Triplet adalah tulisan lawas saya yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku karena ceritanya lumayan absurd. Saya memutuskan untuk menerbitkannya di blog, part demi part. Karena keabsurdannya, komentar kalian tidak akan saya tanggapi kecuali buat lucu-lucuan. Ini bukan pembelaan diri, ini bela diri dengan jurus menghindar. Selamat membaca Triplet.
***
PART 17
***
PART 17
~ Larantuka ~
17 Juli 2015
“Di ujung timur Flores ada bencana gempa, tanah gerak, bumi bergoncang
retak ... Oh ... Larantuka.” – Boomerang (a
song).
Secara geografis Kabupaten Flores Timur
dibatasi sebelah Utara oleh Laut Flores, Selatan oleh Laut Sawu, Timur oleh
Pulau Adonara, dan Barat oleh Kabupaten Sikka. Ekspansi Portugis ke
negara-negara jauh terwujud nyata di Pulau Flores, terkhusus Kabupaten Flores
Timur yang beribukota Larantuka.
Nama Pulau Flores berasal dari bahasa Portugis Cabo de Flores yang berarti Tanjung
Bunga. Nama ini semula diberikan oleh S. M. Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari
Pulau Flores. Pada tahun 1636 nama ini resmi dipakai oleh Gubernur Jenderal
Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama Flores sesungguhnya tidak mencerminkan
kekayaan floranya. Lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969)
mengungkapkan bahwa nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa yang berarti Pulau
Ular. Dari berbagai tradisi lisan dapat diketahui bahwa yang disebut suku asli
Flores Timur adalah kelompok suku Ile Jadi, yaitu suku yang leluhurnya—Wato Wele Oa Dona dan Lia Nurat Nuru Nama—dilahirkan dari
dalam Gunung Ile Mandiri. Sedangkan suku-suku pendatang adalah Suku Tena Mau
yang datang ke Flores Timur karena tena—perahu
dan mau—terdampar. Kelompok Sina Jawa
adalah kelompok yang datang dari berbagai wilayah Nusantara bagian barat.
Kelompok Puken adalah kelompok yang berasal dari Pulau Lepan Batang, pulau yang
dipercaya tenggelam di dasar laut.
Pengaruh-pengaruh luar yang masih dapat diketahui adalah
pengaruh Jawa, diduga berasal dari masa Hindu pada abad ke-13; Bugis Makasar,
diduga bermula dari abad ke-16 dengan bukti sampai sekarang masih terdapat
naskah lontar bertulisan Bugis di Pulau Solor; Ambon, terutama dalam zaman
pemerintahan Belanda pada awal abad ke-17; Portugis, yang tiba di Pulau Solor
pada tahun 1556 disertai migrasi besar-besaran penduduk Melayu Kristen ketika
Portugis ditaklukkan Belanda pada tahun 1641 di Malaka.
Meskipun letak Larantuka, juga dikenal dengan nama Kota
Reinha (baca: Renya), terpencil dari daerah maju lain di Indonesia, namun dalam
sejarahnya kota ini merupakan salah satu tempat yang pertama kali didatangi oleh para pedagang Eropa. Kota
Larantuka didatangi pedagang Portugis ketika mereka singgah dalam perjalanan
menuju Pulau Timor untuk mencari kayu cendana. Di kota ini simbol-simbol
Kristiani seperti Patung Tuan Ma—Bunda Maria, Patung Tuan Ana—Yesus, Patung
Mater Dolorosa, Gereja Katedral, kapela-kapela, serta Istana Raja Larantuka
dalam arsitektur Romawi dan Portugis jaman dulu, mempertegas identitasnya
sebagai kota religi.
Portugis meninggalkan bermacam pengetahuan kepada penduduk
Larantuka, dan akar budaya yang hingga kini masih mengental. Salah satunya
adalah Semana Santa atau Hari Bae—baik, diperingati untuk mengenang kisah
sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus sebagai rangkaian peringatan
Paskah umat Katolik. Ritual ini merupakan puncak devosi peninggalan para paderi
Portugal abad ke-16 yang berakar kuat pada tradisi Portugis. Dalam Jalan Salib
akbar di Kota Larantuka, yang bermula dari Gereja Kathedral melintasi Pohon
Sirih Atas hingga Pohon Sirih Bawah, do’a-do’a yang dipanjatkan masih
menggunakan bahasa Portugis.
