Triplet
adalah tulisan lawas saya yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku
karena ceritanya lumayan absurd. Saya memutuskan untuk menerbitkannya di
blog, part demi part. Karena keabsurdannya, komentar kalian tidak akan
saya tanggapi kecuali buat lucu-lucuan. Ini bukan pembelaan diri, ini
bela diri dengan jurus menghindar. Selamat membaca Triplet.
***
PART 13
***
PART 13
~ Ende ~
April 2015
“The past is not a package one can lay away.” – Emily Dickinson.
1 April. Tanggal yang penting. Penting bukan karena April Mop melainkan karena sidang
perceraian Elf dan Mira mencapai garis akhir. Keletihan selama proses
persidangan akan terbayar setelah mereka berstatus duda dan janda usai
menandatangani surat cerai. Perceraian memang bukan kejadian yang diharapkan
oleh pasangan suami-istri namun pada akhirnya perceraian menjadi solusi agar tumpukan
dosa tidak semakin menggunung. Jika tidak bercerai, seorang istri bertipe Mira
akan melebur bersama perbuatan zina—sepanjang hidupnya. Jika tidak bercerai,
seorang suami bertipe Elf akan menjadi korban kemaksiatan yang dilakukan oleh
si istri sekaligus menjadi sasaran tudingan masyarakat, “suami loyo! Tidak
mampu mendidik istri!”. Posisi dilematis seperti ini jarang mudah dipahami oleh
‘orang luar’ yang tidak tahu pangkal persoalan. Mereka tidak tahu bahwa
mendidik Mira jauh lebih sulit dari pada mendadak menikahinya.
Mira, amat
disayangkan oleh keluarga besar Pua Saleh dan Bata, akan menikah lagi dengan
biang segala musabab perceraian ini terjadi. Elf, juga amat disayangkan oleh
keluarga besar Moor, akan menduda entah sampai kapan. Meskipun En pernah
menjelaskan panjang lebar, yang pasti dua keluarga yakni Pua Saleh dan Moor,
akan menghadapi hari-hari penuh adegan canggung karena rumah mereka di Kompleks
Enarotali saling berhadapan.
“Menurut Mas ... saya pakai baju warna apa?—selain warna hitam.”
“Terserah kamu, Nduk. Aku nggak
tahu ...”
“Biru saja kali ya ...”
Bukan maksud Atha
jika semalam kupingnya menangkap obrolan Mira dan Wawan. Dia hanya tidak
sengaja melintas di ruang makan, hendak pergi ke dapur mengambil air minum—lagi
pula Mira bersikap masa bodoh. Topik obrolan pasangan kasmaran itu menerbitkan
rasa muak. Bagaimana mungkin seorang perempuan membicarakan perceraiannya
dengan laki-laki yang baru dikenal seperempat tahun? Bagaimana mungkin
perempuan itu menimbang warna baju yang hendak dikenakan untuk menghadiri
sidang perceraiannya, dari pada perasaan orang lain?
Dia tidak sadar, dia sudah melukai perasaan banyak orang.
Poor Mira ...
Tadi pagi Atha
menolak ajakan Baba dan Ine untuk pergi ke Pengadilan Agama di Jalan El Tari.
Dia enggan menyaksikan drama demi drama yang diperankan oleh pelakon tunggal
yang mahir mengeluarkan air mata itu. Kemampuannya atas The Big Spirit memang
mental-bola-pingpong. Namun jauh di dalam lubuk hatinya, tanpa campur tangan
kemampuannya, dia tahu Mira adalah pembohong besar. Yang ingin dia tanyakan
pada Mira hanya satu pertanyaan: apa kau tidak takut dosa? Bukankah semua yang
kau lakukan adalah dosa?
Alih-alih menghadiri
persidangan, Atha memutuskan untuk bertemu Pak Firman. Dia penasaran apa yang
ingin ditanyakan, atau disampaikan, oleh teman sekantor Ucup itu. Sayangnya dia
harus menunggu karena dua laki-laki yang bekerja pada pemerintah daerah itu
masih banyak pekerjaan. Sejak tadi dia menolak ajakan Diba untuk ngetem di
ruang kerja. Alasannya dia tidak mau mengganggu pekerjaan Diba dan Magda.
Tepatnya, dia enggan menjadikan perceraian Elf dan Mira sebagai topik obrolan.
