Triplet adalah tulisan lawas saya yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku karena ceritanya lumayan absurd. Saya memutuskan untuk menerbitkannya di blog, part demi part. Karena keabsurdannya, komentar kalian tidak akan saya tanggapi kecuali buat lucu-lucuan. Ini bukan pembelaan diri, ini bela diri dengan jurus menghindar. Selamat membaca Triplet.
***
PART 15
***
PART 15
~ Riung ~
10 Mei 2015
“Sesungguhnyalah,
manusia itu sebatang sungai yang tercemar, dan orang harus jadi sehamparan laut
untuk menerima sebatang sungai yang tercemar tanpa ia sendiri jadi najis.” – Goenawan
Mohamad.
X-Trail yang pada bagian bawah nomor pelat-nya bertulis
‘M.A.D. Ucup’ (Mira, Atha, Diba, Ucup) tiba di percabangan Ende-Aigela-Bajawa.
Diba memelankan laju mesin, memerhatikan kios-kios sederhana yang berderet
rapat sepanjang limaratus meter, lantas berhenti di bawah cabang pohon besar yang mengarah ke badan jalan.
“Heh, Orang Jawa
... turun!” teriaknya.
Mono, Farid, dan
Bandit terlonjak. Mereka mengucak mata, memerhatikan sekitar, dan bertanya-tanya berada di manakah mereka sekarang.
“Kalian ini
pelancong paling aneh. Memangnya ini study
tour? Tidur saja kerjanya! Pelancong lain pasti bakal heboh jepret sana,
jepret sini, minta turun minta difoto. Kalian ... ngoroook!” omel Diba. “Ayo
bangun ... bangun!”
Mono menggeliat.
“Capek gilak!”
“Memangnya itu
pilot minta kau dorong pesawat dari Jogja ke Ende kah?” balas Diba.
“Idih ... idih ...
coba pikir,” balas Mono. “Jam sepuluh malam kami sudah dijemput sama mobil travel, berangkat ke Surabaya. Jam enam check in ... bla bla bla ... tiba di
Ende jam dua siang. Tanpa istirahat. Sama tuan rumah yang ‘ramah’ ini kami
harus segera berangkat ke Riung. Apa nggak oke itu?” sungutnya.
“Halaaah ...” Diba
mengibas tangan. “Sudah sana turun dulu. Kita istirahat di sini. Isi perut dulu. Ntar kita lanjut ke Riung,” dia meloncat
turun dari X-Trail.
“Riung masih jauh,
Kak?” tanya Bandit. Adik sepupu Mono ini bertubuh kerempeng layaknya bayi
kurang gizi. Kondisi fisiknya berbanding terbalik dengan julukan ‘Bandit’ yang disandangnya sejak SMA.
Laki-laki bernama asli Handoko ini baru saja meraih gelar Sarjana Teknik. Tak
disangka dia diajak Mono pergi ke Pulau Flores. Rencana lama yang akhirnya baru
terlaksana.
“Masih,” jawab Diba
seraya pergi ke salah satu kios—kios langganannya. “Mama, jagung ada?” dia
bertanya.
Pemilik kios,
perempuan tua yang mengenakan kaos dan sarung tenun ikat motif Nagekeo,
mengangguk. “Masih baru,” katanya sambil membuka panci yang berada di atas
tungku (berbahan bakar kayu). Uap panas menerjang udara.
“Hanya di kios ini
jagungnya benar-benar baru,” bisik Diba.
“Maksudnya?” tanya
Mono, melirik skeptik.
“Di kios lain,
kebanyakan jagungnya sudah direbus dari pagi, terus dipanasin lagi, lagi, lagi
... kalau sudah sore begini jagungnya jadi hambar. Manisnya habis diserap sama
air rebusan! Kita kayak makan ampas.”
“Ooo.” Bandit dan
Farid mengangguk-angguk.