Dalam prosesi Semana Santa warga Larantuka sibuk mempersiapkan
Armida altar stasi dalam Jalan Salib, yang saat perhentian di setiap armida
dilantunkan do’a dan kidung berahasa Portugis. Juga turo—pagar bambu di sisi kanan dan kiri jalan raya tempat prosesi
berlangsung. Di atas turo itu
dipasang lilin yang akan menyala sepanjang malam. Bagi Orang Larantuka tradisi
ini mempunyai arti dan makna yang sangat dalam. Dalam hidup Orang Nagi,
panggilan untuk Orang Flores Timur, Hari Bae dimaknai sebagai hari berlimpah
rahmat dari surga.
Ucup tersenyum sambil melepas headset. Dia nyaris menyamai kakaknya,
Diba, menghafal sejarah Kabupaten Flores Timur dan Kota Larantuka, karena
mendengar cerita sejarah yang sama berulang-ulang. Bisa jadi Diba lebih paham
mengenai Kabupaten Flores Timur ketimbang tanah leluhur mereka: Pulau Ende dan Lio. Entah ada apa antara kakaknya itu dengan bangsa Portugis. Yang
jelas selain tergila-gila pada Ibnu Bin Abi Thalib, Diba sangat mengidolakan
Vasco da Gama. Diba meyakini Vasco da Gama lah yang telah menanamkan bibit
melancong dalam dirinya. Hingga kini Diba telah menjejak kaki hampir di semua
pulau besar di Indonesia, kecuali Papua. “Papua masih jadi mimpi, Cup!”
Di samping Diba, di bawah naungan pohon rindang di Taman Kota
Reinha, di daerah Pohon Sirih Bawah, Sheena Rasmuseen serius mendengarkan sambil
mengangguk-angguk. Sesekali Diba menunjuk ke arah timur, Patung Mater Dolorosa, diiringi luncuran kata dari
bibirnya. Jika bukan karena Sheena, turis asal Denmark yang cantiknya membikin
Ucup klepek-klepek, belum tentu bungsu Pua Saleh ini mau
mengambil duabelas hari cuti dan bersedia menjadi supir dadakan
menggantikan Petrus. Ucup baru saja mendengarkan lagu Kota Reinha yang
dinyanyikan oleh penyanyi Ende: Ossi Ngouth dan Henny Mbare, ciptaan Tomi da
Silva, dengan aransemen musik oleh Toto Pharmantara. Lagu ini koleksi Diba,
yang dia konvert dari kaset berpita menjadi format mp3.
“Daiba—Diba,” sela Sheena, “apakah saya bisa scuba
diving di sini—nanti—kalau saya kembali datang?”
Diba mengangguk pasti. Keindahan Pulau Flores niscaya mengundang
pelancong untuk kembali datang.
“Kak, cerita soal Paskah duaribu empatbelas itu,” ingat Ucup.
Sheena mengerut kening. “Ada apa?”
Selat sempit Larantuka mempunyai arus yang konon kabarnya
termasuk yang paling kencang di dunia, sama dengan di Selat Sape: selat di
sekitar Pulau Komodo dan Flores Barat.
Tapi sesekali dalam sehari selat itu tidak berarus. Kondisi tanpa arus seperti
ini biasanya hanya berlangsung kurang lebih satu jam yaitu saat peralihan
antara arus yang mengalir dari luar, yang oleh masyarakat disebut Ole, dan arus yang mengalir keluar,
disebut Hura, atau sebaliknya. “Ada
arus yang disebut Gonzalu, Sheena. Arus itu ganas. Pada perayaan Paskah
kemarin, saat Prosesi Laut membawa Tuan
Meninu, Raja Larantuka, dari Pulau Adonara ke Larantuka, terjadi musibah.”
Derasnya arus Gonzalu menjadi salah satu penyebab
tenggelamnya kapal Nelayan Bakti 74 yang mengangkut peziarah pada Prosesi Laut,
Jumat, 18 April 2014.
“Kasihan mereka.
