Triplet adalah tulisan lawas saya yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku karena ceritanya lumayan absurd. Saya memutuskan untuk menerbitkannya di blog, part demi part. Karena keabsurdannya, komentar kalian tidak akan saya tanggapi kecuali buat lucu-lucuan. Ini bukan pembelaan diri, ini bela diri dengan jurus menghindar. Selamat membaca Triplet.
***
PART 22
~ Ende ~
14 Agustus 2015
Karena alasan topografis, hampir semua ruas jalan negara
yang menghubungkan kabupaten atau kota di Pulau Flores sangat sempit dan
berkelok-kelok (mengitari bukit). Kondisi tersebut diperparah oleh letak jalan
yang hanya semeter-dua dari tebing dan jurang. Jika pengendara kendaraan
bermotor tidak tangkas dan jeli, pilihannya hanya dua: menabrak tebing atau
meluncur bebas ke jurang. Sisi positifnya, pemandangan alam sepanjang jalan
negara di Pulau Flores selalu menimbulkan decak kagum pada siapapun yang baru
pertama kali melihatnya. Petak-petak sawah, air terjun, juga pantai, menjadi
daya tarik tersendiri sehingga seringkali terlihat mobil sewaan atau bis
berhenti di pinggir jalan untuk memberi kesempatan kepada wisatawan
mengabadikan panorama alam Pulau Flores. Kadang-kadang satu-dua wisatawan lupa waktu
karena terlalu asyik mengajak penduduk setempat yang kebetulan sedang melintas,
sambil mengusung kayu bakar, berbincang menggunakan Bahasa Indonesia yang
patah-patah.
Mobil travel yang ditumpangi Atha dari Kota
Maumere memasuki Kecamatann Detusoko. Mereka beristirahat sejenak di depan
Terminal Detusoko.
Sejak berangkat ke
Maumere beberapa hari lalu, mengantar Wati pulang ke rumah orangtuanya, Atha
terus diserang pusing kepala. Meski tidak berlangsung lama, paling lama dua
menit, namun jelas sangat mengganggu. Belum lagi dalam perjalanan pulang ke
Ende dentuman musik yang disetel Hepe, sopir mobil travel langganan Atha, ingar-bingar menganiaya kuping.
Tak lama
beristirahat di Detusoko, Hepe kembali melanjutkan perjalanan.
OPPO R1011 Atha
berbunyi. Dia mengeluarkan gadget-nya
dari dalam tas. Panggilan dari Diba.
“Assalamu’alaikum,” sapa Atha. “Ada apa,
Dib?”
“Wa’alaikumsalam. Masih lama kau di
Maumere?” tanya Diba dari seberang.
“On the way home.”
“Bagus. Kau
ditungguin tamu dari Jakarta.”
“Ha?”
“Sudah, jangan nganga begitu!” hardik Diba.
“Tamu ... siapa,
Dib?”
“Hati-hati di
jalan!”
~ KLIK ~
“Dasar,” umpat
Atha. Dia menyimpan kembali gadget-nya
ke dalam tas.
Siapa yang menunggu saya?
Tamu? Tamu siapa?
Ndoriwoi? Ah, Ndoriwoi kan dari Pulau Ende.
Atha tersenyum
membayangkan Ndoriwoi berani mendatanginya. Pertemuan terakhirnya dengan Embu
Rembotu telah menegaskan satu perkara: Ndoriwoi tidak akan pernah muncul di
hadapan Atha lagi untuk jangka waktu yang sangat lama.
Hebat juga Ndoriwoi ... bisa membuat Embu keluar dari sarangnya
yang nyaman untuk bertemu saya ...
OPPO R1011 kembali
berdering. Lagi, panggilan dari Diba.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Langsung ke Shadiba’s
Corner, Tha.”
“Oke.”