“Ini kios langganan
saya,” ujar Diba.
Mereka menghabiskan
berbatang-batang jagung, menikmati kopi hasil olahan rumah, dan telur rebus.
Satu dua bis, mobil travel, dan
sepeda motor menepi. Satu dua penumpang bis berjalan sempoyongan dengan wajah pucat pasi. Pasti mabuk kendaraan. Entah sudah berapa banyak isi perut yang meloncat ke luar. Jalanan lintas Pulau Flores ini lebih banyak kelokannya ketimbang kios tambal bannya.
“Aigela ini semacam
check point. Rata-rata semua
pengendara dari Ende, Bajawa, atau Mbay, pasti berhenti di sini untuk
istirahat. Kekurangannya hanya satu, fasilitas kamar mandi umum sudah rusak,”
Diba menunjuk puing terminal.
“Yang penting ada
pohon, Dib,” sambar Mono. “Tinggal cooorrr
...”
“Kalau perempuan
tinggal cor juga?” tanya Diba sambil
mengulum senyum.
“Ya dibuka dulu
baru cooor,” balas Mono.
“Cor atau crot, sih, Mas?” Bandit bertanya pada Mono. “Atau srot?”
“Punya kamu
bunyinya apa?” Mono balas bertanya. Pertanyaannya dijawab Farid dengan,
“BLEDUUG!”
“Ha ha ha ...” Diba
terbahak. “Bledug! Macam suara es batu!”
“Ha ha ha ...”
Bahasan cor, crot,
srot dan bledug ini bersambung pada feses
dan aroma kentut. Pemilik kios jagung hanya bisa menelan ludah mendengar
obrolan empat orang di depan kiosnya ini—karena tidak paham. Baginya jagung rebus, telur rebus, dan kopi dagangannya laku.
Menjelang pukul
16.00 Diba mengajak ketiga tamunya beranjak menuju Riung.
“... ngomong-ngomong
... sudah lama kalian kenal Ampoi?” tanya Diba. Tangkas dia menghindari jalanan
yang berlubang. “Giginya sudah tumbuh?” tanya Diba mengejek teman pelancongnya
itu.
“Satu tahun
terakhir dan masih ompong,” jawab Mono. “Kamu dan Ampoi kenalan waktu ikutan
Aku Cinta Indonesia yang diadain sama Detik itu, ya?”
“Yess, you right! Tapi saya tidak satu
tim sama Ampoi. Teman satu tim saya namanya Margaret. Perempuan gila. Sudah
hampir seluruh Indonesia sudah dia jelajahi. Anehnya si Margaret itu, pelancong lain pasti rajin main media sosial buat cerita-cerita perjalanan mereka, kalau Margaret ... mana mau! HPnya saja masih Nokia yang jaman jebot itu. Dia lebih suka menjual tulisannya ke penerbit atau majalah,” cerita Diba.
“Enak ya, Kak, jadi
petualang,” celetuk Bandit dari kursi belakang.
“Enak bingits!”
jawab Diba. “Tapi jangan sebut saya petualang. Saya lebih suka disebut
pelancong.”
“Kenapa begitu,
Kak?” tanya Farid.
“Lebih suka saja,”
jawab Diba. “Jadi pelancong itu,” lanjut Diba “memudahkan hidup sendiri.
Maksudnya begini ... pelancong itu ibarat lingkaran setan karena ... eh, dia
lagi, eh, dia lagi. Punya teman di mana-mana. Ke mana pun tidak susah karena
pasti ada teman yang bersedia membantu ... akomodasi, transportasi, bahkan
konsumsi pun tidak susah!”
Sepanjang
perjalanan dari Aigela menuju Riung, melewati Mbay—ibu kota Kabupaten Nagekeo,
mereka mengobrol tentang banyak topik diantaranya peran Mono meningkatkan level pergaulan Diba dan Atha dengan memperkenalkan dan mengajarkan mereka tentang internet, betapa
Diba dan Atha tidak pernah terlambat membayar uang kos dan biaya kuliah,
termasuk betapa baiknya dua mahasiswa asal Pulau Flores yang rela patungan demi
membayar biaya SKS Mono yang tertunggak.