Semoga mereka terberkati,” do’a Sheena
tulus.
“Kalau kau mau datang lagi ke Larantuka, tunggulah Paskah
tahun depan! Peziarah yang datang ke sini dari seluruh dunia,” cerita Diba
berapi-api tentang kelompok-kelompok peziarah dari Taiwan
dan
kamera-kamera yang muncul di atas kepala peziarah, berlogo National Geographic
atau MetroTV.
“I will!” janji
Sheena. “It’s nice to know you, Daiba. thank you … thank you to company me visit
Larantuka and Maumere.”
Telepon genggam Ucup berdering. Malas-malasan dia
mengeluarkan G-Note dari dalam saku celana.
Diba tersenyum puas. Adalah kebanggaannya dapat menemani
teman-teman dalam lingkaran pelancong,
sebagaimana adanya. Dia mengenal Sheena lewat Gina, pemilik akun Twitter @PakaiRansel, yang ingin sekali
menyisir Pulau Flores dari timur ke barat. Namun, waktu yang disiapkan Sheena
hanya lima hari. Untuk lima hari Diba hanya bisa membantu membuat itinerary dari Larantuka, Maumere,
lantas ke Ende. Sheena akan terbang ke Bali dari Bandara H. Hasan Aroeboesman,
Ende. Keinginan Sheena untuk pergi ke Pulau Komodo, Pulau Kanawa, Desa Waerebo, melihat
Tarian Caci, sawah laba-laba, dan Kampung Adat Bena, terpaksa batal.
“Kak,” panggil Ucup. BBM yang dibacanya lebih dari cukup
untuk membuat Diba syok.
Diba menoleh. “Apa?”
“Kiamat sudah dekat.”
Kening Diba mengerut. Sesaat dia terdiam, lantas, “apa!?”
“What?” tanya
Sheena.
Kiamat sudah dekat. Kalau
sampai Bang Elf juga pulang ke Ende, kiamat sudah dekat! Diba mendengar suaranya
sendiri bergema di kepala. Ekspresi wajahnya sontak berubah. Untuk pertama kali
dalam tujuhbelas tahun dia ingin melaksanakan
niatnya dulu: menampar pipi manusia, si
trouble maker. Cuaca panas Larantuka membuat darahnya semakin mendidih.
Beberapa saat dia melupakan keberadaan Sheena. Pikirannya melayang pada hari
dimana dia menyeletuk, “kalau sampai Bang Elf juga pulang ke Ende, kiamat sudah dekat!”
Lantas Ine memangkas, “apa pun yang terjadi, dia masih bagian dari keluarga
kita. Dia yang
selamatkan nama baik keluarga kita!”
Pernyataan yang sama juga pernah dia
lontarkan seusai kumpul-kumpul-cantik valentine
...
“Daiba, are you okay?”
tanya Sheena kuatir.
“Ah … ha ha ha … I’m
okay.” Diba tertawa getir. No, I was
okay, Sheena. Dia mengelus dada, sesuatu dibalik kaos hitamnya terasa
dingin di kulit. Sesuatu yang membangkitkan cerita lama yang tertidur.
Ucup tersenyum getir. No,
she’s not okay, beautiful!
Ingin sekali Diba membahas perkara ini bersama Ucup. Namun
dia lebih menghargai waktu dan keberadaan Sheena.
“Sudah sore. Ayo kita kembali ke rumah Kakak Nona,” ajak
Diba. “Besok pagi-pagi sekali kita berangkat ke Desa Moni. Lusa pagi ke Danau
Kelimutu, dan langsung kembali ke Ende karena pesawat kau akan terbang jam tiga
sore ke Bali,” ujarnya pada Sheena yang dibalas dengan anggukan setuju dan
senyum puas. Mereka bangkit, santai berjalan
kaki ke arah Pohon Sirih Atas.
Pusat Kota Larantuka terdiri atas dua jalan: Pohon Sirih Atas
dan Pohon Sirih Bawah. Yang memisahkan Pohon Sirih Atas dengan Pohon Sirih
Bawah adalah jalan-jalan sempit sepanjang tigaratus meter. Kediaman Paul
Fernandez dan Nona Lamury terletak pada salah satu jalan sempit tersebut.
