Triplet
adalah tulisan lawas saya yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku
karena ceritanya lumayan absurd. Saya memutuskan untuk menerbitkannya di
blog, part demi part. Karena keabsurdannya, komentar kalian tidak akan
saya tanggapi kecuali buat lucu-lucuan. Ini bukan pembelaan diri, ini
bela diri dengan jurus menghindar. Selamat membaca Triplet.
***
PART 18
***
PART 18
~ Labuan Bajo ~
10 Agustus 2015
“Cuma badut yang bisa membuat manusia terbang ke awan, bukannya para
politikus tukang berkelahi.” – Charlie Chaplin.
Garuda ATR72 seri 600 touch
down di Bandara Komodo, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat. Suara kaku-terstruktur
perempuan dari pengeras suara mengabarkan bahwa penumpang lanjutan
diperbolehkan menunggu di terminal keberangkatan karena waktu take off menuju Bandara H. Hasan
Aroeboesman masih tigapuluh menit lagi.
“Wah!” keluh Pram,
memasang sunglasses.
“Kenapa?” tanya
Margaret sembari menuruni anak tangga. Dia mengenakan kaos dan celana selutut
warna cokelat. Sunglasses yang
sebelumnya bertengger di kepala dia turunkan ke posisi normal.
“Panas sekali ...”
Margaret terkekeh
mengejek. “Hampir sama panasnya dengan Kupang dan Maumere,” katanya. “Kamu sih
... terlalu sering bertapa di ruangan ber-AC!”
Sepanjang
perjalanan menuju ruang tunggu tak henti-hentinya Margaret mengoceh tentang
gedung baru bandara yang kini terlihat lebih moderen dan futuristik: bertingkat
dan berdinding kaca. Jika dibandingkan dengan bandara lama saat dia datang ke
Labuan Bajo pada tahun 2012, ibarat khayangan dan bumi.
Bergerombol bersama
penumpang lain mereka melewati dua pintu keamanan, lantas menuju ruang tunggu
keberangkatan.
“Duduk di sana,
yuk,” ajak Margaret, menunjuk ke bagian selatan ruangan besar dengan pendingin
udara maksimal ini. Mereka duduk bersisian dengan seorang laki-laki yang sedang
membaca buku berjudul Muhammad Al-Fatih 1453.
Margaret
mengeluarkan botol dan menegak air mineral hingga tandas.
Duduk berdiam diri
di ruang tunggu ini Margaret mengingat perjalanan-perjalanannya selama ini. Dia
menoleh menatap Pram yang sedang memerhatikan ruang tunggu dan seisinya. Kini
mereka bukanlah sepasang manusia buta yang coba meraba-raba dalam gelap, coba
melangkah dalam ketidakpastian, coba mencari tahu jawaban dalam
ketidaktersedianya jawaban. Kini mereka tahu. Langkah mereka pasti untuk
mencari jawaban.
“Pram, kalau ternyata informasi dari Subhan dan Avila ...
salah?” Margaret tahu ini bukanlah pertanyaan yang tepat. Mereka berada ribuan
kilometer jauhnya dari Jakarta. Tidak mungkin juga meminta pilot Garuda untuk
memutar balik pesawat hanya untuk mengembalikan mereka ke Bandara Ngurah Rai,
lantas kembali menumpang airbus
menuju Cengkareng. Lagi pula ATR72 yang
tadi membawa mereka dari Denpasar ke Labuan Bajo sedang dipersiapkan untuk
perjalanan berikutnya menuju Kota Ende.
“Insya Allah
nggak salah.”
“I hope so ...”
desah Margaret. “Nanti kita harus ceritakan semuanya sama Diba. Dia itu serba
tahu. Tahu banyak hal, kenal banyak orang, punya koneksi di mana-mana.
Shadiba’s Corner itu tempat informasi datang dan pergi ... katanya sih ...”
Mendadak mereka dikejutkan oleh laki-laki yang tadi nampak
serius membaca Muhammad Al-Fatih 1453.
“Maaf,” tegur laki-laki itu.
“Ya?” Margaret menoleh.
“Maksud Adek ... Shadiba Pua Saleh?” tanya laki-laki itu
lagi.
Berikutnya Pram dan Margaret hanya bisa membeliakkan mata.
Dunia sungguh menyimpan begitu banyak misteri.
xxXXXxx
Langkah
perempuan berambut cepak itu begitu pasti, memimpin seorang laki-laki berparas
menawan, menuju ke arahnya. Elf memerhatikan mereka sejenak, lantas kembali
membaca Muhammad Al-Fatih 1453 tulisan Felix Y. Siauw. Buku ini dihadiahkan
oleh Eriana, atau Er, salah seorang adik perempuannya, bersama buku lainnya
yang berjudul Beyond The Inspiration.
Elf tenggelam dalam paragraf yang mengisahkan tentang
galangan kapal yang pertama diaktifkan oleh kaum Muslim adalah di Alexandria di
Mesir pada masa Abdullah bin Sa’ad dan Acre di Suriah pada masa Muawiyah. Dua
kota ini merupakan basis armada laut Muslim dalam menandingi hegemoni Byzantium
di lautan selama lebih dari 300 tahun.
“Pram, kalau ternyata informasi dari Subhan ... salah?”
suara si perempuan berambut cepak.
