Teknik, Koreo, dan Seni Pada Sesi Foto Preweding. Sudah lama sahabat yang sudah saya anggap adik sendiri, Mila Wolo, meminta bantuan untuk foto prewedding. Prewedding-nya Mila dan kekasihnya yaitu Aram Ismail, bukan saya. Kita sepemahaman dulu dalam hal ini. Hahaha. Adalah sesuatu yang sulit menyatukan waktu begitu banyak orang. Menyatukan waktu Mila dan Aram saja harus mundur dari minggu ke minggu. Maklum, Mila menetap dan bekerja di Kota Ende, Aram yang asli Ende menetap dan bekerja di Kecamatan Pulau Ende. Mereka dipisahkan air garam. Hehe. Sedangkan kami yang membantu terwujudnya sesi foto prewedding itu juga punya aktivitas dan kesibukan sendiri.
Baca Juga: Proshow Aplikasi Sunting Video Jadul Tapi Menarik Diulik
Pada akhirnya kesepakatan itu tiba. Sabtu, 21 September 2019, kami melakukannya. Sesi foto prewedding, bukan melakukan yang lain. Siapa-siapa yang terlibat dalam kegiatan ini selain saya?
1. Anto Ngga'a.
2. Kiki Abdullah.
3. Thika Pharmantara.
4. Solihin.
Sebenarnya ada seorang lagi yang saya ajak tapi dianya tidak bisa. Atau tidak mau? Ah, entahlah. Pokoknya dia tidak ikut. Eh? Kok jadi ngotot menulis si dia ini? Ah, sudahlah. Saya dan Anto Ngga'a harus minta ijin di kantor, keponakan saya Kiki pun harus mengurus tiga ibu hamil terlebih dahulu di puskesmas, Solihin (calon suaminya Kiki) sedang free time, Thika sedang tidak kuliah. Mari berangkat! Ada beberapa lokasi yang disepakati, termasuk dengan wardrobe yang sudah saya susun dan sebarkan ke para anggota huru-hara ini.
Lokasi Andalan yang Tutup
Merupakan kebanggaan kami, Orang Ende, bisa foto prewedding mengenakan pakaian adat dan difoto di rumah adat (manapun). Pukul 10.30 Wita sepakat berkumpul di depan Museum Tenun Ikat yang berbentuk rumah adat/panggung itu. Ndilalah area Taman Renungan Bung Karno (yang bertetangga dengan) dan Museum Tenun Ikat ditutup total. Tidak ada seorangpun yang diperbolehkan masuk. Siapalah kami, rakyat jelata yang cuma sedang mencari lokasi foto prewedding. Lokasi andalan yang tutup ini mengantar kami ke Pantai Mbu'u. Sebuah pantai dalam perjalanan menuju Wolotopo. Cuuuuum!
Matahari Tengah Kepala
Sangat sulit bagi Anto mencari spot dan titik bidik terbaik. Pukul 11.00 seharusnya sudah mulai sesi foto, tetapi Kiki dan Solihin malah baru tiba di Pantai Mbu'u. Dan, Kiki tidak mau kedatangannya sia-sia. Dia harus merias si Mila terlebih dahulu. Pokokny! Apalah daya ... kami pun menunggu dengan tabah ... sambil meminta Thika menulis papan ini. Oh ya, papan mini ini saya pesan di Melky, mahasiswa yang KKN-PPM di Desa Ngegedhawe. Sebenarnya papan tulis (hitam) tapi dia sudah terlanjur membikin warna cokelat. Hajar saja.
Setelah menunggu sekitar setengah abad, Mila pun sudah selesai dirias. Mari kita memulai! Dan Anto semakin pusing kepala karena matahari sudah berada di tengah kepala alias sulit mendapatkan titik untuk membidik karena kami juga tidak membawa reflektor. Aslinya sih memang tidak punya reflektor, tapi kan kami bisa meminjam pada teman-teman fotografer. Ya sudahlah, semangat tidak boleh kendor. Mari kita abadikan!
