Triplet adalah tulisan lawas saya yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku karena ceritanya lumayan absurd. Saya memutuskan untuk menerbitkannya di blog, part demi part. Karena keabsurdannya, komentar kalian tidak akan saya tanggapi kecuali buat lucu-lucuan. Ini bukan pembelaan diri, ini bela diri dengan jurus menghindar. Selamat membaca Triplet.
***
PART 14
~ Jakarta ~
5 Mei 2015
“Orang yang berakhlak
baik tidak tergantung pada terang ataupun gelap, karena dia akan tetap
berakhlak baik walau tak seorang pun melihatnya.” – Abdullah Gymnastiar.
Senin. Hari sibuk. Bagi orang-orang yang tinggal di kota
kecil, Senin hanyalah hari biasa, tidak berbeda jauh dari Selasa hingga Minggu. Bagi
orang-orang yang tinggal di kota besar, apalagi metropolis seperti Jakarta,
Senin adalah perkara besar. Arus pekerja dari luar kota, dari Depok misalnya,
membludak sejak menjelang subuh. Pemandangan penumpang kereta berdiri 'satu kaki'
pun bukan lagi hal yang baru. Beberapa wanita karir yang mengendarai sendiri
mobil mereka, memilih untuk ber-make up
saat traffic light berwarna merah.
Karena bukan anak sekolahan,
bukan mahasiswa, bukan pula pekerja kantoran, pukul 07.30 Margaret baru keluar
dari rumah. Dia tiba di depan Gedung Mahamedia Corps tepat pukul 09.00 dan
segera naik lift menuju lantai
5—kantor Tabloit online Perempuan
Hebat Kita.
Si Kriwil menyambut
Margaret dengan senyum sumringah. Dia menyerahkan tanda pengenal bertulis: GUEST kepada Margaret. “Silahkan masuk
ke ruang meeting, Kak. Acaranya baru
saja dimulai.”
“Saya tunggu bos
kamu di pantry saja,” tolak Margaret,
menyerahkan kebali tanda pengenal.
Alih-alih duduk
diantara orang-orang media di ruang meeting,
Margaret pergi ke pantry. Baginya
lebih baik menunggu Pram di pantry
ketimbang mengikuti kegiatan peluncuran acara baru MahamediaTV: Perempuan Hebat
Kita. Dirinya terlalu asing berada dalam acara-acara serupa. Sebenarnya
Margaret lebih suka mengurung diri di kamar untuk menikmati waktu luang atau
sekadar menulis tentang perjalanannya ke Balikpapan minggu lalu. Namun dia
merasa tidak enak hati karena semalam jauh-jauh Pram datang ke rumahnya hanya
untuk mengundangnya hadir dalam acara peluncuran acara Perempuan Hebat Kita
yang mulai minggu depan akan tayang perdana di MahamediaTV.
Sebelum keluar dari
pantry, office boy menawarkan Margaret minum.
“Kopi susu ...
kalau ada,” pinta Margaret.
Menit-menit
berikutnya Margaret tenggelam dalam bacaan yang dia bawa dari rumah. Sebuah
buku kumpulan tulisan para pelancong tentang tempat-tempat eksotik di
Indonesia. Setelah membaca halaman-halaman yang mengupas tentang Danau Toba,
pada halaman 112 dia membaca judul: Danau Kelimutu. Pikirannya langsung tertuju
pada pencarian Pram, dan pada sosok kembar: Diba dan Atha.
Terbit keinginannya
untuk menghubungi Diba namun urung. Dia belum tahu kapan tepatnya mereka akan
berangkat ke Ende dikarenakan pekerjaan demi pekerjaan yang menyerang. Pram
dalam mempersiapkan profil Perempuan Hebat Kita dan kerjasama antara saudara
dalam tubuh Mahamedia Corps (MahamediaTV dan Tabloit online Perempuan Hebat Kita), dirinya dengan tawaran jalan-jalan
dari beberapa perusahaan seperti Internationalle Media, Google, dan Farase
Travelling.
Mengingat Diba sama
dengan mengingat perjalanan mereka berkeliling Jawa Barat. Kegilaan mereka
saling berjangkit. Mereka tidak hanya pernah memusingkan panitia dengan tidur
di tenda (alih-alih tidur di kamar nyaman Java Cove, di tepi Pantai Batu Karas)
namun juga membuat banyak teman pelancong lain geleng-geleng kepala membaca
kisah perjalanan mereka di mailing list.