Atha membayangkan
Toothless. Seandainya saja dia memelihara naga, mungkin saat ini dia sedang
berada di atas naga yang terbang di atas petak-petak sawah, atap rumah
penduduk, dan menyisir tebing.
xxXXXxx
Pukul 17.00 Hepe menghentikan mobil travel di depan Shadiba’s Corner. Ketika Atha menyebut Shadiba’s
Corner saat melewati Pasar Wolowona tadi, Hepe tahu siapa yang akan dia antar
paling akhir. Laki-laki yang telah belasan tahun menjadi sopir mobil travel dan kenyang dengan segala medan
lintas Pulau Flores ini akan bersantai sejenak; ngopi-ngopi di kafe.
“Om Hepe, kalau mau
minum kopi, nanti bilang ke kasir saya yang bayar, ya ...”
“Wah! Terima
kasih!”
“Oh ya ... sekalian
kalau mau makan ...”
“Iya, Atha. Terima
kasih.”
Santai Atha
berjalan melintasi galeri, menyapa Laila dan Imar yang sedang merapikan
pajangan tenun ikat, menyapa kasir galeri Jenni, lantas membuka pintu ruang
kerja Diba.
“Assalamu’alaikum.” Selain aroma jeruk
menyerang indera penciumannya, Atha juga diserang tatapan dua pasang mata yang
seakan-akan hendak meloncat keluar dari rongganya, atau seakan-akan sedang
melihat Malaikat Izrail. Melihat salah satu dari dua ‘tamu dari Jakarta’ itu,
Atha tercekat.
Seketika suasana
berubah hening.
Dejavu.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Diba dan Pram.
Senyum Atha
mengembang. “Kau ...”
“Sharastha ...”
bibir Pram bergetar. Bahkan tangannya pun bergetar saat bersalaman dengan Atha.
Bertemu Atha, face to face, ternyata
tidak berbeda jauh dari mimpinya. Atha: cantik, anggun, dan penuh misteri.
Aroma tubuhnya pun seakan menyampaikan sesuatu yang terlampau dalam untuk
dipahami oleh logika.
“Ini Pram,” Diba
menjelaskan. “Dan ini ... Margaret! Margaret yang saya ceritakan itu, Tha.”
Atha melepas tangan
Pram yang, masih, bergetar. Dia menyambut uluran tangan Margaret. “Halo,
Margaret ...”
Pusaran menyedot
Atha. Dia nyaris limbung jika tidak segera melepas tangan Margaret. Tanpa sadar
dia berkata, “cinta bukan permainan. Cinta bukan sekadar kisah perjalanan ke
tempat-tempat paling menawan di muka bumi ...”
Margaret tersentak.
“... cinta adalah payung ...” ujarnya. “Bagaimana kamu tahu?”
Diba tergelak.
“Karena dia dukun beranak, Margaret. Ha ha ha. Coba kau tanya sudah berapa orok
yang dia tarik ke luar dari rahim?”
“Ha? Dukun beranak
juga?” tanya Margaret.
“Bercanda, Margaret
... bercanda!” bentak Diba.
“Mau minum apa, Kak
Atha?” Magda menawarkan minum untuk Atha.
“Air putih,” jawab
Atha, lantas duduk di sofa.
Suasana hening
sesaat membuat Diba tidak tahan. Bagaimana dia bisa tahan? Pram dan Margaret
bertingkah mirip zombie insaf. Yang
satu menatap Atha seakan-akan saudari kembar Diba itu baru saja selamat dari
kecelakaan pesawat paling mematikan di atas udara Jerman. Yang satu lagi begitu
terpana setelah melanjutkan kalimat Atha; cinta adalah payung ...
“Oke!” Diba menepuk
tangan sekali, memberi efek ‘sadar’ pada Pram dan Margaret. “Ini dia Sharastha
Pua Saleh. Kau sudah tanyakan dia sejak kalian masih di Jakarta,” katanya
sambil menunjuk Margaret. “Dan kau,” dia menunjuk Pram “memang mencari dia
untuk tujuan-tujuan mistik ... hik hik hik ... horor banget kan?”
“Hush!” Atha
mengibas tangan.
Begitu banyak
misteri tersebar di dunia ini yang membingungkan para ahli dan belum terungkap.
