Triplet
adalah tulisan lawas saya yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku
karena ceritanya lumayan absurd. Saya memutuskan untuk menerbitkannya di
blog, part demi part. Karena keabsurdannya, komentar kalian tidak akan
saya tanggapi kecuali buat lucu-lucuan. Ini bukan pembelaan diri, ini
bela diri dengan jurus menghindar. Selamat membaca Triplet.
***
PART 21
***
PART 21
~ Ende ~
13 Agustus 2015
“Salurkanlah semangat
pemuda ke tempat yang membangun bangsa, jika tidak, ia akan tersalurkan ke
tempat yang merugikan bangsa.” – Anonim.
Singa yang sedang mengamuk karena lapar tidak akan
kenyang memakan ketidaktahuan. Naluri kanibal singa menuntunnya pada sumber makanan.
Dia menuntut pada dirinya sendiri untuk melakukan ritual mencabik daging
mentah, lantas melahapnya penuh nafsu. Kenyang hanyalah istilah untuk memberi
kesempatan lambung menggiling makanan ... dan lapar akan kembali mengaum.
Kedatangan Prita
dan Karel ke Ende telah membangkitkan singa yang sedang tertidur, lantas didera
rasa lapar. Dan Pram, yang berada dalam posisi serba-tidak-tahu, merelakan
dirinya dicabik-cabik.
“Why are your pretty high class sister come
to Ende? Dia mau nguntit kita!?” raung Margaret. “Atau jangan-jangan selama
ini dia tahu kalau kamu nggak pernah berhenti memburu si Wira?”
Bom nuklir telah
tiba.
Pagi ini, alih-alih
membicarakan proses pencarian dan rencana bertemu Mukhlis dari Relawan Pecinta
Taman Bung Karno Ende, Pram dan Margaret malah bertengkar hebat di beranda
belakang Shadiba’s Corner. Diba cukup tahu diri untuk minggat dari beranda
belakang, kembali ke ruang kerja, lantas menghubungi Mukhlis untuk mengabarkan
bahwa pertemuan mereka ditunda nanti siang.
“Demi Tuhan,
Margaret ... aku nggak tahu. Sejak Wira pergi, Prita nggak pernah keluar dari
kamarnya. Kalaupun aku temui dia di kamar, dia nggak pernah membalas satu pun
omonganku. Jadi ... mana mungkin dia tahu aku nggak pernah berhenti memburu
Wira? Mana mungkin dia tahu rencana kita ke Ende?”
“Kamu bohong!”
ujung jari telunjuk Margaret menyentuh ujung hidung Pram. “Jangan jadi tukang
ngibul ya, kamu!”
Pelan, Pram
menyingkirkan telunjuk Margaret. Dia mengusap wajah. Gundah. “Aku sama sekali
nggak tahu rencana Prita datang ke Ende, Mar. Demi Tuhan! Ngapain aku bohong
sama kamu? I really have no idea ... why
she ...”
“...”
“Margaret ...
dengar ... aku sama sekali nggak tahu rencana Prita, dan apa tujuannya, datang
ke Ende. Kemarin waktu Karel ngabarin kalau mereka sudah di Ende, aku ...
rasanya kepalaku mau pecah. Karena aku tahu kamu pasti bakal protes ... kamu
...”
“Aku ...”
“Aku jamin,
Margaret. Prita ... Prita nggak kayak dirinya yang dulu. Aku jamin dia nggak
akan sindir kamu, atau sinis, atau nyinyirin kamu ... atau ...”
“Jangan kebanyakan
janji!”
“...”
xxXXXxx
“Jangan marah, ya, Khlis. Kita ketemuannya nanti siang
saja,” ujar Diba. “Ada urusan mendesak yang tidak bisa saya tinggalkan,”
lanjutnya—berbohong. Tentu adegan perang antara Pram dan Margaret hanya boleh
jadi tontotan gratis orang-orang Shadiba’s Corner. Diba tidak bisa melarang
Azul, misalnya, jika laki-laki ‘berkualitas’ itu menguping. Atau petrus,
misalnya, yang terpaksa mendengar perang mulut itu dalam perjalanan ke gudang
mengambil kardus untuk membantu Azul mengepak barang karena si packer boy sibuk menguping.
“Nanti siang saya
dan teman-teman relawan ada pertemuan, Dib. Di Taman Bung Karno.”
“Hmmm. Sekalian
kita ketemu di taman saja?”
“Boleh ... tapi jam
satu siang ya. Kami mulai pertemuannya jam dua.”
“Oke. Terima
kasih.”
“Sama-sama.”
Diba meletakkan
G-Note ke atas meja. Magda memerhatikannya dengan tatapan ingin tahu.
“What?”
“Itu Bang Pram dan
Kak Margaret ...”
“Bising.”
“Gara-gara tamu
yang ...”
Diba menggaruk
hidung. “Yang saya tahu hubungan Margaret dan Prita itu kacau. Apa alasannya
... saya tidak tahu.”
“Kita harus tanya
Azul.”
“Heh?”
“Kuping Azul itu
semacam kuping kelinci, Kak. Jarum jatuh di Denpasar saja dia dengar!”
Diba terkekeh.
