Karena pos ini (cukup) bermanfaat bagi siapapun yang ingin tahu tentang proses pembuatan tenun ikat, menurut saya sih bermanfaat, saya mengunggah tulisan yang sama di dua blog secara bersamaan, blog yang ini dan blog yang itu. Supaya adil, merata, dan makmur. Saya paling tidak enak perasaan loh kalau dibilang tidak adil sama blog sendiri, terutama jika dinosaurus mendukung aksi protes blog-blog itu *digampar*.
Baca Juga: #EndeBisa Mengguncang SMAN 1 Ende
Tenun ikat merupakan salah satu ciri khas Indonesia bagian Timur. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sendiri setiap daerahnya mempunyai kekhasan motif-nya masing-masing. Jadi, kalau kalian bilang, "Ini tenun ikat NTT loh!" maka pasti ada yang bertanya, "NTT wilayah mana?" Hehe. Saya jamin kalian tidak bisa mengoleksi semua jenis tenun ikat asal NTT, kecuali:
1. Kalian jutawan yang duitnya bikin dinosarus mupeng.
2. Kalian membelinya bertahap.
Baru-baru ini saya mendapat kesempatan super istimewa karena diperbolehkan meliput dan mendokumentasikan kegiatan proses pembuatan tenun ikat. Lokasinya di Desa Gheogoma, Kecamatan Ende Utara, Kabupaten Ende. Hanya sekitar tiga kilometer dari pusat Kota Ende. Kegiatan ini merupakan kegiatan dari PID Kecamatan Ende Utara; pemberdayaan masyarakat desa dengan menggali potensi desa, memberi pelatihan dan dana, mengembangkannya, hingga memasarkannya. Berkaitan dengan ini, kalian bisa membaca pos tentang 5 Keseruan Jadi Tukang Syuting.
Proses pembuatan tenun ikat di Desa Gheoghoma saat proses syuting kemarin diikuti oleh tiga kelompok yang telah dibentuk sejak tahun 2018 yaitu Kelompok Bunga Mawar dari Dusun Mau'munda, Kelompok Naganai dari Dusun Naganai, dan Kelompok Bunga Melati dari Dusun Nuarenggo.
Sekarang, mari kita simak satuper satu prosesnya:
Woe adalah proses menggulung benang sehingga berbentuk bola. Jadi, zaman dulu itu woe dilakukan dari bentuk kapas menjadi bentuk benang ke alat woe, lalu dari alat woe digulung lagi sehingga berbentuk gulungan benang (bola benang). Tapi sekarang, benang bakal tenun ikat ini dibeli di toko khusus yang menjualnya sehingga mempercepat proses awal ini. Bye bye pohon kapuk. Haha.
Setelah woe, proses berikutnya adalah meka. Meka merupakan proses mengurai gulungan benang ke alat meka seperti pada gambar berikut:
Meskipun terlihat hampir sama dengan meka, go'a berbeda (merupakan proses selanjutnya) dan dilakukan di alat ndoa go'a. Proses ini bermaksud menentukan ukuran sarung tenun ikat nanti. Misalnya sarung Mangga milik saya yang dibikin oleh kakak ipar itu dibikin ukurannya lebih besar sesuai bodi dinosaurus hahaha. Ukuran normalnya sih tidak begitu.
Pete atau ikat/mengikat merupakan proses penentu motif yang diinginkan. Dari yang saya amati, pete terbagi atas dua. Yang pertama adalah proses memilah urat benang sehingga dikelompokkan dan diikat berdasarkan jumlah urat benang seperti pada gambar berikut:
Kemudian dilanjutkan dengan pete motif seperti pada gambar berikut:
Waktu saya tanya, motif apa yang dibuat, si Mama menjawab motif Labu. Dari hasil wawancara dengan perwakilan kelompok yaitu Gaudensia Titi, motif yang dihasilkan memang macam-macam, diantaranya motif Mangga, motif Nggaja, hingga motif yang dimodifikasi yaitu motif Burung Garuda seperti yang dipakai oleh Mama berikut ini:
Coba lihat lebih dekat/teliti, sarung yang dipakai oleh Mama ber-zambu (baju Ende) biru pencampur obat pewarna itu bermotif burung garuda. Keren ya.