Pukul 18.30 mereka
tiba di Riung. Rustam, sahabat masa SMA Diba, menyambut di halaman Nirvana
Bungalow.
“Rustaaaaam!”
“Haha. Kau ini. Ayo
masuk!” ajak Rustam.
Rustam, laki-laki berdarah Bugis-Ngada, adalah
pemilik Nirvana Bungalow. Dulu Nirvana Bungalow hanya mempunyai empat bungalow untuk tamu dan dua bungalow sederhana di halaman depan
untuk sopir. Kini di halaman belakang rumah induk telah berdiri sepuluh bungalow sedangkan bungalow untuk sopir sudah dihancurkan. Diba paling suka konsep bungalow-nya: setengah tembok dicat
warna-warna cerah dan dipermanis dengan grafiti pada dinding muka, tempat tidur
empuk dan bersih dilengkapi kelambu, dan kamar mandi setengah atap yang juga
bersih. Kamar mandi setengah atap ini lah yang paling disukai Diba karena
setiap kali mandi dia boleh melihat langit. Hanya saja harus diakui pohon-pohon
kelapa yang berdiri di sekitar bungalow
membuka kesempatan pada begundal untuk mengintip. Untungnya di Riung hampir
tidak ada begundal bersileweran.
“Ooo. Jadi ini Mono
yang pernah kau ceritakan itu,” ujar Rustam.
“Iya, Mas,” jawab
Mono.
“Hahaha. Jangan panggil
Mas. Saya bukan Orang Jawa,” tampik Rustam. “Panggil Rustam saja.”
“Kak Rustam asli
orang ... Riung?” tanya Farid. Dia menggunakan ‘Kak’ yang lebih umum.
“Campuran,” jawab
Rustam.
“Kalian mau minum
apa? Kopi? Teh? Susu? Kopi susu? Atau?” tawar Diba. “Tam, si Bibi Ame masih
bekerja di sini?”
“Bibi Ame ada di
belakang,” jawab Rustam, lantas membakar sebatang rokok.
“Oke. Hei Orang
Jawa, mau minum apa?” ulang Diba.
“Kopi saja, Kak.
Seperti yang di Eagala tadi,” pinta Bandit. “Enak sekali kopinya.”
“Aigela, Dit, bukan
Eagala,” koreksi Diba lantas menghilang ke dalam rumah.
“Kalian tidur di
rumah sini saja. Atau mau tidur di bungalo?” tawar Rustam.
“Kata Diba ... kami
boleh tidur di rumah ... sekalian berhemat,” jawab Mono malu-malu.
“Harus itu!” Rustam
tertawa.
Bibi Ame datang
membawa minuman untuk tamu-tamu dari Yogyakarta ini. Diba duduk selonjor di
beranda, menyadarkan punggung ke tembok. Dia hanya bertindak sebagai pendengar
dan geli melihat tiga laki-laki asal Yogyakarta terbius oleh cerita Rustam.
Kali ini Rustam bercerita tentang dua manta
(pari) yang pernah dikejar oleh perahu motor sewaan turis asal Kanada, namun
menghilang di lepas pantai kepulauan Riung. “Ternyata waktu mereka kembali ke
dermaga Riung ... suasana lagi heboh. Ada dua mayat anak laki-laki ditemukan di
antara pohon-pohon bakau.”
“Hiii!” Farid
bergidik.
“Ha ha ha.” Diba
terbahak. “Kalian ini, sudah jauh-jauh menyeberang laut, masih takut juga sama
cerita begituan. Itu hanya dua kejadian yang dikait-kaitkan saja. Mitos. Tipe
kalian ini paling mudah dikerjain sama Rustam.”