“Kuping Azul kan berkualitas, Mag.”
Magda terbahak.
xxXXXxx
Ada berapa banyak anak muda Indonesia yang mau bekerja
tanpa imbalan? Ada berapa banyak anak muda Indonesia yang mau melakukan
perubahan tanpa mendaraskan kritik pedas—cenderung menghina pada pemerintah?
Ada berapa banyak anak muda Indonesia yang sadar bahwa perubahan tidak akan
terjadi hanya dengan caci-maki? Ada berapa banyak anak muda Indonesia yang mau
menjadikan dirinya bermanfaat untuk orang lain?
Pasti ada. Namun
... bisa dihitung ...
Mukhlis, salah
seorang penggagas Relawan Taman Bung Karno Ende, duduk mengaso di bangku-bangku
semen yang melingkari pohon besar di dekat Patung Bung Karno. Siang ini dia dan
teman-teman relawan, berikut beberapa perwakilan komunitas, berkumpul di Taman Bung
Karno untuk membicarakan agenda kegiatan pengantaran bantuan untuk SD
Ratenggoji. Dia sengaja datang lebih awal satu jam karena hendak punya janji
lain: bertemu Diba dan dua tamu asal Jakarta yang-entah-siapa.
Seperti janjinya, tepat
pukul 13.00 Diba muncul di Taman Bung Karno.
“Kenalan, Khlis,
ini Pram dan Margaret,” ujar Diba. Dia duduk di bangku semen, memerhatikan
taman yang mendapat bantuan perbaikan dan perawatan dari Yayasan Ende Flores
ini.
“Sudah lama di
Ende?” tanya Mukhlis.
“Baru berapa hari,”
jawab Pram. Sementara itu Margaret, dengan wajah bertekuk sepuluh, memilih
duduk berjauhan dari Pram.
Bertemu orang-orang
muda dari Relawan Pecinta Taman Bung Karno, Ende, mengingatkan Margaret pada
bencana alam meletusnya Gunung Merapi pada tahun 2006. Bersama teman-teman
pelancong dari KeluaRumah dia pergi ke Yogyakarta untuk membawa bantuan materi
yang terkumpul. Secara fisik, sepuluh pelancong asal Jakarta terjun langsung ke
lapangan untuk membagi bantuan, pun sekejap melakukan stress healing kepada korban erupsi.
“Kau bilang ada
yang penting, Dib?” tanya Mukhlis.
“Saya lagi cari
orang,” jawab Diba.
“Cari orang?”
kening Mukhlis mengerut.
Suara Pram
terdengar. “Mungkin kamu pernah dengar nama Wirawan Siswanto?” dia bertanya.
“Hmmm. Wirawan
Siswanto ...” Mukhlis memaksa otaknya menggali nama itu. Dia menggeleng. “Belum
pernah dengar. Memangnya ada apa dengan orang itu?”
“Family bussines,” jawab Diba. “Kalau
nanti kau sempat, tolong tanyakan pada teman-teman relawan atau teman-teman
dari komunitas lain, ya. Siapa tahu ada yang pernah dengar namanya.”
“Oke,” jawab
Mukhlis. “Sudah coba tanya sama teman-teman Flobamora Community?”
Diba mengangguk.
“Tidak ada yang tahu nama itu,” jawabnya. “Makanya si Ilham sarankan saya tanya
pada kau. Soalnya teman-teman relawan kan juga berasal dari komunitas yang
berbeda-beda. Siapa tahu ada yang pernah dengar nama itu, atau kenal orangnya.”
“Hhhh. Nanti saya
coba tanyakan,” janji Mukhlis.
“Bagaimana rencana
ke Ratenggoji?” tanya Diba.
“Sembilanpuluh
persen kursi, meja, dan papan tulis, sudah selesai. Saya baru saja dari
bengkel. Semoga September nanti semuanya sudah selesai supaya kami bisa
mengantar bantuannya ke sana,” jawab Mukhlis.
“Paket perlengkapan
sekolahnya bagaimana? Ada seragam juga?”
Mukhlis menggeleng.
“Rencana seragam dan sepatu bisa ditunda tahun depan sampai dananya cukup.
Seratus delapanpuluh lima murid, Dib ... kami hanya bisa beli buku tulis, alat
tulis, mistar, dan kotak pensil.”
“Itu sudah luar
biasa, Khlis.”
“Alhamdulillah ...”
Diba dan Mukhlis
masih membahas beberapa rencana Relawan Pecinta Taman Bung Karno dan kondisi
taman, sedangkan Pram dan Margaret tenggelam dalam kebisuan. Margaret masih
marah perihal kedatangan Prita ke Ende, Pram kebingungan dan mereka-reka alasan
Prita datang ke Ende. Karel, yang diduga Pram membocorkan rencananya, sumpah
mati tidak pernah membicarakan rencana Pram pada Prita—pada siapa pun.
“Demi Tuhan, Bang
Pram,” Karel melakukan gerakan tanda salib sambil berucap, “Atas nama Bapa dan
Putera dan Roh Kudus. Saya juga bingung!”
Sepertinya rencana
Pram untuk meraih kembali hati Margaret terancam gagal.
***
Bersambung