Triplet adalah tulisan lawas saya yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku karena ceritanya lumayan absurd. Saya memutuskan untuk menerbitkannya di blog, part demi part. Karena keabsurdannya, komentar kalian tidak akan saya tanggapi kecuali buat lucu-lucuan. Ini bukan pembelaan diri, ini bela diri dengan jurus menghindar. Selamat membaca Triplet.
***
Ceritakan
padaku,
tentang orang-orang
yang
pernah ...
cintamu memanah.
Part 25
~ Ende ~
31 Desember 2015
“Jika rasa cintamu
terbalaskan, maka bersyukurlah karena Allah telah memberikan hidup lebih
berharga dengan belas Kasih-Nya.” – Nabi Muhammad SAW.
Bekerja keras bukanlah perkara baru bagi Petrus. Selama
hidup, laki-laki yang berasal dari Kecamatan Maurole ini terus menerima hadiah
kemelaratan. Penghasilan Bapaknya, seorang guru sekolah dasar di Kecamatan
Maurole, tidak cukup mengenyangkan perut delapan anak dengan jarak lahir
terlalu rapat. Mamanya berusaha menopang perekonomian keluarga dengan menggarap
tanah keluarga yang rata-rata ditanami pohon pisang. Petrus, anak ketiga, tidak
pernah lari dari kondisi orangtuanya, apalagi menyalahkan Tuhan atas kemelaratan
keluarganya. Susah payah dia berusaha mempertahankan perutnya (jangan sampai
kelaparan) dengan bekerja. Tenaganya harus bermanfaat. Hasil yang dia peroleh
dari membantu mengangkut batu untuk pengerjaan proyek jalan, atau berjualan es
lilin punya tetangga, atau berjualan pisang hasil kebun dari pintu ke pintu,
tidak hanya untuk mengenyangkan perutnya sendiri melainkan juga untuk semua
anggota keluarga.
Ketika melanjutkan
SMA di Kota Ende, Petrus mengorbankan biaya pendidikan dua orang adik
perempuannya. Air mata bukan jawaban atas semua yang terjadi. Dia harus
bersaing nilai dengan kawan-kawan agar tidak tahan kelas. Di sela-sela waktu
luang antara usai sekolah dan les sore, dia bekerja di Toko & Bengkel
Aurora. Uang memang dia peroleh (dari menambal ban, mengganti ban, mengganti
busi, atau mengisi angin ban). Namun ilmu bengkelnya pun bertambah. Siapa
sangka dia diajari menyetir mobil pula oleh anak pemilik bengkel?
Hidup Petrus memang
berubah. Dia tidak lagi terbelenggu kemelaratan namun tidak juga dikepung
Rupiah. Yang dia tahu, mencari uang itu susah sehingga janganlah memperlakukan
uang dengan semena-mena. Hasil menabung telah mengantarnya ke pelaminan,
mempersunting perempuan yang diincarnya sejak masih SMP. Lima tahun yang lalu Petrus
dan istrinya, pindah ke Kota Ende. Mereka bekerja serabutan dan hidup sehemat
mungkin. Suatu hari yang terik, kemudian, mengantar Petrus ke depan pintu
Shadiba’s Corner. Ketika sekejap mata dia diterima menjadi sopir, yang bisa dia
lakukan hanyalah menangis.
Dan hari ini,
ketika melihat istrinya sibuk membantu Among di dapur, Petrus nyaris menangis
... lagi.
Meskipun bekerja
keras bukanlah perkara baru bagi Petrus namun menjemput satuper satu tamu
majikannya yang tiba dari beberapa kota di Indonesia agak melelahkan. Pekerjaannya
hari ini adalah bolak-balik dari Shadiba’s Corner, Bandara H. Hasan
Aroeboesman, dan hotel.
“Petrus!” panggil
Diba dari pintu kafe. “Ah, kau ini saya cari ke mana-mana. Ini daftar tamu
untuk siang sampai sore nanti,” ujar Diba sambil menyerahkan secarik kertas
pada Petrus. “Aaah kau ini, jangan terlalu diperhatikan nanti istri kau salah
tingkah dan tidak konsentrasi,” goda Diba.
Petrus tersipu.
“Terima kasih ... Meri sudah boleh kerja di sini.”
“Sama-sama Petrus.
Jangan lupa ... jemput mereka, langsung diantar ke hotel! Habis maghrib jemput
lagi mereka, antar ke sini.”
“Siap!” jawab Petrus,
lantas membaca tulisan pada kertas.
Jemput di bandara:
Pukul 13.00, Pram, Margaret, Karel.
Pukul 14.30, Mono, Bandit, Farid.