Bagi Atha, Elf
adalah laki-laki paling baik yang pernah dia kenal setelah Kakek Ucup dan Baba.
Masa kecilnya diisi dengan pemandangan Diba yang terbungkuk-bungkuk memikul
ransel Hello Kitty di halaman belakang, berkeliling, bicara sendiri, tertawa
sendiri, bahagia sendiri. Elf yang sering mendatangi Diba, mengobrol, dan
terkadang berantem, adalah pemandangan setiap Minggu pagi yang tidak pernah
Atha lewatkan. Hingga mereka beranjak remaja, meski tidak sanggup menembusi,
dia tahu Elf menyukai Diba. Hanya saja cinta belum sempat terucap ketika Mira
melempar tahi babi ke wajah orangtua mereka: keluarga besar Pua Saleh dan
keluarga besar Bata.
Biasanya setelah lelah berkeliling halaman belakang dan
berlagak persis turis mancanegara, Diba
melepas lelah di bawah pohon mangga. Lantas Elf datang membawa setangkai permen
Hello Kitty yang dibeli di Kios Baba Hoi. Ini adalah rutinitas yang mereka
lakukan sejak Diba diramal menjadi Pecinta Bantal oleh Kakek Ucup dimana Diba ingin membuktikan bahwa
dirinya bukan Pecinta Bantal yang tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa ngorok. Sebanyak
pertanyaan yang Elf lontarkan, sebanyak itu pula Diba menjawab. Sesekali Elf
mengacak rambut Diba—dan dia senang bukan main diperhatikan oleh Elf, sesekali oleh Kakek Ucup. Elf, permen, dan
kalung Hello Kitty-nya menghadirkan perasaan paling gembira
untuk Diba. Ternyata itu bukan sekadar gembira, melainkan cinta. Cinta
pertama.
Atha pernah, secara tidak sengaja,
mendengar percakapan mereka.
“Adek harus bisa keliling
Indonesia …”
“Iya, Bang! Adek mau!”
“Bagus.”
Dan cinta itu terus tumbuh. Tahun demi tahun.
Atha memejam mata, mengingat cerita Diba
... suatu sore sepulang latihan basket di sekolah, SMP Negeri 2
Ende, Diba bertemu Elf di dekat gerobak bakso dagangan Mas Kume. Diba tersenyum
simpul, dia merasa yakin Elf tidak akan mengenalinya, mungkin menyangka dirinya
Mira atau Atha. Karena hanya Kakek Ucup, Baba, dan Ine, yang bisa membedakan
mereka bertiga dengan cepat, dan tepat.
“Kalungnya dipakai, Dek?”
Diba terkejut. “Dari mana Abang tahu saya ini Diba?”
“Tahu saja. Kalungnya tidak dipakai?” balas Elf ringan.
“Pakai. Ini …” Diba mengeluarkan kalung perak Hello Kitty dari dalam kaos. Elf
tersenyum dan mengacak rambut Diba di depan umum. Saat itu, saat sedang
bergeloranya perasaan seorang siswi SMP, perbuatan Elf membuat pipi Diba bersemu.
Padahal waktu itu Diba bukan lagi murid SD yang setiap Minggu
siang berkeliling halaman belakang sambil memanggul ransel Hello Kitty yang
isinya menganiaya pundak, sambil berpura-pura sedang melancong.
“Jangan dilepas, ya, kalungnya,” pesan Elf sebelum berangkat kuliah ke Jakarta. Kalung
itu memang tidak pernah lepas dari leher Diba sekalipun hatinya tersakiti.
Jakarta. Atha menghela nafas panjang.
Jakarta. Laki-laki dari Jakarta itu ...
Tahun 1998, liburan semester ganjil membawa Elf pulang ke Ende.
Teman kuliahnya, Firdaus, turut serta. Era 90-an, kiblat segala kesenangan kaum
muda masih Jakarta. Kehadiran Firdaus, cowok ganteng anak Jakarta berpenampilan
keren, di kota sekecil Ende, membawa dampak bagus untuk penampilan gadis belia
di sekitar Kompleks Enarotali: Mira, Er, En, Indira, Inggi. Mereka berlomba-lomba menjadi
yang paling cantik, dan paling menarik. Mira yakin pangerannya, meski
tidak berkuda putih, telah tiba. Hanya dalam tempo dua hari Mira telah berubah
menjadi perangko dan Firdaus amplopnya. Tidak sampai tujuh hari Mira mendepak
anak kepala sekolah, Diono, dan mengumumkan pacar barunya: Firdaus
dari negeri antah-berantah.