Sebut saja Manuskrip Voynich, Patung Moai di Pulau Paskah, The Taos Hum di New
Mexico, Segitiga Bermuda di Kepulauan Bermuda, Kapal SS Ourang Medan, bahkan
senyum Monalisa pada lukisan karya Leonardo da Vinci. Semua misteri yang belum
terungkap mengindikasi satu perkara dasar yakni keterbatasan manusia.
Begitu banyak
misteri yang ditelusuri Atha, kemudian terungkap. Dia yakin hal ini
mengindikasi satu perkara dasar pula yakni kekuasaan Allah SWT. Hanya Allah
satu-satunya zat paling berkuasa yang menguasai keseluruhan jagad raya hingga
sel makhluk hidup.
“Ada yang mau kau
tanyakan, Pram?” tanya Atha.
“Kamu pasti sudah
tahu apa yang mau aku tanyakan,” balas Pram.
Atha menggeleng.
“Kau pikir setiap saat saya bisa melakukannya?”
“Tidak?”
“Tidak.”
“Tidak?” Diba
nimbrung. “Bohong ...”
Atha tertawa kecil.
“Kau itu, Dib.”
Pram mengusap
wajah. “Kalau kamu punya kemampuan psikometri, tentu ada sesuatu yang membawa
kamu pada aku, pada mimpiku,” tuduh Pram. Ketika tahu kemampuan Atha, dia
memburu semua informasi tentang indigo,
yang memperkuat pencariannya adalah cerita Diba soal kemampuan utama Atha.
Psikometri.
Atha menghela nafas
panjang. “Saya pikir tidak secepat ini karena belum tentu kau mau percaya.
Hanya orang gila yang bertindak nekat memenuhi panggilan mimpi.”
Pram mendesah.
“Sebenarnya ...”
“Ya, saya sudah
tahu,” pangkas Atha.
Margaret cemberut. “Katanya
tadi kamu nggak tahu.”
“Saya tahu ...
bukan karena saya tahu. Saya juga
bisa menggunakan kemampuan menganalisa, kok. Antara benda, mimpi, dan
kenyataan,” balas Atha. “Tapi saya tidak yakin apakah kita harus membahasnya
sekarang atau nanti. Apakah waktu bisa
menunggu? Atau ... Apakah alam mampu men ...”
“Jangan baca puisi,
Tha,” pangkas Diba.
Refleks Atha
mengeluarkan saputangan warna biru dari dalam tas. Benda ini selalu dia bawa ke
mana pun dirinya pergi. “Kau kenal sapu tangan ini?”
Bagi Diba dan
Margaret, saputangan yang dilambaikan Atha di depan Pram hanyalah secarik kain,
tersedia hampir di semua toko pakaian, dan bukan benda penting. Setidaknya
Situs Bung Karno yang terletak di Jalan Perwira, Ende, jauh lebih penting dari
saputangan ini.
Bagi Pram, secarik
kain yang dilambaikan Atha bermakna dalam. Paru-paru Pram sedang menuju ledakan
paling dahsyat. “Itu sapu tanganku!”
Diba dan Margaret
terjungkal.
“Yang kau berikan
pada ...?” tanya Atha.
“Prita!” Pram
menerima saputangan dari Atha. “Prita pasti ...” nafasnya memburu.
“Mas Wawan,” ujar
Atha seakan dua kata itu merupakan kata ‘Amin’ dari semua do’a yang didaraskan
manusia kepada Tuhan.
“Mas ... Wawan?”
tanya Pram.
“Mas Wawan?” Diba
mengerut kening.
“Aku kok nggak tahu
siapa Mas Wawan ini ...” desis Margaret.
Semerta-merta Diba
bangkit dari kursi di hadapan meja kerjanya. “Saya tahu! Saya tahu sekarang!
Itu saputangan Pram yang dikasih pada Prita ... dan Prita memberinya pada Mas
Wawan! Lantas ... hei, Tha, untuk apa Mas Wawan kasih kau saputangan itu?”
“Jatuh di ruang
makan,” jawab Atha.
Diba menggaruk
kepala. “Lantas, apa hubungan Prita dengan Mas Wawan?”