“Tapi, kan, ngeri
juga, Kak,” balas Farid. “Kejadiannya tepat begitu.”
Rustam terkekeh.
“Sekarang kalian mandi dulu lah, terus istirahat. Kalau mau nonton teve,
silahkan nyalakan sendiri. Mau jalan-jalan keliling juga boleh. Nanti malam kita makan cumi bakar dan cumi asam
manis, ya.”
“Asyik!”
“Besok mau ke
pulau, Dib?” tanya Rustam.
“Iya, donk. Kasihan
orang-orang ini kalau tidak diajak ke pulau. Lusa kami pulang ke Ende ...
mereka hanya lima hari di sini ... mau saya ajak ke Danau Kelimutu juga.”
“Oke. Saya hubungi
Amin.”
“Hei, ayo minum
kopinya! Ini kopi arabika Bajawa itu loh,” ajak Diba.
Mono menghirup
kopinya. Dalam hati dia beruntung punya sahabat seperti Diba; tidak hanya murah
hati namun juga punya banyak koneksi hampir se-Pulau Flores. Jelas informasi
tersebut dia peroleh dari Atha, bukan dari Diba sendiri. Waktu masih kuliah, Atha paling senang bercerita tentang Diba dan pergaulannya.
“Kak Tam,” panggil
Bandit.
“Ya?”
“Sudah berapa lama
nggak pangkas rambut?”
Rustam tergelak.
Jika diurai rambut gimbalnya melewati bokong. Rambut kebanggaannya ini sudah
lama tidak tersentuh gunting. “Saya lupa, Dit. Soalnya kalau kena gunting ...
kesaktian saya hilang.”
Mata Bandit
membulat. “Benar begitu, Kak?”
“Payah!” sungut
Diba. “Mau saja kau dibodohi Rustam.”
“Aku juga hampir
percaya,” sambar Mono.
“Ya sudah, saya
duluan mandi,” pamit Diba. Dia bangkit dari lantai, mengerluarkan perlengkapan
mandi, lantas pergi ke kamar mandi. Melintasi ruang tamu dia menyapa gantungan
unik di tembok yang menghadap pintu rumah. “Halo, Dreamcatcher!”
xxXXXxx
Dermaga Riung, Desa Nangamese, Kecamatan Riung, Kabupaten
Ngada. Dermaga mungil ini jika dipotret dari ujung daratan dengan sudut yang
tepat akan menampilkan setapak lurus seakan menyentuh cakrawala. Mengagumkan. Pada
hari-hari libur apalagi setelah hari raya keagamaan (Natal dan Idul Fitri)
dermaga ini pasti ramai oleh wisatawan. Usai Hari Raya Natal 2013 yang lalu
Diba bahkan pernah bertemu satu keluarga besar yang baru akan mengunjungi
pulau-pulau ketika hari menuai senja.
Sepanjang
perjalanan dari Nirvana Bungalow menuju dermaga, tak henti-hentinya Farid mengoceh.
“Ada masjid!” seru
Farid, menunjuk bangunan kecil masjid di sisi kiri jalan. “Sederhana, ya, Kak.”
Rustam mengangguk.
“Sederhana tapi ini pusat tempat ibadah umat Muslim di sini,” jawab Rustam.
“Rumah-rumahnya ...
unik ... rumah panggung ... tipikal ... hmmm ...”
Rustam menyambar, “tipikal
rumah Orang Bugis. Rumah pinggir pantai memang harus rumah panggung. Kalau air
laut sedang pasang naik, rumah mereka selamat ... tidak kebanjiran.”
“Daerah pinggir
pantai di Pulau Flores ini rata-rata dihuni pendatang dari Sulawesi ya, Kak?”
Rustam membenarkan.
“Hampir semua. Di Labuan Bajo, di Riung, di Maumere juga ada ... di ... di mana
Dib?”