Nah, nama daun yang dipakai untuk pete ini saya lupa hahaha. Sejenis daun kelapa tapi kata si Mama bukan daun kelapa.
Celup atau pencelupan atau pewarnaan dilakukan beberapa kali. Setelah benang tenun ikat di-pete, maka dilakukan pencelupan. Pada zaman dahulu bahan pewarna untuk pencelupan ini adalah bahan-bahan alami seperti akar mengkudu (kembo) dan daun taru tapi sekarang bahan-bahannya bisa dibeli di toko khusus yang menjualnya. Tapi jangan salah, beberapa penenun masih membikin tenun ikat dengan pewarna alami untuk menghasilkan sarung berjenis kembo yang super sekali dan harganya pun jutaan Rupiah.
Saat syuting kemarin, karena untuk kebutuhan video dokumenter saja, proses pencelupan dilakukan dua kali yaitu pertama pencelupan warna hitam:
Proses pencelupan pertama selalu warna hitam sebagai warna dasar. Campuran obat pencelupan warna hitam pertama harus pakai air panas. Apakah itu sebabnya para Mama ini memakai sarung tangan? Tidak juga. Mereka memakai sarung tangan selain karena panas juga agar tangan mereka tidak ikut berubah warna hahaha. Setelah pencelupan pertama untuk warna hitam ini, lagi-lagi mereka mencelup dengan warna hitam juga tapi campuran obatnya sudah pakai air dingin/biasa. Warna bakal tenun ikat ini dari oranye langsung berubah jadi hitam pekat (lebih hitam dari pencelupan hitam pertama).
Setelah itu dilakukan pencelupan warna kedua, warna yang diinginkan adalah merah:
Obat pewarnanya keren euy hehehe.
Setelah kering rangkaian benang yang dicelup, lantas dibuka ikatannya dan diurai seperti nampak pada gambar berikut ini:
Setelah diurai, lalu direntangkan untuk dipasang di alat tenun. Biasanya, menurut para Mama, dalam proses pencelupan setelahnya rangkaian benang diberi kanji agar kaku. Kenapa begitu? Supaya lebih mudah saat ditenun dooonk hehehe.
Senda artinya menenun. Selain bekal rangkaian benang yang sudah melalui tahap pencelupan dan penguraian di atas, juga menggunakan gulungan benang lain (berwarna hitam) yang diistilahkan dengan poke. Poke ini ya untuk menenun itu:
Kalian lihat Mama ber-zambu putih yang berhadapan wajah dengan si penenun? Dia sedang menggulung benang poke yang diletakkan di dalam semacam pipa paralon. Caranya dengan menggosok benang poke di betisnya (bisa muluuuuus tuh betis tak perlu dicukur hahaha) lalu digulung di kayu yang nanti diletakkan di dalam pipa itu. Poke atau lempar; maksudnya pipa dilempar diantara gugusan serat kain lalu ditenun, dipisah lagi serat kain berikutnya dalam satu gugusan lalu di-poke dan ditenun lagi. Sampai selesai. Bayangkan berapa banyak benang poke yang dipakai?
Nanti, agar lebih jelasnya, saya akan coba mempersingkat video proses pembuatan tenun ikat ini khusus di bagian senda dengan poke-nya itu.
Setelah selesai ditenun, kain tenun ikat dijahit berbentuk sarung. Saya sendiri punya tenun ikat motif Mangga yang masih bentuk lembaran alias belum dijahit menjadi sarung Mangga. Biasaaaa dikasih kakak ipar hahaha.
