Gempa 12-12-92 Mengajarkan Kami Tentang Evakuasi. Sebelumnya saya mau menjelaskan, lagi, kenapa akhir-akhir ini sering banget tidak update pos di blog. Selain karena kesibukan yang maha tinggi, Selasa kemarin saya mendadak sakit. Serangan itu begitu mendadak, saat sedang berada di Ruangan Rektorat, tubuh seperti ditiban langit. Anehnya, ketika sudah terkapar di kasur di rumah, tubuh saya meriang hebat tapi saya sama sekali tidak kedinginan. Itu kipas angin malah 'menghantam' diri ini tanpa belas kasih. Dududu. Sampai-sampai saya menulis di Facebook, jangan-jangan ini anomali cuaca karena panas yang luar biasa akibat 'banyaknya proyek pengerjaan jalan'? Dosa, memang, kalau curigation begitu. Tapi kalau kalian berada di Kota Ende, kalian pasti bakal memikirkan hal yang sama. Ini sudah menjadi pemikiran berjamaahnya kami. Haha.
Baca Juga: Sebuah Seni Untuk Melepaskan Sesuatu Yang Bukan Milik Kita
Mari kembali ke judul.
12 Desember 1992, atau banyak yang menulisnya 12-12-92, tanggal cantik bagi siapapun yang ingin melepas masa lajang. Ada dua 12 di situ. Tapi siapa sangka tanggal itu menjadi tanggal yang tidak akan pernah kami lupakan seumur hidup. Hari itu saya pulang lebih awal dengan dua alasan. Pertama: ujian. Kedua: demam. Bapa (alm.) dan Kakak Toto Pharmantara (alm.) sedang bermain Nintendo, game Tetris. Karena mereka sedang menguasai Nintendo maka saya memilih tidur saja. Demam ini. Tidak berapa lama saya mendengar suara Mama baru saja pulang dari sekolah, Mama menegur Bapa dan Kakak Toto untuk shalat, lantas terdengar suara air wudhu di kamar mandi. Iya, kamar saya waktu itu dekat sama kamar mandi utama tempat ember wudhu (dikasih keran dan penyangga sehingga letaknya lebih tinggi) terletak.
Kalau perhitungan saya tidak meleset, Mama baru selesai rakaat ketiga begitu, lalu bumi bergoncang sangat hebat!
Saya pernah menulis tentang gempa ini di dua pos. Jangan bingung, pos tahun 2006 posisi bahasa saya super alay. Saya pikir kalian bakal lebih paham membaca pos pada tahun 2018.
⧭
*aku panik... banged*
Kenapa aku panik? Karena AKU PERNAH MERASAKAN YANG NAMANYA GEMPA DENGAN SKALA 7 RICHTER, MAN!! Gimana ngeliat rumah tetangga rata ama tanah!! Gimana ngeliat orang mati tertimpa rumah mereka sendiri!! Gimana orang2 yang lagi mandi lari TELANJANG keluar kamar mandi dengan panik! Saat itu, 12 DESEMBER 1992, aku yang sedang demam tinggi gak bisa manja2 sama mamah karena keadaan genting banged, tauuu!
By Tuteh Sunday, May 28, 2006 10 komentar
⧭
Saya masih kelas 2 SMP. Baru pulang ujian. Tubuh panas (sakit). Tetapi ketika bumi bergoncang yang dapat saya lakukan hanyalah meloncat dari kasur berlarian membabi-buta ke luar rumah. Perasaan kacau-balau melihat orang-orang memukul panci berteriak "Kami latu! Kami latu!". Teriakan itu berarti "Kami ada! Kami ada!" dan ditujukan kepada 'penjaga' bumi agar bumi tidak 'dia' goncangkan.
By Tuteh Monday, August 13, 2018 0 Comments 5 komentar
⧭
Semua orang berhamburan ke luar rumah, termasuk Bapa dan Kakak Toto yang sedang asyik bertarung angka Tetris, dan melihat tetangga yaitu Nene Rae (alm.) memukul panci sambil berteriak "Kami latu!". Mamatua adalah penghuni terakhir yang keluar rumah. Mamatua menyelesaikan shalat Dzuhur-nya. Ah, Mamatua ... Menurut pengakuan Mamatua, di tengah kepanikan orang-orang di sekitar halaman rumah, saat sedang hendak menuruni tangga rumah, Abang Nanu Pharmantara mengulurkan tangan dan berkata, "Mari, Ma, pegang saya punya tangan!" Malamnya, saat cerita-cerita, baru Mamatua paham yang menolongnya turun tangga itu bukan Abang Nanu karena posisi si anak sulung sedang bersama isteri dan anaknya. Lantas, siapa? Entahlah.
Pada 12 Desember 1992, gempa berkekuatan 7,8 SR mengguncang Kabupaten Ende, Kabupaten Sikka, dan daerah sekitarnya seperti Kabupaten Ngada dan Kabupaten Flores Timur. Di Kabupaten Ende gempa tidak berpotensi tsunami, tapi di Kabupaten Sikka tsunami setinggi 30-an meter yang menenggelamkan Pulau Babi dan menghancurkan daerah tepi pantai (apalagi di Kabupaten Sikka itu pantainya landai tipikal pantai Utara). Keesokan harinya Kakak Toto yang bekerja di P.T. Telkom mengabari kami yang sedang berkumpul di teras rumah dengan perasaan cemas, bahwa CNN mengabarkan Pulau Babi tenggelam. Informasi hanya kami peroleh dari Kakak Toto karena listrik padam total - kalau gempa tersebut disiarkan pun kami tidak dapat menyalakan televisi. Betul-betul saya merasakan suasana yang begitu mencekam.