“Di Wuring,
Kelurahan Wolomarang, Kabupaten Sikka. Di Maumere sana,” jawab Diba. Dia lantas
menjelaskan tentang masyarakat Wuring yang berasal dari Suku Bugis, Bajo, dan
Buton (Sulawesi). “Rumah-rumah mereka, sebagian besar, dibangun di atas laut
dangkal. Yaaa mirip lah dengan rumah-rumah yang kita lewati sepanjang jalan
tadi, Rid. Hidup mereka bergantung pada sumber daya alam dari laut. Jadi ...
ada benarnya lagu itu ... nenek moyangku, Vacso da Gama, orang pelaut!”
“Aku setuju,”
sambar Mono. “Kecuali bagian Vasco da Gama itu.”
“Hiih!” Diba gemas.
“Apakah faktor
bahasa juga ikut berpengaruh, Kak?” tanya Farid. “Maksudku, apakah para
pendatang dari Sulawesi ini selain ikut berpengaruh dalam penyebaran Agama
Islam, juga memberi pengaruh yang besar dalam bahasa? Misalnya ada satu atau
dua kata dari bahasa mereka yang terserap ke bahasa bahasa setempat?” Farid
tahu pertanyaannya bertele-tele.
“Kalau itu, kau
tanya ke Diba. Dia yang rajin membaca,” jawab Rustam.
“Iya, Kak?” Farid
menatap Diba.
“Pojok Buku di
Shadiba’s Corner memuat satu skripsi berjudul Sejarah Penyebaran Aksara Lota
Ende dan Penggunaannya Dalam Masyarakat Pesisir Kota Ende. Itu skripsi ditulis
sama ... Titiek Arsih dari Prodi Pendidikan Sejarah Universitas Flores. Tapi
karena sering dipinjam sama pelanggan akhirnya saya pindahkan ke ruang kerja.”
Diba menghela nafas panjang karena berbicara sambil berjalan kaki cukup membuat
nafas ngos-ngosan. “Masyarakat Sulawesi selatan menggunakan dua jenis aksara
yaitu Aksara Lontara dan Aksara Serang yang berasal dari Arab dan India. Tapi Aksara
Lontara lebih mendominasi setelah peradaban Islam masuk ke Sulawesi Selatan
pada jaman Kerajaan Gowa.”
“Terus, Kak?” kejar
Farid. Dia penasaran pada penjelasan Diba.
“Di dalam
nasyarakat di Indonesia Timur terdapat suku-suku yang memiliki sistem aksara
kuno yang terukir dalam naskah-naskah kuno. Salah satu faktanya adalah pelaut
kita sudah mengenal peta untuk berlayar dan telah dicatat oleh Portugis pada
Abad Enambelas. Nenek moyang kita benar-benar orang pelaut! Aksara Lontara,
disebut begitu karena medianya dulu adalah daun lontar, dan cara membacanya
dari kanan ke kiri ... semacam kalau kau mengaji atau baca Al Qur’an itu, Rid.
Nah, aksara ini lah yang terserap dalam masyarakat pinggir pantai tempat
kapal-kapal dari Sulawesi berlabuh. Di Ende ada dua wilayah besar, Ende bagian
Pesisir dan Ende bagian Pedalaman atau Ende Lio ... Aksara Lontara terserap ke
dalam kehidupan masyarakat Ende bagian pesisir itu dan disebut dengan Aksara
Lota.” Lagi, Diba menghela nafas panjang-panjang.
“Kenapa jadi Lota, Kak?
Kenapa tidak Lontar?” kejar Farid.
“Karena lidah Orang
Ende memang begitu ha ha ha. Banyak sekali kata yang kehilangan huruf ketika
disebut oleh Orang Ende. Lontar jadi Lota, anak jadi ana, bapak jadi bapa ...
delapan jadi delapa ... begitulah kami,” jawab Diba.