Keluarga Lamury, asli Larantuka, sejak dulu telah menjadi penduduk Kota Ende.
Nona lahir dan besar di Ende, kemudian kuliah di Kupang, hingga akhirnya
dipersunting Paul. Sedangkan kakak-kakak Nona berdomisili di daerah terpisah: Pulau
Lembata, Kupang, dan Ende.
Nona telah menyediakan teh panas dan sepiring jagung titi,
cemilan khas Flores Timur, di ruang tamu. Kadang-kadang terbit rasa malu Diba
karena seringnya dia merepotkan keluarga ini. Namun demikian adanya sifat Orang
NTT pada umumnya. Mereka akan sangat tersinggung jika kaum kerabat, bahkan
kenalan, menginap di hotel seakan-akan keberadaan mereka
terabaikan.
Usai mandi, sembari menikmati teh dan mengobrol dengan
keluarga Fernandez di ruang tamu, Diba
menghidupkan laptop-nya. Meskipun
nampak serius mengetik, pikirannya sedang mengembara. Dia ingat
Vasco da Gama dan betapa tidur siangnya yang nikmat diinterupsi Atha. Siang itu
mimpi indahnya terpangkas tragis.
xxXXXxx
~ Ende ~
Mei 1998
Sebenarnya
dia ingin memperingatkan Vasco da Gama tentang badai yang bakal mengepung kapal
mereka di perairan jauh Cepe Verde Island, informasi tersebut telah datang
mendahului segala penciptaan alam abu-abu dan ketidakpastian yang membelenggu
perasaannya. Namun setiap kali melihat otot bisep laki-laki ini, dan wajah
tegas yang separuh ditumbuhi brewok liar, niatnya urung. Fokus terpecah karena
otaknya menampilkan suasana romantis
bersama si pelaut gagah di pantai bagian barat Pulau Ende yang dipenuhi pesepakbola
amatir sedang rebutan bola plastik murahan. Wajahnya,
ototnya, brewoknya, dia laki-laki sejati.
“Hei, kau! Jangan diam saja! Tarik tali itu!” teriak Vasco da
Gama. Meskipun suasana mulai chaos,
pelaut gagah masih mewakili wibawa seorang kapten.
“Saya?” blo’on dia bertanya.
Vasco da Gama menghilang dari hadapannya, berlari-lari di
sekitar geladak, masih berteriak memberi perintah pada anak buah kapal. Badai
akan segera datang, mereka tidak bisa menunggu, apalagi menunggu Vasco menjadi
finalis ajang bergengsi American Next Top Model Man and Woman.
“Arah tenggara, Vasco! Hati-hati paus biru!”
Kengerian terpancar di
wajahnya saat Vasco da Gama pura-pura tuli, tidak mendengar peringatannya. Dia
lebih ngeri lagi membayangkan jika laki-laki impiannya ini buta. Kalau Vasco buta, dia tidak bisa melihat
saya memakai gaun yang dibelikannya.
“Arah tenggara, Vasco!” teriaknya lagi. Tapi suaranya ditelan
gemuruh yang belum pernah dia dengar sebelumnya. Kapal mereka menabrak paus
biru, dan dia ingin menangis, lantas terbalik. Dia merasakan paru-parunya mulai
terisi air. Mati sebelum dinikahi Vasco da Gama adalah cita-cita yang gagal,
dan sama sekali tidak keren.
“Saya mati! Saya mati!”
“Kau pasti mati kalau tidak
lekas bangun!”
Diba mendapati dirinya terdampar.
Di—kamar. “Kau!” raungnya.
Atha menyilang telunjuk di bibir.
“Vasco da Gama masih hidup … dalam mimpi kau … sekarang kau cepat mandi. Baba dan
Ine sudah tunggu kita di ruang makan.” Dia
mengetahui perihal Vasco da Gama bukan karena kemampuan yang dimilikinya
melainkan karena Diba sudah terlalu sering memimpikan si pelaut setiap tidur
siang dengan iler tumpah-ruah.
“Ada apa? Jam berapa sekarang?” Diba menoleh menatap jam
dinding berbentuk Hello Kitty.
“Mira …”
“Mira kenapa, Tha?”
“...”