Elf tahu ada yang salah. Bahkan saat Diba mendatanginya,
dia tahu sesuatu yang sangat salah sedang terjadi. Tidak seharusnya Mira dan
Firdaus menjalin hubungan asmara. Cinta lokasi? Tidak.
“Semalam Baba marah-marah. Itu … Mira dan Bang Fir pulang
larut!”
“Iya. Nanti Abang bilang sama Firdaus.”
“Jangan hanya janji!”
“Iya, Dek ...” tangan Elf, seperti robot pemasang onderdil
mobil yang telah disetel, mengacak rambut Diba. “Abang tanggung jawab, deh.
Percaya, Abang juga tidak mau terjadi apa-apa dengan Mira.”
Cinta tidak buta. Manusia yang sering buta karena cinta. Oleh
Firdaus, omongan Elf hanyalah angin lalu. Tidak penting. Dan Mira
terang-terangan menyatakan permusuhan pada siapa pun yang melarangnya
berhubungan dengan Firdaus saat Atha dan Diba berusaha
mengingatkannya.
Dua bulan menjelang ujian EBTANAS SMU, Firdaus dan Mira
berencana jalan-jalan ke Danau Kelimutu. Hanya berdua. Kekuatiran Diba dan Atha
memuncak. Jelas pasangan baru itu pergi tanpa sepengetahuan Baba dan Ine. Namun
ancaman Mira menyurutkan niat Diba untuk mengadu.
“Berani kau lapor sama Baba dan Ine, saya bongkar rahasia kau
dengan foto porno itu!”
Diba naik pitam. Foto itu sama sekali bukan foto porno. Dia
lebih melihatnya sebagai seni. Siska, teman kelasnya yang paling badung, dengan
berani meminta difoto hanya mengenakan celana jins dan bra warna hitam. Duapuluh empat foto Siska dari roll film
itu pun dicuci-cetak di Bali, bukan di Ende.
Mira tersenyum. Dia menang. “Sebaiknya kau dan dukun itu tidak macam-macam!”
“Saya bukan dukun!” balas Atha. Namun
protesnya tidak digubris Mira.
Atha dan Diba tahu, dengan membiarkan Mira
pergi bersama Firdaus ke Danau Kelimutu, maka mereka telah bersikap sangat tidak
bijaksana. Namun mereka akhirnya memilih untuk
bungkam ketika Minggu pagi Mira pamit, “Baba, saya pergi ke rumah Rani … kami
mau piknik di Bitta Beach.”
Dua bulan setelah dirinya di-cap sebagai dukun, setelah ujian EBTANAS, saat
Diba sedang tidur siang dan bermimpi kapal milik Vasco da Gama menabrak paus
biru (dan
Atha membangunkannya dengan ganas), aib itu terbongkar. Baba nampak seperti patung
Liberty dalam kondisi syok habis dihantam limaribu meteor, Ine menangis
tersedu-sedu, sedangkan si trouble maker
duduk diam dengan ekspresi lugu tidak bersalah.
Atha masih ingat betapa
histerisnya Diba di KBU—Kamar Bicara Umum—di Kantor Telkom, berteriak
marah pada Elf dalam sambungan interlokal. Buku-buku tangannya memutih akibat
terlalu kuat menggenggam gagang telepon. Dia hanya bisa mematung mendengar
raungan Diba, “Sekarang, di mana dia!?”
Yang tidak diketahui Atha dan Diba, di seberang sana nafas Elf
nyaris putus. Dua minggu sebelumnya Firdaus terbang ke Kanada, dan hilang
kabar. “Abang yang akan tanggung jawab, Dek.”
“Tanggungjawab? Dulu juga Abang janji mau tanggungjawab! Mau
nasihati Bang Firdaus untuk jauhi Mira! Tapi
buktinya Mira bunting!”
“Dek … Abang benar-benar akan bertanggungjawab.” Elf tahu,
hatinya teriris-iris. Dia sendiri yang menyebabkannya.