Akhirnya ... senang juga bisa menulis ini. Dulu pernah menulis tapi tidak selengkap sekarang. Senang sekali kan saya mendapat kesempatan emas meliput semua prosesnya dalam beberapa jam saja? Kalau hari biasa ... mana bisaaaaa. Kita harus menunggu. Misalnya satu penenun itu dia woe satu hari, terus meka dua hari, terus go'a berapa hari, celup berapa hari, lalu senda bisa tiga bulanan. Malah, kalau membikin sarung tenun ikat menggunakan pewarna alami, prosesnya bisa menahun.
Demikian pemirsa, saya akhiri dulu pos ini. Semoga kalian suka!
Cheers.
Oia, sebelumnya kalian sudah harus tahu kalau di Kabupaten Ende tinggal dua suku besar yaitu Suku Ende dan Suku Lio, sehingga beberapa kata/istilah dalam proses ini memang berbeda dari bahasa dua suku tersebut.
Proses pembuatan tenun ikat di Desa Gheoghoma saat proses syuting kemarin diikuti oleh tiga kelompok yang telah dibentuk sejak tahun 2018 yaitu Kelompok Bunga Mawar dari Dusun Mau'munda, Kelompok Naganai dari Dusun Naganai, dan Kelompok Bunga Melati dari Dusun Nuarenggo.
Sekarang, mari kita simak satuper satu prosesnya:
1. Woe
Woe adalah proses menggulung benang sehingga berbentuk bola. Jadi, zaman dulu itu woe dilakukan dari bentuk kapas menjadi bentuk benang ke alat woe, lalu dari alat woe digulung lagi sehingga berbentuk gulungan benang (bola benang). Tapi sekarang, benang bakal tenun ikat ini dibeli di toko khusus yang menjualnya sehingga mempercepat proses awal ini. Bye bye pohon kapuk. Haha.
2. Meka
Setelah woe, proses berikutnya adalah meka. Meka merupakan proses mengurai gulungan benang ke alat meka seperti pada gambar berikut:
3. Go'a
Meskipun terlihat hampir sama dengan meka, go'a berbeda (merupakan proses selanjutnya) dan dilakukan di alat ndoa go'a. Proses ini bermaksud menentukan ukuran sarung tenun ikat nanti. Misalnya sarung Mangga milik saya yang dibikin oleh kakak ipar itu dibikin ukurannya lebih besar sesuai bodi dinosaurus hahaha. Ukuran normalnya sih tidak begitu.
4. Pete
Pete atau ikat/mengikat merupakan proses penentu motif yang diinginkan. Dari yang saya amati, pete terbagi atas dua. Yang pertama adalah proses memilah urat benang sehingga dikelompokkan dan diikat berdasarkan jumlah urat benang seperti pada gambar berikut:
Kemudian dilanjutkan dengan pete motif seperti pada gambar berikut:
Waktu saya tanya, motif apa yang dibuat, si Mama menjawab motif Labu. Dari hasil wawancara dengan perwakilan kelompok yaitu Gaudensia Titi, motif yang dihasilkan memang macam-macam, diantaranya motif Mangga, motif Nggaja, hingga motif yang dimodifikasi yaitu motif Burung Garuda seperti yang dipakai oleh Mama berikut ini:
Coba lihat lebih dekat/teliti, sarung yang dipakai oleh Mama ber-zambu (baju Ende) biru pencampur obat pewarna itu bermotif burung garuda. Keren ya.
Nah, nama daun yang dipakai untuk pete ini saya lupa hahaha. Sejenis daun kelapa tapi kata si Mama bukan daun kelapa.
5. Celup
Celup atau pencelupan atau pewarnaan dilakukan beberapa kali. Setelah benang tenun ikat di-pete, maka dilakukan pencelupan. Pada zaman dahulu bahan pewarna untuk pencelupan ini adalah bahan-bahan alami seperti akar mengkudu (kembo) dan daun taru tapi sekarang bahan-bahannya bisa dibeli di toko khusus yang menjualnya. Tapi jangan salah, beberapa penenun masih membikin tenun ikat dengan pewarna alami untuk menghasilkan sarung berjenis kembo yang super sekali dan harganya pun jutaan Rupiah.