Farid mengangguk.
“Transformasi budaya dan bahasa terjadi di mana-mana.”
“Yoih,” jawab Diba.
Mereka berenam,
termasuk Rustam dan Amin (pemilik perahu motor tempel) memasuki areal dermaga.
Diba mengusir teman-temannya mengurus perlengkapan yang lain sementara dia
ngetem di depan loket karcis. Usai membayar karcis, dia menghampiri perempuan
penjual ikan di samping kios penyewaan pelampung.
“Amin mana, Tam?”
tanya Diba.
“Lagi bawa
barang-barang ke perahu.”
“Air minumnya
cukup?”
“Cukuuup.”
Usai membeli ikan
yang jumlahnya cukup untuk memberi makan orang sekampung, mereka bergegas
menuju ujung dermaga. Semua perlengkapan dinaikkan ke atas perahu: termos nasi,
sepuluh botol air mineral berukuran besar, masker snorkel, kaki katak, pelampung (yang mereka sewa dari kios di dekat
pos penjualan karcis masuk), dan ikan.
Amin menghidupkan
mesin tempel. Suara mesin tempel begitu heboh sehingga untuk bicara pun mereka
harus mengeluarkan tenaga ekstra.
“... jadi, kalau
mau lihat komodo, ke Pulau Ontoloe, ya?” tanya Mono. Volume suaranya bersaing
dengan suara mesin tempel dari perahu yang saat ini membawa mereka menuju Pulau
Ontoloe atau Pulau Kelelawar. Rute umum tur Taman Wisata Alam 17 Pulau Riung
selalu dimulai dengan Pulau Kelelawar dan berakhir di Pulau Tiga atau Pulau
Rutong.
Rustam mengangguk.
“Satu-satunya hewan yang paling mudah dilihat di sini hanya kelelawar. Kalau
kalian mau lihat komodo, saya tidak berani ambil resiko.”
“Komodonya ada di
pulau apa?” tanya Mono.
“Di Pulau Ontoloe
juga.”
“Oh! I see,” gumam Mono.
“Dari Pulau
Kelelawar kita langsung ke Pulau Tiga ... kalian boleh snorkeling sepuasnya di sana.”
“Kalau semua
tujuhbelas pulau ini dikunjungi, bisa berapa hari, Kak?” tanya Farid.
Rusam mengedik
bahu. “Belum pernah coba. Hahaha. Biasanya sehari bisa tiga sampai empat pulau.
Yang ada ... pengunjung malah lebih suka bersantai di pulau, diving, snorkeling, makan ikan bakar.”
“Kita bakar-bakar
ikan yang tadi dibeli di dermaga itu, Kak?” tanya Bandit. Pertanyaan yang tidak
perlu karena apa lagi yang dapat mereka bakar sebagai lauk makan siang jika
bukan ikan yang dibeli di dermaga tadi?
“Iya. Di Pulau
Tiga,” jawab Rustam.
Secara
administratif Taman Wisata Alam 17 Pulau Riung terletak di Kecamatan Riung,
Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara geografis, dan secara
jalur kendaraan, lokasi wisata ini justru lebih dekat dengan Kabupaten Nagekeo.
Menurut cerita Rustam sebenarnya ada sekitar tigapuluhan pulau jika dihitung
dengan pulau-pulau kecil lainnya.
“Wuiiih!” Mono,
Farid, Bandit, takjub. Pulau Kelelawar, sama seperti namanya, dihuni ribuan
kelelawar gemuk yang bergelantungan pada batang-batang pohon. Sebagia kelelawar
terbang mengitari udara hutan bakau Pulau Kelelawar.
“Luar biasa!” jerit
Bandit terkesima. Kameranya terus berbunyi, mengabadikan pemandangan menarik
ini. “Nusa Tenggara Timur ini keren. Pulau Komodo, dihuni komodo. Pulau
Kelelawar, dihuni kelelawar ... ck ck ck!”
