletak di ujung Timur Pulau Flores. Itu namanya membodohi dan ngasal. Setidaknya untuk fakta-fakta semacam ini, termasuk ciri khas dari suatu daerah, tidak sembarang ditulis.
c. Nama
Meskipun tidak terlalu penting, tapi saya juga fokus pada nama-nama yang dipilih untuk setiap karakter di dalam novel. Misalnya, nama Orang Ende itu umumnya yang macam mana, nama Orang Lio itu umumnya yang macam mana. Karena Suku Ende yang terakulturasi dengan Agama Islam belum tentu ada nama Petrus atau Yohanes. Sama juga, kalau karakternya berasal dari Suku Lio yang terakulturasi dengan Agama Katolik, belum tentu namanya itu Achmad atau Yusuf. Tetapi, karena zaman sudah canggih, nama tidak terlalu dipermasalahkan selama etika pemberian nama itu diperhatikan dengan baik.
d. Lagu
Kalau ada lagu yang mau dimasukkan di novel, lihat lagi, timeline ceritanya itu kapan? Kalau cerita berlatar tahun 2017, jangan pernah memasukka lirik lagu Memories-nya Maroon 5, ya. Itu kesalahan.
Anyhoo, tidak semua Suku Lio beragama Katolik, ada juga yang beragama Islam. FYI saja.
5. Sibuk dan/atau Malas(?)
Jawaban paling mudah. MALAS. Meskipun sebenarnya sibuk juga turut mempengaruhi. Poin nomor 5 ini berkaitan dengan poin nomor 3. Kalau sudah sibuk sama pekerjaan lain, tentu jadi malas untuk melirik draf novel. Ini pengalaman saya pribadi. Kalau kalian adalah superhero yang bisa langsung melanjutkan draf novel setelah disibukkan dengan pekerjaan seharian, itu saya salut. Kadang-kadang sebagai manusia kita berharap bisa diberikan waktu lebih dari 24 jam sehari. Bisa sih, tapi nanti hitungannya sehari koma dua jam. Haha.
Eh tapi ... saat saya tidak menulis blog nyaris sepuluh hari kemarin itu bukan karena malas, ya. Benar-benar sibuk to the max.
⧭
Setiap orang tentu beda-beda. Bisa saja kalian juga mengalami hambatan yang sama seperti saya, bisa juga kalian mengalami hambatan tetapi beda poin dari yang saya tulis di atas, atau bisa juga kalian justru tidak mengalami kendala sama sekali dalam menulis dan menyelesaikan sebuah cerita novel secara utuh.
Baca Juga: 5 Perilaku Sederhana Untuk Mengurangi Sampah Plastik
Sampai sekarang saya masih menyimpan rasa iri, tapi ini iri yang positif, pada teman-teman penulis seperti Kang Iwok Abqary atau Artie Ahmad. Mereka sangat produktif. Tentu ide-ide yang berkeliaran di kepala mereka begitu banyak, dan hebatnya mereka mampu mengatur dengan mengelompokkan setiap ide sehingga mana yang harus ditulis duluan, itu yang dipilih. Saya iri dengan kemampuan mereka, saya iri dengan waktu mereka (mereka tentu pandai mengatur waktu), saya juga iri dengan buku demi buku yang mereka terbitkan. Ini motivasi (iri yang positif). Bahwa insha Allah saya juga bisa menyelesaikan draf novel berjudul Mai Ka.
Amin.
#KamisLima
Cheers.