Dari lokasi Pantai Mbu'u kami meluncur ke bakal kafe yang masih sedang dipersiapkan untuk dibuka. Lokasinya tidak jauh-jauh dari Pantai Mbu'u. Untungnya diijinkan untuk foto-foto di sana sama pemiliknya, cus kami menambal perut dengan menu-menu yang disiapkan sama yang punya gawe. Hahaha. Sambil makan, gantian mengarahkan gaya / koreo untuk Aram dan Mila. Gantian sama si Kiki.
Gedung Imaculata, gedung bersejarah tempat Bung Karno mementaskan tonil-tonilnya, merupakan lokasi berikutnya. Lokasinya hanya lima langkah dari Pohon Tua (rumah saya). Tapi hari itu kami tidak mampir ke Pohon Tua terlebih dahulu melainkan langsung ke gedung tersebut. Dulu saya memang termasuk orang yang tidak setuju Gedung Imaculata dipugar 100% sampai kehilangan bentuk aslinya. Aaaah, siapalah saya. Haha. Yang penting sekarang bisa dinikmati oleh siapa saja.
Dan yang punya gawe malah sakit perut! Menunggulah kami *ngikik*.
Untuk sesi foto di Gedung Imaculata, make up harus diganti sama yang lebih tebal hahaha. Kiki kembali beraksi dan kami yang lain menunggu dengan sabar dan tabah. Huhuhu. Kasihan Anto belum makan ini, pikiran saya, tapi anaknya memang tidak rewel jadi santai saja. Kalau kata lagu, kasih sloooooow.
Lepas dari Gedung Imaculata barulah kami pulang ke Pohon Tua, sekalian makan siang, istirahat, untuk sesi berikutnya.
Lelah? Pasti. Sejak pukul 10.00 Wita hingga menjelang maghrib. Makanya foto di atas itu bukan di dalam ruangan sebenarnya melainkan di teras rumah saya haha.
Ini yang mau saya bahas di pos hari ini. Saya pernah memang foto prewedding orang lain. Tapi waktu itu fotonya tidak dengan pasukan lengkap dan harus menggunakan metode tertentu *tsah*. Manapula masih susah untuk mengkoreo (bahasanyaaaaa) yang punya gawe. Pada sesi foto yang ini, saya belajar banyak teknik, koreo, dan seni sebuah sesi foto prewedding. Lagi pula saya kan bukan fotografer. Apalaaaah saya ini.
Terbiasa mengabadikan momen pernikahan, misalnya, bukan berarti langsung bisa untuk melakukannya saat sesi foto prewedding. Teknik yang saya pelajari dari Anto sangat banyak: pencahayaan, komposisi ini itu, sampai ratio dan sudut pengambilan.
Dari teknik, kita bergeser ke koreo dan seni. Keduanya melekat erat. Mengarahkan calon pengantin dalam sesi foto prewedding tidak semudah saat membidik akad nikah, misalnya. Sesi foto prewedding membutuhkan sedikit drama pengarahan. Mungkin ada yang bakal bilang mudah saja, kan tinggal lihat di internet, lalu dicontohkan. Tidak semudah itu. Kita harus memperhatikan kondisi si calon pengantin juga. Apakah mereka siap untuk koreo ini itu? Kalau mereka siap, hajar saja, kalau tidak ... ya terpaksa diganti.
Di situ seninya. Lebih seni lagi kalau calon pengantinnya usil macam Aram, sering mencolek Mila, terus ngakak, terus diulang lagi. Begitu seterusnya.
Ternyata, dari sebuah sesi foto prewedding saya belajar banyak hal. Komponen-komponen yang harus disiapkan sebelum sesi foto itu pun banyak: ragam properti pendukung, wardrobe, make up, lokasi, tukang bidik dengan skill mumpuni dan pandai membaca situasi, dan tentu yang punya gawe. Tanpa kehadiran si calon pengantin, apalah artinya sesi foto prewedding ini. Hahaha.