Saat syuting kemarin, karena untuk kebutuhan video dokumenter saja, proses pencelupan dilakukan dua kali yaitu pertama pencelupan warna hitam:
Proses pencelupan pertama selalu warna hitam sebagai warna dasar. Campuran obat pencelupan warna hitam pertama harus pakai air panas. Apakah itu sebabnya para Mama ini memakai sarung tangan? Tidak juga. Mereka memakai sarung tangan selain karena panas juga agar tangan mereka tidak ikut berubah warna hahaha. Setelah pencelupan pertama untuk warna hitam ini, lagi-lagi mereka mencelup dengan warna hitam juga tapi campuran obatnya sudah pakai air dingin/biasa. Warna bakal tenun ikat ini dari oranye langsung berubah jadi hitam pekat (lebih hitam dari pencelupan hitam pertama).
Setelah itu dilakukan pencelupan warna kedua, warna yang diinginkan adalah merah:
Obat pewarnanya keren euy hehehe.
6. Mengurai
Setelah kering rangkaian benang yang dicelup, lantas dibuka ikatannya dan diurai seperti nampak pada gambar berikut ini:
Setelah diurai, lalu direntangkan untuk dipasang di alat tenun. Biasanya, menurut para Mama, dalam proses pencelupan setelahnya rangkaian benang diberi kanji agar kaku. Kenapa begitu? Supaya lebih mudah saat ditenun dooonk hehehe.
7. Senda
Senda artinya menenun. Selain bekal rangkaian benang yang sudah melalui tahap pencelupan dan penguraian di atas, juga menggunakan gulungan benang lain (berwarna hitam) yang diistilahkan dengan poke. Poke ini ya untuk menenun itu:
Kalian lihat Mama ber-zambu putih yang berhadapan wajah dengan si penenun? Dia sedang menggulung benang poke yang diletakkan di dalam semacam pipa paralon. Caranya dengan menggosok benang poke di betisnya (bisa muluuuuus tuh betis tak perlu dicukur hahaha) lalu digulung di kayu yang nanti diletakkan di dalam pipa itu. Poke atau lempar; maksudnya pipa dilempar diantara gugusan serat kain lalu ditenun, dipisah lagi serat kain berikutnya dalam satu gugusan lalu di-poke dan ditenun lagi. Sampai selesai. Bayangkan berapa banyak benang poke yang dipakai?
Nanti, agar lebih jelasnya, saya akan coba mempersingkat video proses pembuatan tenun ikat ini khusus di bagian senda dengan poke-nya itu.
Membikin tenun ikat tidak semudah yang dipikirkan orang lain, apalagi dengan cara tradisional seperti ini. Oleh karena itu saya sendiri sangat menyayangkan jika tenun ikat, karya jenius ini, kemudian dijual dengan harga murah.
Setelah selesai ditenun, kain tenun ikat dijahit berbentuk sarung. Saya sendiri punya tenun ikat motif Mangga yang masih bentuk lembaran alias belum dijahit menjadi sarung Mangga. Biasaaaa dikasih kakak ipar hahaha.
Akhirnya ... senang juga bisa menulis ini. Dulu pernah menulis tapi tidak selengkap sekarang. Senang sekali kan saya mendapat kesempatan emas meliput semua prosesnya dalam beberapa jam saja? Kalau hari biasa ... mana bisaaaaa. Kita harus menunggu. Misalnya satu penenun itu dia woe satu hari, terus meka dua hari, terus go'a berapa hari, celup berapa hari, lalu senda bisa tiga bulanan. Malah, kalau membikin sarung tenun ikat menggunakan pewarna alami, prosesnya bisa menahun.
Baca Juga: #EndeBisa Menggebrak SMKN 1 Ende
Demikian pemirsa, saya akhiri dulu pos ini. Semoga kalian suka!
Cheers.