Satu jam setelah tragedi menabrak paus biru, dan kehilangan
pesona Vasco da Gama, Diba benar-benar menangis dalam diam.
“Kenapa kau tidak bisa baca
kami, Tha?” Diba terisak. Perasaannya tersayat. Cinta
memang tidak pernah terucap dari bibir Elf tapi cinta itu ada, menyala-nyala
... lantas ... tersapu banjir.
Saya selalu mencari tahu tapi
tidak ada seorangpun yang bisa kasih jawabannya. Seandainya Kakek Ucup masih
hidup. Atha mematung di jendela yang terbuka, menatap bulan yang
bisu. “Saya minta maaf, Dib. Maaf …”
Seandainya sekejap saja Mira mau memberikan kesempatan
pada otaknya untuk berpikir lebih bijaksana, tentu kejadian buruk itu
tidak terjadi. Pergi dengan orang asing bukan bencana jika tidak ada maksud
jahat tersembunyi. Namun segalanya sudah terlambat.
“Kenapa Bang Elf …” Diba tersedu-sedu.
“Bang Elf hanya mau selamatkan keluarga kita.”
“Saya benci mereka … cinta sesaat yang sesat!”
“…”
xxXXXxx
Benar
jika Diba mengaku Vasco da Gama lah yang telah menanamkan bibit melancong dalam
dirinya. Benar juga jika, dan tidak ada seorang pun yang tahu, Elf lah yang
telah membuatnya bertekat untuk menaklukkan dunia … satu per satu pulau di
Indonesia telah dia jelajahi. Dunia, perkara waktu, dan tentu saja uang.
Sekarang
Bang Elf juga pulang ke Ende ...
“Kakak Shadiba Pua Saleh!”
Diba tergagap.
Ucup menggelengkan kepalanya. “Ditanya sama Bang Paul tuh!”
Wajah Diba bersemu merah. Menghangat. Dia menoleh ke arah
Paul. “Bagaimana, Bang Paul?”
“Besok jam berapa berangkat?” tanya Paul.
“Kalau bisa subuh … tapi supir kita ini macamnya susah bangun
subuh,” jawab Diba.
Ucup mencibir. “Kan pergi ke Danau Kelimutu masih lusa, Kak.
Besok kita hanya keliling Moni saja.”
Nona, yang baru selesai memasak dan mencuci perkakas dapur,
bergabung dengan mereka di ruang tamu. “Eh, bemana—bagaimana
kabar Mira sekarang?”
Diba bungkam. Dia membiarkan Ucup mewakili dirinya menjawab
perihal Mira dan perceraiannya. Saat ini antara otak dan
bibirnya sedang enggan bekerja sama.
“Kalau nanti kalian pergi ke makamnya Kakek Ucup, jangan lupa
titip do’a dari saya,” pesan Nona, membelokkan topik karena merasa
tidak enak hati mendengar cerita perceraian Elf dan Mira. “Saya belum tahu apa tahun
ini bisa liburan Natal di Ende atau tidak.”
Diba mengangkat wajah dari Papoy. “Kakak Nona masih ingat
dulu diramal apa sama Kakek?”
Nona terbahak-bahak. “Aduuuh Kakek Ucup, padahal waktu itu
saya masih SMP. Sudah Kakek baca saja kitorang—kita
pung—punya masa depan.”
Paul menatap mereka bergantian. “Memangnya apa ramalan Kakek
Ucup untuk kau, Oa—Nona?” dia
bertanya, penasaran.
“Nikah sama laki-laki bermarga Fernandez!”
Meledaklah tawa mereka di ruang tamu rumah pasangan Fernandez
ini.
“Saya rugi … Kakek Ucup meninggal sebelum saya sempat kenal
beliau,” sesal Paul.
G-Note milik Diba
berdering. Kode area 021. Jakarta. Diba membayangkan wajah teman melancongnya:
Margaret. Perempuan berambut cepak yang punya cita-cita hidup tiga tahun di
Papua dan selalu mencetus ide gila.
“Halo,” sapa Diba.
“Selamat siang.
Betul ini nomor handphone-nya Shadiba
Pua Saleh?” suara di seberang bukan suara Margaret. Terlalu nyaring.
“Betul.”