Rumah kami yang waktu itu bermaterial papan (bagian depan) dan tembok (bagian belakang) tidak rubuh. Meja pimpong dibuka dan dibentang di ruang tamu. Kompor-kompor dipindah ke teras sebagai dapur sementara. Kami melatih diri sendiri untuk:
1. Evakuasi selekasnya.
2. Mandi dan buang air besar selekasnya.
Evakuasi selekasnya: kami beramai-ramai tidur di ruang tamu agar mudah berlarian ke luar apabila terjadi gempa susulan, dan iyess gempa susulan terjadi terus-menerus bahkan sampai sebulan dua bulan. Setiap kali gempa susulan, Kakak Didi Pharmantara bakal berlari hingga ke jalan besar dengan wajah pucat pasi. Kata Mamatua, wajar saja, Mama sedang mengandung Kakak Didi saat bencana alam Gunung Ia meletus dulu. Hehe.
Mandi dan buang air selekasnya: kami tentu tidak ingin menjadi korban, dan harus berupaya untuk menyelamatkan diri, salah satunya dengan tidak latihan olah vokal di kamar mandi dan membaca novel Wiro Sableng saat sedang buang air besar. Haha.
Dua atau tiga hari kemudian saya ijin pada Bapa untuk jalan-jalan keliling kompleks. Bapa mengijinkan tapi dengan syarat kalau terjadi gempa jauhi rumah atau bangunan apapun serta jauhi tiang listrik alias carilah lapangan terdekat. Noted. Miris sekali perasaan saya melihat rumah tetangga pada rubuh rata dengan tanah. Rumah Ibu Imam, ibudannya Mas Yoyok sekeluarga, atapnya menempel dengan tanah. Ya, Tuhan. Sungguh ... menyakitkan. Saya juga melihat tenda-tenda didirikan sebagai tempat berlindung masyarakat. Banyak tenda berdiri di halaman-halaman rumah. Banyak lelaki yang bekerja membersihkan puing-puing, mungkin masih ada barang yang bisa diselamatkan. Terutama pakaian, kasur, bantal, selimut. Maklum, tidur di tenda tidak sama dengan tidur di rumah. Udara dingin tentu sangat menusuk. Sama juga seperti kami sekeluarga yang tidur di ruang tamu dengan posisi pintu membuka lebar. Angin malam menjadi sahabat karib selama berbulan-bulan.
Bantuan mulai berdatangan. Ada yang dari pemerintah seperti pembagian selimut, mie instan, hingga pembagian air bersih. Ada yang dari kantornya Kakak Toto. Ada pula dari keluarga besar kami di Surabaya. Alhamdulillah ... mengingat toko-toko belum semuanya dibuka. Di mana kami bisa membeli sembako waktu itu? Sekeping kerupuk sangat berarti. Hehe. Tapi yang jelas, semua informasi tentang gempa ini kami peroleh dari Kakak Toto. Setiap hari ada saja informasi baru atau berita baru yang dibawa pulang oleh Kakak Toto.
Saya lupa, sebulan atau tiga bulan, kemudian anak sekolah sudah kembali masuk sekolah. Syarat dari sekolah adalah: memakai celana panjang atau celana selutut dan membawa tikar. Kami bersekolah di bawah pohon rindang di sekitar sekolah, SMPN 2 Ende. Asyik juga belajar outdoor. Tapi belajar outdoor kami bukan karena kurikulum melainkan karena force majeur. Satu pelajaran yang paling saya ingat saat belajar outdoor adalah Klitika, pelajaran Bahasa Indonesia, oleh Ibu Siti.
Tapi ... di manakah Petrus?
Ini pertanyaan sejak hari pertama gempa mengguncang. Petrus adalah anak dari suatu desa yang tinggal bersama kami. Sejak hari gempa, dia menghilang. Kata Bapa, kemungkinan Petrus pulang ke desanya bertemu orangtua. Tapi, bukankah banyak kendaraan umum yang tidak beroperasi? Seminggu kemudian pertanyaan kami terjawab. Petrus kembali ke rumah sambil membawa sekarung sayuran dan seekor ayam. Dengan wajah lugunya dia bercerita bahwa berjalan kaki dari Ende ke desanya (sekitar 20 kilometer) memang melelahkan. Kadang dia berlari agar lekas tiba. Dia kuatir pada kedua orangtuanya. Alhamdulillah orangtuanya baik-baik saja. Kondisi mereka di desa jauh lebih baik karena untuk urusan makan-minum selalu ada: kebun dan sumber mata air. Jangan-jangan inilah yang menyebabkan saya punya impian tinggal di desa? Haha.
Baca Juga: 5 Perilaku Sederhana Untuk Mengurangi Sampah Plastik
Gempa mengajarkan kami banyak hal. Salah satunya tentang evakuasi. Di rumah, sejak Mamatua stroke (tahun 2009) dan sejak sering terjadi gempa-gempa kecil, kami belajar mengevakuasi Mamatua. Instruksi dan latihannya lancar jaya. Tetapi suatu malam saat hujan dan gempa kecil terjadi, pada prakteknya begitu sulit karena Mamatua kan juga bertubuh besar dan posisi saat itu belum kami pakaikan kursi roda. Hehe. Indra dan Thika sudah berupaya membimbing Mamatua keluar rumah, kena hujan, eh gempanya berhenti. Latihan evakuasi akan menjadi lebih mudah, kini, karena kami tinggal mengangkat Mamatua ke kursi roda dan mendorongnya ke luar rumah. Tapi yang jelas, selalu berdoa memohon perlindungan Allah SWT.
Bagaimana dengan kalian, kawan? Pernah kah kalian mengalaminya juga? Pernahkah gempa bumi terjadi di daerah kalian? Bagi tahu di komen.
Mengenang 27 tahun gempa Flores.
#KamisLegit
Cheers.