“Kalau Pulau
Perawan, Dit?” celetuk Rustam.
“Dihuni perawan!”
Diba terkekeh
mendengarnya. Amin terbahak-bahak. Mungkin baru kali ini Amin menemani tamu dengan
tingkat norak paling akut. Diba ingat, dia pernah melihat Amin menekuk wajah
hingga titik beku saking kesalnya menemani dua pelancong dalam negeri yang
bertingkah luar biasa menjengkelkan. Sampai-sampai Amin berbisik pada Diba,
“kalau tidak mau basah kena air laut, bulan madunya jangan di pantai, tapi di
gurun.” Tapi apa hendak di kata? Dua pelancong menjengkelkan itu adalah teman
dari teman dari teman melancong Diba.
“Kalau Pulau Ular,
Dit?” tanya Diba lagi. Dia suka menggoda Bandit.
“Dihuni ular, Kak.
Hiiii ... jangan sampai deh ada pulau kayak gitu,” Bandit bergidik.
“Loh, Pulau Flores
kan disebut Nusa Nipa alias Pulau Ular!” balas Diba bersemangat melihat
ketakutan di wajah Bandit.
“Aduuuuh Kak
Dibaaaa ...” rengek Bandit, masih bergidik ngeri.
“Ha ha ha ... takut
ular nih ye,” ejek Diba. Dia lantas mengeluarkan kaki menyentuh air laut.
Dingin yang segar.
“Kita nggak turun,
Kak?” tanya Farid. Dia gemas melihat air di tepianh pulau yang jernih.
Rustam menggeleng.
“Tidak. Cukup dari perahu saja.”
Puas foto-foto
aneka gaya, mulai dari selfie sampai mati gaya, tiga laki-laki asal Yogyakarta
ini membanting diri di atas perahu, kelelahan, tapi sambil tertawa puas.
Suara mesin tempel
kembali terdengar. Perahu motor kembali melaju. Kali ini berbalik haluan menuju
Pulau Tiga.
Sepanjang
perjalanan menuju Pulau Tiga Diba, yang sudah kenyang dengan panorama Riung,
hanya bisa terkekeh melihat tingkah Mono, Farid, dan Bandit. Mana pula Mono
berseru, “saya mau ah tinggal di Flores! Diba, orangtua kamu butuh anak mantu
kerempeng macam aku nggak?”
“Kampret!”
“Ha ha ha ...”
Perjalanan sekitar
satu jam, setelah melewati Pulau Rutong, mereka tiba di perairan Pulau Tiga.
Rustam mengeluarkan masker dan kaki katak. “Yang tidak bisa berenang, ayo
dipakai dulu pelampungnya,” tawarnya. “Dib, saya temani mereka snorkeling, kau dan Amin merapat ke
pulau.”
“Beres, bos!”
Amin membawa perahu
menuju tepi pantai. Diba memerhatikan Mono dan adik-adiknya berenang bebas di
perairan Pulau Tiga yang merupakan salah satu spot snorkeling terbaik selain Pulau Rutong. Dia sering melakukannya dan
tak pernah bosan; mengagumi sebae anemone
tempat tinggal clown fish, terumbu
karang aneka bentuk dan warna, mengekori ikan layang-layang yang anggun
berenang di bawah kakinya, dan terpukau pada keindahan mawar laut.
“... kemarin ...
ada yang kakinya tertusuk bulu babi,” cerita Amin tanpa diminta. Laki-laki
berusia jauh lebih muda dari Diba ini memindahkan satu per satu bawaan dari
perahu ke bawah pohon.
“Sakit sekaliiii
...” Diba bergidik.
“Iya, Kak. Mana
tidak sakit tertusuk duri babi?”
“Terus ...
pertolongan pertamanya ...” Diba mengulum senyum, “siapa yang lakukan?”
Wajah Amin bersemu.