Gedung Imaculata dan Pohon Tua
Gedung Imaculata, gedung bersejarah tempat Bung Karno mementaskan tonil-tonilnya, merupakan lokasi berikutnya. Lokasinya hanya lima langkah dari Pohon Tua (rumah saya). Tapi hari itu kami tidak mampir ke Pohon Tua terlebih dahulu melainkan langsung ke gedung tersebut. Dulu saya memang termasuk orang yang tidak setuju Gedung Imaculata dipugar 100% sampai kehilangan bentuk aslinya. Aaaah, siapalah saya. Haha. Yang penting sekarang bisa dinikmati oleh siapa saja.
Dan yang punya gawe malah sakit perut! Menunggulah kami *ngikik*.
Untuk sesi foto di Gedung Imaculata, make up harus diganti sama yang lebih tebal hahaha. Kiki kembali beraksi dan kami yang lain menunggu dengan sabar dan tabah. Huhuhu. Kasihan Anto belum makan ini, pikiran saya, tapi anaknya memang tidak rewel jadi santai saja. Kalau kata lagu, kasih sloooooow.
Lepas dari Gedung Imaculata barulah kami pulang ke Pohon Tua, sekalian makan siang, istirahat, untuk sesi berikutnya.
Lelah? Pasti. Sejak pukul 10.00 Wita hingga menjelang maghrib. Makanya foto di atas itu bukan di dalam ruangan sebenarnya melainkan di teras rumah saya haha.
Tekni, Koreo, dan Seni
Ini yang mau saya bahas di pos hari ini. Saya pernah memang foto prewedding orang lain. Tapi waktu itu fotonya tidak dengan pasukan lengkap dan harus menggunakan metode tertentu *tsah*. Manapula masih susah untuk mengkoreo (bahasanyaaaaa) yang punya gawe. Pada sesi foto yang ini, saya belajar banyak teknik, koreo, dan seni sebuah sesi foto prewedding. Lagi pula saya kan bukan fotografer. Apalaaaah saya ini.
Terbiasa mengabadikan momen pernikahan, misalnya, bukan berarti langsung bisa untuk melakukannya saat sesi foto prewedding. Teknik yang saya pelajari dari Anto sangat banyak: pencahayaan, komposisi ini itu, sampai ratio dan sudut pengambilan.
Dari teknik, kita bergeser ke koreo dan seni. Keduanya melekat erat. Mengarahkan calon pengantin dalam sesi foto prewedding tidak semudah saat membidik akad nikah, misalnya. Sesi foto prewedding membutuhkan sedikit drama pengarahan. Mungkin ada yang bakal bilang mudah saja, kan tinggal lihat di internet, lalu dicontohkan. Tidak semudah itu. Kita harus memperhatikan kondisi si calon pengantin juga. Apakah mereka siap untuk koreo ini itu? Kalau mereka siap, hajar saja, kalau tidak ... ya terpaksa diganti.
Di situ seninya. Lebih seni lagi kalau calon pengantinnya usil macam Aram, sering mencolek Mila, terus ngakak, terus diulang lagi. Begitu seterusnya.
Baca Juga: Jangan Hanya Tahu 2D Karena Animasi Itu Banyak Jenisnya
Ternyata, dari sebuah sesi foto prewedding saya belajar banyak hal. Komponen-komponen yang harus disiapkan sebelum sesi foto itu pun banyak: ragam properti pendukung, wardrobe, make up, lokasi, tukang bidik dengan skill mumpuni dan pandai membaca situasi, dan tentu yang punya gawe. Tanpa kehadiran si calon pengantin, apalah artinya sesi foto prewedding ini. Hahaha.
Bagaimana dengan kalian, pernahkah memotret prewedding teman juga? Bagi tahu yuk di komen.
#SelasaTekno
Cheers.
#SelasaTekno
Cheers.