Diantara kisah gila selama berkeliling Jawa Barat, beberapa yang paling diingat
Margaret adalah Diba memaksa diri untuk ikut membuat opak di rumah Ibu Mumun
dan hasilnya jauh dari sempurna, bokong Diba memar akibat pendaratan Paralayang
yang tidak sukses ... menghantam batu, dan pada hari terakhir mereka kembali
tiba di Jakarta Diba merusak hairdryer
milik hotel tempat mereka menginap karena pengering rambut tersebut dipakai
untuk mengeringkan celana dalam dan bra.
Salah satu kejadian lucu yang tak akan pernah Margaret lupa adalah seorang
pelayan hotel (room service) yang
nyaris jatuh gara-gara terpukau melihat pemandangan celana dalam dijemur di
lampu baca.
Pertemuan kedua
Margaret dengan Diba berikutnya adalah di Maumere. Margaret, sesuai niatnya,
ingin menyaksikan perayaan Paskah di Kota Larantuka. Diba menemaninya dari Maumere,
Larantuka, hingga berkeliling Pulau Adonara, lantas kembali ke Maumere.
Lucunya, saat hendak berangkat ke Pulau Adonara, mereka salah naik kapal motor.
Merasa yakin kapal dengan anjungan yang luas itu bakal tiba di Pelabuhan
Waiwerang – Pulau Adonara, ternyata kapal itu justru bertujuan Pulau Lembata.
Dengan wajah memerah menahan malu mereka terpaksa angkat kaki.
Dan ... dari kedua
pertemuan itu, Margaret sama sekali kehilangan
informasi perihal Diba dan keluarganya apalagi kembarannya. Selagi melancong
bersama, jarang sekali mereka menopik kehidupan pribadi. Paling sering Diba
bercerita tentang kehidupan masyarakat Kabupaten Ende dan Provinsi NTT, tentang
tempat wisata, tentang tempat usahanya. Margaret juga tidak bisa sepenuhnya
menyalahkan Diba ... dirinya tidak pernah bertanya atau memulai dengan
bercerita tentang kehidupan pribadinya atau keluarganya. Dia lebih banyak
bercerita tentang tiket-tiket gratis yang pernah dikantonginya dengan gemilang. Lagi pula urusannya dengan Facebook itu langkanya minta ampun.
Mungkin aku perlu pakai gadget canggih ... biar selalu
update, selalu tahu apa yang terjadi, selalu bisa stalking foto-foto di album
foto online-nya si Diba. Emang perlu segitunya?
Margaret menggeram.
Jauh di dalam lubuk hatinya, Margaret tidak ingin rencana ke Ende batal. Bukan
karena sudah lama dia tidak mendatangi kota bersejarah tempat Bung Karno
diasingkan itu, melainkan karena sudah terlalu lama Pram mencari Wira—laki-laki
yang telah menghancurkan hidup Prita.
Dasar perempuan idiot lu, Prit!
Sedikit saja ...
sedikit saja waktu yang Margaret minta pada Prita untuk bersabar. Rahasia yang
tidak diketahui Pram. Margaret berniat membujuk Om Igi untuk menerima kenyataan
perasaannya pada Prita. Bahwa jika memang Om Igi mencintai Prita, tidak ada
satu pun halangan yang dapat mematahkannya. Sayangnya Prita sudah duluan
kecewa, lantas membabi-buta mengejar laki-laki lain, dan tanpa perhitungan
panjang menyerahkan dirinya. Ketika semuanya terungkap, laki-laki itu malah
melarikan diri. Malu akibat perbuatannya sendiri, Prita memutuskan untuk
menggugurkan janin yang sedang dikandungnya.
Idiot banget sih lu, Priiiiiiiit!
Margaret mendengus.
Cerita terakhir yang didengarnya tentang Prita adalah bahwa setelah
menggugurkan kandungan, mengalami pendarahan hebat dan dirawat intensif di
rumah sakit, perempuan itu mengurung diri di dalam kamar. Makan dan minum rutin
diantar oleh Mami, atau oleh pembantu.