Kesediaan Elf untuk menikahi Mira pada 23 Juni 1998 adalah
tindakan paling heroik bagi keluarga besar
Pua Saleh. Meskipun menimbulkan efek kebencian Er dan En pada Mira, juga sakit hati Diba, pesta pernikahan tetap dilangsungkan. Meriah,
mewah, dan mengundang decak kagum. Hanya keluarga Pua Saleh, keluarga
Bata, keluarga Moor, dan tetangga dekat saja yang tahu mengapa Mira
segera kawin setelah menerima STTB dan NEM, dan Elf belum menyelesaikan
kuliahnya di Jakarta. Elf mengawini Mira untuk menutup aib keluarga Pua Saleh. Itu
sebabnya foto pernikahan mereka dihiasi wajah murung Elf.
Atha ingat cara dia
membangunkan Diba yang sedang tidur siang, persis manusia kesetanan. Dia begitu
syok, dan begitu malu pada diri sendiri karena kemampuannya atas The Big Spirit
bukanlah apa-apa.
OPPO R1011 Atha
berdenting. BBM dari Ucup.
Kak, sabar ya ... agak lama ...
sabar ...
Atha meletakkan
kembali gadget-nya ke atas meja. Dia
menggigit fried bisccuit yang Kedua.
Ucup, si bungsu,
bernama lengkap Yusuf Pua Saleh. Baba sengaja memberikan nama mendiang Ayahnya
untuk si bungsu. Bedanya Ucup tidak punya kemampuan meramal seperti Kakek Ucup.
Ucup lahir setelah Kakek Ucup meninggal, pun setelah Kakek Ucup meramal Ine
akan melahirkan seorang bayi laki-laki yang usianya terpaut jauh dengan ketiga
kakaknya.
Bagi ketiga
cucunya, Kakek Ucup adalah pahlawan keluarga dan gudang informasi. Atha hampir
tidak percaya celoteh Baba perihal kakeknya yang tukang ngambek sampai
mendengar sendiri obrolan Baba dan Kakek pada suatu hari ... dulu ... sungguh
konyol tingkah Kakek.
“Ayah, kalau Ayah mau marah ... silahkan. Tapi jangan diam begitu. Kasih
tahu apa kesalahan saya.”
“...”
“Ayah ...”
“...”
“Ayah ...”
“Saya tidak suka makan itu. Kalau pagi saya maunya fizu atau wajik! Jangan yang lain!”
“—ooh ... itu ...”
“Kau kasih saya roti lagi ... saya pulang ke Paupanda. Atau sekalian pulang
ke Pulau Ende! Saya tidak mau tinggal dengan kau lagi!”
“Iya, Ayah ...”
Kakek Ucup adalah
laki-laki tangguh yang lahir-besar di Pulau Ende dan bersama
Nenek Fatimah pindah ke daerah pinggir pantai Kota Ende setelah dua bulan
menikah. Nama daerah pinggir pantai itu Paupanda. Rumah mereka di Pulau Ende
didiami hanya oleh Bibi Meda dan sepupunya: Bibi Ani, karena tiga anak
laki-lakinya memilih untuk tidak menetap di Pulau Ende.
Rata-rata
mata pencaharian masyarakat Paupanda adalah melaut dan berdagang meski tidak
sedikit pula yang bekerja kantoran, menjadi Pegawai Negeri Sipil. Kulit Kakek
Ucup gelap,
lebih tepatnya gosong akibat sering terpapar sinar
matahari, diperoleh sejak masih muda, dan kuat saat laut masih menjadi
sahabat terbaiknya, pagi, siang dan malam. Ya, dia
seorang nelayan tradisional yang menghidupi keluarganya dari
hasil melaut. Memang benar melaut dilakukan pada malam hari namun sejak siang
hingga sore dia akan berjemur di bawah sinar matahari
untuk memperbaiki pukat, sekadar mengecek perahu,
atau bersenda-gurau bersama teman-temannya berdialog tentang topik pengeboman ikan penyebab rusaknya biota laut. Tidak
seperti turis mancanegara yang terobsesi pada
kulit cokelat eksotis yang rela menyediakan waktu libur khusus, dan sejumlah uang, untuk berjemur di pantai, Kakek Ucup melakukannya setiap
hari tanpa menunggu liburan, dan
gratis. Kulitnya
bukan lagi cokelat eksotis melainkan gosong memikat.