“Astaghfirullah,” gumam Pram. Dia
terbangun dari mimpi—nampaknya. “Wira itu ... Wawan?”
“Wirawan Susanto,”
ujar Atha.
“Wirawan Siswanto,”
ujar Pram.
“Dia membaptis
dirinya sendiri!” seru Margaret. “Dia ganti identitas.”
Pram menutup mulut
seakan hendak menahan arus darah hasil ledakan di dalam paru-parunya. “Kita
tinggal selangkah lagi. Kita hanya tinggal mencari di mana si Wawan ini ...”
“Kok mencari?”
tanya Diba.
Pram menoleh.
“Kenapa kamu nanya begitu, Diba? Tujuan aku mengajak Margaret ke Ende memang
itu. Mencari laki-laki yang udah bikin hidup Prita menderita! Ya, selain
memenuhi panggilan mimpi.”
Diba terkekeh. Atha
tergelak.
“Wawan itu calon
IPAR kami!” balas Diba dengan volume suara dua tingkat lebih tinggi dari
teriakan Ahmad Albar.
Pram dan Margaret
saling pandang. “Maksud kamu, dia calon suami dari mantan istrinya Bang Elf?”
tanya Margaret.
“Sayangnya ... kau
benar.” Diba mengaminkan.
Perjalanan hidup
manusia benar-benar misteri. Pram tahu apa yang diajarkan Tuhan padanya dalam
pencariannya ini. Bahwa kata ‘nyaris’ itu benar-benar ada. Nyaris bertemu
Wira—Wawan saat mereka berada di rumah Ibrahim Pua Saleh si Juragan Tigabelas.
Pintu ruang kerja
membuka. Magda berdiri di situ. Di belakang Magda nampak seorang perempuan
berwajah cantik (namun lusuh).
Laprita Bachtiar.
Margaret buru-buru
bangkit, hendak pergi ke kamar mandi. Pram menahan tangan Margaret agar mantan
kekasihnya ini tidak menghindari Prita.
“Lepaskan,” bisik
Margaret.
Pram pura-pura
tidak mendengar. Dia ingin Margaret tidak lari.
“Assalamu’alaikum,” sapa Prita. “Maaf,
apakah aku mengganggu kalian?” santun, dia bertanya.
Melihat Prita, Atha
segera bangkit. “Hai, Prita. Maaf kalau kalimat yang bisa saya katakan pada kau
hanya tigabelas Maret duaribu tigabelas,” katanya, seakan mereka adalah kawan
lama.
Prita limbung. Dia
menarik tangan Atha. “Kamu perempuan
yang datang dalam ...” nafasnya terengah.
“Dalam mimpi. Ya.
Itu saya,” jawab Atha. Belum sempat dia melanjutkan omongannya, dirinya
tersedot. Darah dan kegelapan bak dwi tunggal. Dia melepaskan tangan Prita.
“Maaf ... saya tahu itu menyakitkan.”
Oleh Pram, Prita
diajak duduk diantara dirinya dan Margaret. Jelas, perbuatan ini kembali
membangkitkan kemarahan singa yang sedang tidur.
“Halo, Margaret.
Apa kabar?” sapa Prita. Lembut.
Margaret melongo.
Baru kali ini Prita kembali menyapanya dengan normal, dan ... lembut ...
setelah Paman Igi memutuskan hubungan mereka. Ke mana kah si pretty high class woman yang angkuh itu?
“Eh ... kabar
baik,” jawab Margaret canggung.
Dari balik punggung
Prita, Pram menatap Margaret. Tatapannya seolah berkata: lihat, apa aku bilang?
Prita nggak sejahat yang kamu sangka kan?
Diba, sekali lagi,
menepuk tangan. “Karena kalian semua sudah berkumpul, dan kita sudah tahu siapa
yang harus diburu ... sudah saatnya kita susun rencana.”
“...”
“...”
“Andai saya diijinkan memelihara
naga, rasanya semua masalah boleh teratasi.” – Sharastha Pua Saleh.
***
Bersambung