“Begini Mbak Diba.
Saya Vera dari tabloit online
Perempuan Hebat Kita. Mengenai profil tabloit kami, Mbak Diba bisa membacanya
di Perempuan Hebat Kita Dot Com.”
“Ya ...”
“Saya ingin
mewawancarai Mbak Diba untuk profil PHK bulan Agustus besok. Boleh, Mbak?”
Mata Diba membulat.
“Eh ...”
“Alasan kami
memilih Mbak Diba, setelah searching
sana-sini, ternyata Mbak Diba ...”
Kuping Diba patuh
mendengar Vera mengupas beberapa hal tentang dirinya. Termasuk dirinya yang
dikenal sebagai pelancong gratisan—senantiasa mengejar kompetisi demi tiket
gratis ke tempat wisata di Indonesia.
“... jadi ... kapan
Mbak Diba ada waktu? Kalau sekarang boleh?”
“Wah, sekarang saya
masih di Larantuka, dan masih sibuk ... Senin depan saja ... bagaimana?”
“Boleh.”
“Bukannya lebih
mudah kalau lewat e-mail?”
“Kami terbiasa
lewat telepon, Mbak. Akan lebih terasa feel
dari tokohnya.”
Wow. Tokoh!
“Baiklah, Vera. Terima kasih.”
Baru saja Diba
meletakkan Note3 di atas meja, benda itu kembali berdering. Lagi-lagi nomor
baru.
“Halo ...”
“Shadiba Pua Saleh!
Kampret! Untung kamu masih pakai nomor ini. Ha ha ha.”
“Siapa ini?”
“Hei! Kamu sombong
ya, sekarang.”
“...”
“Baru-baru ini aku
mengalahkan ribuan traveler ... aku
terpilih berangkat ke Papua ... aku ...”
“MARGARET!!!!!”
“Kampret!”
“Ha ha ha. Ada apa?
Tumben kau telepon. Handphone kau
sudah ganti?”
“Masih yang itu. Eh
eh ... aku mau ke Flores.”
“Ha? Benar? Kapan?”
“Bulan depan!”
“Asyiiikkk ...”
“Oh ya, Dib. Kamu
nggak pernah cerita kalau punya kembaran ...”
“Apa untungnya
cerita? Waktu itu kita lebih sering kuatir ban mobil sewaan gembos dan kita
telat tiba di kota berikutnya. Kita lebih sering kuatir tidak menang dalam
kompetisi-kompetisi lainnya.”
“Ah—ya. Jadi ...
kamu punya saudari kembar? Namanya Sharastha?”
“Yep. Betul sekali.
kenapa? Kau juga mau ditembusi sama dia?”
“Ditembusi
bagaimana?”
“Psikometri,” jawab
Diba anteng. “Hati-hati, dia bakal tahu semua rahasia kau, Margaret. Ha ha ha,”
Diba tertawa raksasa.
“O ... Eh ...”
“Kapan tepatnya
tiba di Ende? Supaya saya bisa atur jadwal, bisa siapkan kamar tamu di rumah.
Atau ... kau mau tidur di hotel?”
“Kalau ada yang
gratisan ...”
“... kenapa harus
bayar?”
Dua perempuan yang
berada di kota yang berbeda ini serentak terbahak.
“Kira-kira Agustus
... pertengahan lah aku ke Ende,” ujar Margaret.
“Oke. Saya tunggu,
ya!”
“See you soon, Diba!”
“Tidak sabar ketemu
kau!”
Ucup memerhatikan
kakaknya, lantas bertanya, “siapa, Kak?”
“Margaret. Anak
ACI.”
“Oh yang itu.” Ucup
mengangguk-angguk. “Dia mau ke Ende, Kak?”
“Iya.”
“Nginap di rumah
kita, Kak?”
Diba menoleh. “Heh!
Apa masalah kau ini?”
“Kakak mau kasih
dia tidur kamar yang mana? Kamar tamu kita sekarang kan sudah ada penghuninya.”
Diba memukul
kening. “Ah! Ya sudah, nanti mereka tidur di hotel saja.”
Nampaknya setelah
kepulangan Mira ke Ende, tamu-tamu Diba terpaksa menginap di hotel.
***
Bersambung