Wajah
Kakek Ucup sangat jenaka. Menurut Atha, “jenaka yang
maut!” karena meski Kakek Ucup selalu tersenyum, menghadirkan kerutan di sudut mata, sorot matanya
begitu keras dan tajam. Perpaduan yang akan membuat siapa pun ngeri melihatnya. Senyumnya sedikit misterius tapi membius. Pantas
saja Nenek Fatimah begitu mencintainya hingga akhir hayat. Meskipun tidak berlangsung lama, ketiga cucunya masih sempat menyaksikan kehidupan dua orangtua usia lanjut
yang begitu damai, penuh cinta, penuh fizu
dan kue wajik.
Setelah Nenek Fatimah meninggal dunia, Baba memaksa Kakek Ucup untuk tinggal bersama mereka. Rumah
Kakek Ucup di daerah Paupanda dirawat oleh kerabat. Bibi Meda memaksa Kakek
Ucup untuk kembali pulang ke Pulau Ende namun posisi Baba sebagai kakak jauh
lebih berkuasa.
Berbeda dari ketiga
cucu yang selalu terbius oleh setiap ceritanya, Baba dan Ine
menganggap Kakek Ucup
sangat cerewet karena tidak pernah kehabisan topik untuk dibicarakan. Kakek
Ucup hanya akan berhenti bicara ketika
sedang shalat, mengaji, dan tidur. Suaranya
yang berat dan sedikit serak itu terdengar sangat indah. Menurut Diba
dengan suara sebagus itu Kakek Ucup
pantas jadi penyanyi. “Seperti
Mel Shandy! Jago mengaji, jago nge-rock!”
Mira, Atha, dan Diba, sangat suka mendengar Kakek Ucup bercerita. Ibarat ensiklopedia, itulah dirinya.
Ensiklopedia masa lalu yang menyimpan potongan-potongan sejarah. Nyaris semua
hal diketahuinya. Masa perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan penjajah,
menjadi kepercayaan kepala desa sebagai pengantar surat, jatuh berkali-kali
ketika berlatih naik sepeda onthel, saksi pembangunan Ende ketika Bupati Herman
Josef Gadi Djou, Drs.Ekon menjabat sebagai bupati, betapa Kakek Ucup
sangat menentang penangkapan ikan menggunakan bom, permasalahan ekonomi, jatuh
cinta pada Nenek Fatimah dan susahnya mereka mengurus pernikahan karena ditentang orangtua
gara-gara nyaris tak sanggup membayar belis,
membaca bintang dan arah angin, adat istiadat masyarakat Ende, pernikahan Baba
dan Ine yang ditentang keluarga besar Bata,
hingga turunnya nilai mata uang Rupiah. Bagian favorit Atha
adalah soal mata uang itu.
Satu catatan
yang perlu diingat, beberapa orang Ende berusia
lanjut akan berbicara menggunakan Bahasa Indonesia yang sedikit aneh karena
kurang huruf pada satu-dua kata. Itulah sebabnya nama
Bupati Eman (panggilan dari nama depan beliau: Herman) menjadi Bupati Ema.
Kira-kira seperti ini bila Kakek Ucup
sedang bercerita, “kalian pung nenek
dulu suka pake mola.” Molang adalah
sejenis ramuan tradisional (terdiri dari beras dan kencur) untuk masker yang
berkhasiat memuluskan kulit wajah. Merek ternama yang dulu menjajah wajah perempuan bernama Berastagi. Untuk pola kata yang disingkat bisa
dilihat pada: punya menjadi pu atau pung, sudah menjadi su, pergi menjadi piatau pigi, tidak menjadi ti atau tir, kau menjadi ko, dengan menjadi deng, kayak menjadi ke. Rancu akan terjadi pada penggunaan ‘macam ke’ atau ‘macam kayak’ atau ‘seperti kayak’.
“Ko pi mana?”
“Sa pi pasar.”
Di NTT setiap
wilayah mempunyai bahasa daerah dan dialek masing-masing. Jangan pernah
berpikir Orang Ende berbicara menggunakan sonde atau beta layaknya orang-orang dari Pulau Timor.