Keputusan manusia
memang kejam. Ketika memutuskan untuk mengurung diri di dalam kamar, Prita
memutuskan kontaknya dengan dunia luar. Bagi Prita kegelapan adalah sahabat
abadi yang tidak dapat meninggalkan manusia begitu saja. Gelap mempunyai kadar
kesetiaan tertinggi.
Laki-laki itu ... enak benar dia ...
“Kamu yakin itu ... Atha? Atha kembarannya Diba?”
“Yakin, Mar. Mirip. Sama. Ah ... pokoknya itu dia.”
“Kita akan berhadapan dengan banyak misteri.”
“Tapi keberadaan laki-laki itu bukan misteri lagi, Mar.”
“Aku tahu. Kalau nanti kita sudah tiba di Ende, kita harus ceritakan pada
Diba ... pelan-pelan supaya dia mengerti. Perempuan itu otaknya rada-rada ...”
Kalau nanti tiba di
Ende. Margaret mendengus. Kapan mereka akan tiba di Ende? Kapan mereka akan
memulai pencarian laki-laki durjana itu? Kapan semua masalah ini selesai?
Kalau aku dan Pram sama-sama nggak sibuk!
Nampaknya, dengan
diangkatnya Perempuan Hebat Kita menjadi salah satu acara di MahamediaTV maka
kemungkinan mereka berangkat ke Ende semakin mustahil. Pram akan semakin sibuk
mengurus profil para perempuan yang pernah mengisi tabloit online asuhannya.
Pintu pantry membuka.
“Margaret! Kenapa
kamu ...”
“Aku nggak suka
duduk cantik manis di sana, Pram.”
“Maaf ... eh ...”
“So ... gimana acaranya? Sukses?”
Pram mengangguk. “Alhamdulillah. Satu bulan pertama kami
akan mengangkat profil perempuan dari Jakarta. Minggu depan Mbak Silly dari
Blood For Life itu. Valencia Randa ... nama aslinya.”
“Hmmm. Aku tahu
dia,” balas Margaret. “Kamu bakal sibuk beberapa bulan di muka ...”
“Betul. Tapi aku
udah usahain Vera dan kawan-kawan bekerja maksimal, belajar banyak hal, mandiri
tanpa aku. Jadi ... Agustus ... kalau nggak ada halangan, kita bisa terbang ke
Ende. Dan ya, harus Garuda, jangan yang lain.”
Margaret tersenyum.
“Oke. Aku pamit pulang ... udah nggak ada kepentingan apa-apa lagi di sini,”
katanya lantas menyimpan buku.
“Eits! Tunggu dulu.
Gimana kalau kita lunch bareng?”
tawar Pram.
“Mau ngebahas apa
lagi? Urusan program Perempuan Hebat Kita ... anggap lah aku udah hadir. Urusan
ke Ende ... anggap lah sudah selesai dibahas.”
“Please?”
“...”
“Please?”
“Oke. Tapi nggak
boleh lewat dari jam dua siang. Aku ada urusan sama teman-teman pelancong.”
“Beres!”
Dalam perjalanan
mencari tempat makan siang, Pram bercerita tentang mimpi ketiga-nya. Mimpi
siang bolong, di ruang kerjanya.
“Yang aku herankan
... apa hubungannya Atha, Danau Kelimutu, dengan keberadaan laki-laki itu yang
secara mengeZutkan berada di Ende?”
Pram mengedik bahu.
“Entah.”
“Pusing kepala
kalau terus mikirin hal itu.”
“Tugas kita untuk
memecahkan misteri ini, Mar.”
“Kita?”
Pram tersenyum.
“Ya. Kita.” Karena bareng kamu, aku
selalu lebih percaya diri, Mar.
***
Bersambung
Pengen juga bisa nulis buku kaya sis tuteh, cuman belum bisa 😂
BalasHapusbelaajarrr dikit dikit pasti bisa mb :D
HapusBenang merahnya belum keliatan Mz ☺
HapusDulu saya diajarkan sama seorang Blogger, seorang dokter bernama Yuli Azwar yang sekarang bertugas di luar negeri. Menulislah setiap hari, hehehe. Jangan lekas puas. Kalau menulis fiksi, menulislah terus disimpan dan dibaca satu bulan di muka ... pasti akan temukan banyak kekurangannya, dan nanti bakal memperbaikinya.
Hapus