Pukul 15.00, Ampoi.
xxXXXxx
Adalah tugas Magda dan Azul untuk menyulap ruang kerja
beraroma jeruk menjadi ruang ‘arisan’ yang penuh drama. Terakhir, setelah
kekacauan besar yang terjadi pada tanggal 17 Agustus, tangis air mata
majikannya dan dua saudari kembarnya pecah. Satu minggu berselang setelah
tragedi 17 Agustus, Mira bangkit dari keterpurukan, menyadari semua kesalahan
yang telah dia lakukan selama ini, dan meminta maaf. Air mata Magda mengalir
deras ... dia terharu melihat tiga perempuan yang kemiripannya bak pinang
dibelah tiga itu saling peluk penuh kasih.
“Mag,” panggil
Diba. Dia berdiri di pintu ruang kerja sambil menggigit bibir.
“Kenapa?”
“Hmmm. Apa tidak
sebaiknya kita pindakan ke halaman belakang?”
Magda menjentik
jari. “Sebenarnya saya mau usulkan itu karena ruang kerja ini terlalu sempit
untuk menampung begitu banyak orang!”
“Oke. Kau atur lah.
Ajak si Azul.”
Dalam hati Magda
bersyukur karena tidak perlu menggeser meja-meja kerja, sofa, dan lemari.
Setidaknya setelah libur tahun baru usai dia tidak perlu bekerja sambil membaui
bermacam aroma sisa pesta tahun baru di meja kerjanya.
G-Note Diba
berdering.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Dek, kalau tambah
seorang lagi boleh? Montir bengkel Abang, si Cipot, mendadak muncul di rumah.
Dia mau rayakan tahun baru di sini.”
“Boleh Abang sayang
...”
“Oke. Setengah jam
lagi Abang ke situ.”
Mendendam bukan
pekerjaan manusia beriman. Diba malu pada Vasco da Gama dan Ibnu Bin Abi Thalib
jika sampai mendendam apalagi mendendam pada laki-laki yang masih dicintainya. Tidak
secepat kilat perasaannya kembali bergetar. Butuh waktu untuk memprosesnya.
Tapi setidaknya dia tidak perlu membantah omongan Ucup, tuduhan Magda, juga
kata hatinya sendiri. Ya, dia masih mencintai Elf ... selamanya perasaan ini
akan hidup. Cinta pertama memang sulit binasa.
“Akhirnya!” seru
Azul.
“Akhirnya apa,
Zul?” tanya Diba. Dia menyimpan kembali G-Note ke dalam kantong celana.
“Akhirnya Kakak
mengambil keputusan yang berkualitas. Pindah ke halaman belakang,” jawab Azul.
Magda terkikik
mendengarnya. “Ayo, Zul, ajak Cahyadi ... kita harus pindahkan kursi-kursi
malas itu, dan angkut beberapa kursi lagi,” ajaknya.
“Beres!”
Diba menghempas
tubuh ke sofa memerhatikan punggung Magda dan Azul yang keluar dari ruang
kerja. Malam ini mereka akan merayakan tahun baru bersama di Shadiba’s Corner,
perayaan yang terlewati saat menyambut Tahun Baru 2015 karena bermacam masalah
yang menimpa keluarga Pua Saleh.
Dalam hitungan jam
Tahun 2016 akan tiba. Tahun 2016 adalah Tahun Monyet Api, yang dimulai dari
tanggal 8 Februari (Tahun Baru Cina, Imlek) hingga 27 Januari 2017. Sepanjang
2016 api menjadi unsur paling dominan dan membawa enerji yang besar.
Diba berharap
enerji yang besar itu beraura positif. Akan banyak kejadian-kejadian positif di
masa depan yang mengobati kepahitan masa lalu. Dia akan mendorong Mira untuk
menulis lebih banyak puisi yang nantinya akan dibukukan. Jika Kakek Ucup masih
hidup dia akan menghadiahi seratus jempol untuk Ayah dari Babanya itu. Meskipun
lama mengendap, bakat Mira merangkai kata tak pernah mati. Hanya butuh sedikit
percikan untuk mengembalikannya ke permukaan. Siapa pula yang menyangka
percikan itu terjadi seminggu setelah malapetaka di ruang kerjanya ini pada
hari kemerdekaan Indonesia? Ya, selalu ada hikmah dibalik setiap kejadian.
Tidak apa-apa, Mira. Kau merdeka tujuh hari setelah
tujuhpuluh tahun Indonesia merdeka.
Bibi Ani
menghampiri Diba.
“...”
“...”
Mereka hanya saling
memandang. Tanpa suarapun hati mereka tahu, bahwa masalah akan selesai dengan
dua perkara. Pertama: dengan penyelesaian. Kedua: dengan waktu.[]
Tamat