Tidak. Sangat jauh berbeda. Bahkan di Kabupaten Ende pun terdapat dua
bahasa: bahasa
Ende (bagian pesisir) dan bahasa Ende Lio.
Salah satu cerita Kakek Ucup yang paling fenomenal dan
paling disukai oleh Mira, Atha, dan Diba, adalah tentang kelahiran mereka. Mira
dan Atha gemar meminta Kakek Ucup mengulang hingga hafal detail-detailnya.
Detail-detail yang kemudian membuat Diba hanya bisa pasrah menerima ramalan.
Mereka lahir pada 13 Maret 1979.
“Kalau ada bulan tigabelas, kelahiran kita sempurna,” celetuk
Atha.
Hari ketiga
setelah Ine melahirkan Mira, Atha, dan Diba, Kakek Ucup datang ke Kota Ende.
Ngambeknya gara-gara urusan nama usai. Lagi pula dia merindui rumahnya yang di
Ende karena tinggal di rumah orangtuanya di Pulau Ende tidak senikmat tinggal
di rumah sendiri. Kakek Ucup mendatangi Rumah Sakit S.Sp.S. membawa pasukan
yang cukup banyak. Menunggu jam bezuk rumah sakit dibuka, Kakek Ucup, Nenek
Fatimah, Bibi Meda, dan dua kerabat lain dari Pulau Ende memadati pintu rumah
sakit. Uniknya, Orang Ende punya kebiasaan berbicara menggunakan ‘Do’ tinggi.
Lima orang berkumpul saja terdengar seperti limapuluh orang. Sambil menunggu
suster penjaga membuka pintu rumah sakit, mereka menikmati biskuit dan kopi
panas yang tersimpan di termos. Mereka piknik.
Saat itu lah
Kakek Ucup merasa sesuatu yang aneh. Cuaca yang cerah berubah muram. Mendung
bergelayut entah kapan datangnya. Kakek Ucup and the genk, juga pengunjung yang lain, menyelamatkan diri dari
serangan hujan dengan berdiri di bawah naungan tepian atap rumah sakit. Namun
hujan hanya sebentar menit karena langit kembali cerah dan matahari bersinar
garang. Kakek Ucup membaca tanda-tanda itu. Salah satu
dari bayi Baba dan Ine pasti akan sangat mencintai hujan.
Terlalu cinta hingga dianggap sinting. Saat matahari bersinar terik Kakek Ucup
merasakan sesuatu yang aneh, “Kakek rasa macam ke senja. Mustahil, masi
jam delapa pagi!” dan menurutnya salah satunya akan sangat mencintai senja.
“Tanda ketiganya apa, Kek?” tanya Diba.
“Itu
aneh. Tiba-tiba Kakek rasa macam malas sekali. Kakek tidu di atas bangku semen depa ruma
saki,” jawabnya sambil mengulum senyum. “Salah satu dari kamu tiga ... cinta
bantal. Kamu tiga macam
makhluk aneh yang Tuhan kirim. Kakek su bisa
rasa ... betu-betu istimewa.”
“Kenapa saya
punya nama ini ... Sharastha, Kek?” tanya Atha.
Kakek Ucup
cemberut. “Tanya kau punya Baba tu.
Kasih anak nama yang aneh-aneh.”
Saat Mira, Atha, dan Diba, duduk di bangku kelas 3 SD, sesuatu terjadi. Sore itu langit
mendung. Mereka bertiga duduk di beranda depan ditemani
Kakek Ucup yang sedang bercerita tentang Marilonga (dengan jargon: Mariloga,
Topo Doga), pahlawan Ende yang gagah berani,
dan diabadikan dengan monumen Marilonga di daerah Wolowona. Mereka
tahu Kakek Ucup
tidak pernah bertemu Marilonga namun caranya bercerita seolah-olah saat itu dia
berada di belakang Sang Pahlawan menantang musuh sebagai pemikul air minum.