Elf berusaha untuk lebih fokus membaca namun suara si
perempuan ber-volume tinggi sehingga sulit untuk mengabaikannya. Kupingnya
seakan menerima undangan untuk menangkap obrolan mereka: tentang nama seorang
laki-laki, Subhan, yang ditugaskan untuk memata-matai keluarga seorang
laki-laki lain, si buruan, tentang seorang perempuan bernama Avila yang bertugas
menyusup ke dalam keluarga itu dengan berpura-pura menjadi kekasih saudara
sepupu dari si laki-laki buruan.
Sudah
semacam film detektif ...
Namun detik berikutnya kepala Elf refleks menoleh ketika
si perempuan berkata, “nanti kita harus ceritakan semuanya sama Diba. Dia itu
serba tahu. Tahu banyak hal, kenal banyak orang, punya koneksi di mana-mana.
Shadiba’s Corner itu tempat informasi datang dan pergi ... katanya sih ...”
“Maaf,” tegur Elf.
“Ya?” si perempuan menoleh.
“Maksud Adek ... Shadiba Pua Saleh?” tanya Elf.
“Betul. Kakak kenal Diba?” tanya Margaret.
“Kenal. Sangat kenal.” Dia menyodorkan tangan. “Saya Elf.
Saya mantan kakak iparnya Diba. Itu
pun kalau ada istilah mantan kakak ipar ...” Elf tersenyum.
“Ha?” Margaret bingung. “Diba dan kembarannya kan anak
sulung. Mereka cuma punya adik laki-laki. Maksud Abang ... Atha sudah nikah?”
tanya Margaret.
“Bukan Atha, tapi Mira.”
Mata Pram terbeliak. “Mereka triplet?”
“Ya.”
“Bukan twin?”
kejar Margaret. Sekadar memastikan.
“Bukan.” Elf menggeleng.
Margaret rasa
dia butuh bergalon-galon air putih. “Dan yang sekarang jadi mantan istrinya
Abang itu ...”
“Mira. Dia triplet yang lahir pertama.”
Dengan
bodohnya Pram bertanya, “apa hubungan antara mereka bertiga dengan Danau
Kelimutu?”
“Pram!” hardik
Margaret.
“Just ... asking ... simply stupid question
...” Pram menyesal.
“Tidak ada,”
jawab Elf. “Mungkin karena jumlah mereka sama dengan jumlah kawah di Danau
Kelimutu. He he he. Tapi setahu saya, Kakek Ucup meramal nasib yang
berbeda-beda untuk mereka. Beberapa ramalannya sudah terbukti.”
“Oh ya?” Pram
antusias. “Misalnya?”
“Atha.
Sharastha. Dia diramal akan sangat mencintai hujan. Dan dia ... dia tidak hanya
mencintai hujan tapi juga punya kemampuan lain. Rasa-rasanya seluruh masyarakat
Ende tahu kemampuannya itu.”
“DIA BISA
BERTAMU KE MIMPI KITA?” Pram tidak sanggup menahan diri lagi. Bibirnya sulit
untuk dikunci.
“Sebrangi dimensi?
Mungkin. Setahu saya dia punya kemampuan psikometri,” jawab Elf.
“Dan si Diba
itu ... apa ramalan Kakek Ucup untuknya?” tanya Margaret iseng. Bisa jadi bahan godaannya kelak.
“Pecinta
Bantal. Tapi gara-gara itu dia giat berusaha agar tidak dikata-katai sebagai
Pecinta Bantal.” Elf tersenyum. “Dia suka bertualang. Masa kecil ... setiap
Minggu pagi Diba pasti berkeliling halaman belakang. Ransel dipakainya. Isi
ranselnya macam-macam! Dia berlagak persis turis sedang berkelana ...”
“Dan ... maaf
... mantan istri Abang itu? Apa yang diramal Kakek Ucup?”
“Pecinta
Senja,” jawab Elf. Lantas terdiam lama. Dia lantas menyeletuk. “Oh ya, obrolan
kalian tadi ... maaf bukannya saya menguping tapi kalian bicara cukup keras ...
soal mencari seseorang?”
Pram dan
Margaret saling menatap. Mereka percaya Elf adalah kakak iparnya Diba namun
apakah mereka boleh begitu saja menceritakan pencarian ini pada Elf? Seberapa
jauh Elf dapat dipercaya? Seberapa jauh Elf, mungkin, dapat membantu?
“Iya ... kami
mencari seseorang. Laki-laki.”
Jawaban
Margaret mengejutkan Pram karena sebelumnya Margaret bersikap tertutup pada
Elf.
“Oh ya? Siapa
namanya?” tanya Elf.
Mulut Margaret
hendak mengeluarkan suara lagi namun terdengar suara perempuan dari pengeras
suara yang menginformasikan bahwa pesawat Garuda yang akan membawa mereka ke
Ende, boarding.
“Ah ... boarding!” seru Elf.
“Bang Elf
kursi nomor berapa?” tanya Pram.
“Sepuluh A.”
“Ah ... kami
Tujuh C dan D. Ya sudah, nanti kita lanjut deh ceritanya,” ujar Pram.
Bersama penumpang
lain mereka berjalan kaki menuju pesawat.
***
Bersambung