Dia tersenyum malu-malu. “Saya, Kak.”
Diba tergelak
membayangkan Amin mengencingi kaki orang lain. “Kau langsung kencingi dia atau
...?”
“Langsung kencingi
atau ditampung dalam gelas plastik sih ... tidak masalah, Kak.”
“Terus?”
“Memaksa tubuh
untuk kencing itu yang susah!”
“Ampuuun! Ha ha ha
...”
“Waktu tiba di
penginapannya Kak Tam, langsung diolesi campuran kapur dan jeruk nipis ...”
Sambil bercerita
mereka menyiapkan api untuk membakar ikan. Ada saja cerita unik yang meluncur
dari mulut Amin karena hampir setiap hari dia, dan beberapa pemilik perahu
motor lainnya, kebagian jatah mengantar tamu yang menginap di Nirvana Bungalow,
atau penginapan lain di Riung.
“... bayangkan, Kak
... seharusnya dia tahu diri tidak meloncat dari perahu. Tubuhnya itu sangat
mekar! Sekali loncat, sisa ayunan tubuhnya yang mekar itu bikin perahu oleeeeng
...”
Diba terkekeh.
“Namanya juga dia ingin merasakan pengalaman baru.”
“Ada lagi nih, Kak.
Minggu lalu saya antar tamu dari Thailand. Haduuuh ... mana saya mengerti
bahasa mereka? Bahasa Indonesia saja ada yang tidak saya pahami,” cerita Amin
sambil geleng-geleng kepala.
“Mereka tidak bisa
bahasa Inggris?”
“Bisa, Kak. Hanya yess atau no.”
“Paraaaaah ...”
“Terpaksa pakai
bahasa tubuh lah kami.”
“Tapi ... tamu-tamu
setipe yang ngotot macam yang pernah kau ceritakan dulu itu ...”
“Selalu ada.
Padahal saya dan Kak Tam sudah jelaskan pada mereka bahwa bintang laut hanya
boleh dilihat bukan untuk dibawa pulang.”
“Hmmm. Tidak
selamanya keindahan dapat kita miliki, cukup dinikmati saja. Sifat dasar
manusia, selalu ingin memiliki. Apa yang bukan hak berani mereka rebut,” ujar
Diba sambil menyodok bara api.
“Setuju, Kak!”
Tak lama Rustam
muncul di pantai disusul Mono, Farid, dan Bandit.
“Hei!” panggil
Diba. “Gantiaaaan bakar ikan sini! Saya mau terjuuun!”
Sementara Diba
menyapa sebae anemon, lantas mulai
mengekori ikan layang-layang, Rustam mengajak Mono dan adik-adiknya untuk makan
siang karena matahari sudah di atas kepala. Lagi pula setelah tubuh berendam
air laur, rintihan lambung semakin menjadi.
“Ikannya boleh
dihabiskan. Air minumnya, simpan lah dua botol untuk Diba,” anjur Rustam.
“Kalian belum pernah lihat Diba berubah jadi apa kalau kehausan kan?”
Amin terkikik.
“Memangnya Kak Diba
berubah jadi apa, Kak?” tanya Bandit lugu.
“Ubur-ubur.”
“Ha?”
“Dia bakal sengat
kau sampai kau lupa PIN ATM.”
“Ha ha ha ...”
Hari ini pekerjaan
yang mereka lakukan hanyalah berenang, snorkeling,
makan, tiduran di pasir putih, kembali berenang ... terus berulang hingga senja
bertamu. Menyaksikan senja dari Pulau Tiga membuat Mono, Farid, dan Bandit,
benar-benar ingin bermigrasi dari Yogyakarta ke Pulau Flores.
***
Bersambung
Iiih serem bacanya sist apalagi ada bleduknya pasti kedenger sakampung kalau ada bleduk hihi.
BalasHapusHahahaha... serem-serem dikit :D
Hapus