Betapa bersemangatnya dia bercerita dan betapa seriusnya cucu-cucunya mendengar hingga tak sadar langit mulai memuntahkan isi perut. Perlahan
rintik lantas menjadi hujan. Mira
dan Diba tidak menyadari bergesernya Atha dari
posisi duduknya. Atha mendekat pinggiran atap seng rumah lantas
mengulurkan tangan. Atha terkekeh geli merasakan air hujan memenuhi tangkupan
tangannya yang tengadah. Perhatian Mira dan Diba
pada cerita Kakek Ucup
teralih seiring dengan berhentinya kata-kata yang sebelumnya meluncur lancar tanpa jeda. Tingkah Atha mengalihkan perhatian mereka semua karena setelah terkekeh geli Atha lantas termangu seperti orang
terhipnotis. Tatapan mata Atha kosong seakan sedang menatap sesuatu yang sangat jauh. Mira dan Diba tersentak. Kakek Ucup
tersenyum dengan sorot mata tajam tertuju pada Atha. Bibirnya memainkan pipa tembakau-nya naik-turun.
“Su mulai. Pecinta Hujan,”
desis Kakek Ucup.
Mira dan Diba bergidik ngeri. Cerita Kakek Ucup pada tahun-tahun sebelumnya terbukti. Cerita
yang mungkin hanya dipercayai anak sekecil mereka.
Tapi cerita itu terbukti! Mereka menemukan jawabannya. Atha, Pecinta
Hujan.
Atha menghela
nafas panjang. Dia masih ingat wajah perempuan pertama dari dunia lain yang
dilihatnya kala hujan mengguyur itu.
Kakek hanya bilang saya pecinta hujan.
Kakek tidak bilang sejak saat itu saya sudah bisa menembusi banyak orang,
banyak benda, bisa melihat arwah dari manusia yang telah mati, bertemu Konde
Ratu ...
Sejak kejadian
dirinya bersama hujan, Mira
dan Diba mulai saling menebak. Siapakah yang
akan menjadi Pecinta Senja? Lebih buruk, siapakah yang akan
menjadi Pecinta Bantal? Mereka
baru kelas 3 SD tapi mereka
begitu kuatir akan tanda-tanda yang dibaca Kakek Ucup tiga
hari setelah mereka lahir. Bila Atha sudah mengambil posisi Pecinta Hujan, tak lama lagi tentu akan ketahuan siapa Pecinta Senja dan Pecinta Bantal.
Saat liburan
kenaikan kelas, suatu sore keluarga Pua Saleh pergi ke Taman Rendo, taman bermain kanak-kanak di pinggir
Pantai Ende. Tentu saja Kakek Ucup
turut serta! Sudah lama dia tidak ke pantai menyapa laut. Pantai
Ende berpasir hitam dan kata Baba: banyak ‘candi’nya. Mereka
tidak mengerti. Candi? Bukankah tidak ada candi di kota Ende? Dari pelajaran
Geografi yang mereka peroleh di sekolah, candi banyak
terdapat di Pulau Jawa. Tapi di Ende? Benarkah? Melihat ekspresi bingung si kembar tiga, Baba, Ine, juga Kakek Ucup
terbahak-bahak. Ternyata candi yang dimaksud Baba
adalah hasil pembuangan manusia akibat dari tidak tersedianya MCK di
rumah-rumah penduduk tepi pantai. Mereka terkejut
mendengarnya. Bagaimana mungkin masyarakat sebuah kota seakan
hidup jauh dari peradaban? Untungnya sekarang MCK umum sudah tersedia, pun di
rumah-rumah penduduk.
Sore itu
matahari sangat cantik. Diba suka warnanya apalagi saat matahari
turun perlahan menghilang dibalik Pulau Ende. Diba
terpana. Indahnya! Warna emas, merah, seperti pink, berpendar di langit. Dia menatap senja itu dengan takjub.
Suara Kakek Ucup terdengar, “Su tau sapa yang
cinta senja? Liat su di sana …”
Mira pergi menjauh dari mereka,
mendekati bibir pantai, duduk bersila di sana sambil menatap senja dan
tersenyum. Mira bahkan tidak mendengar teriakan Ine
yang kuatir pakaiannya basah terjilat air laut.
Diba kalah. Tidak. Diba
tidak kalah hanya saja tanda-tanda yang dibaca Kakek Ucup setelah
hujan dan senja cukup menohok. Pecinta
Bantal.
“Ko su kasih tunjuk tanda-tanda sangat
cinta bantal tapi ko tir sadar,”
celetuk Kakek Ucup
sambil mengulum senyum.
“Maksud Kakek?” tanya Diba, separuh tidak rela menerima julukan Pecinta Bantal.
“Tir bisa bangun sholat Subuh, selalu
terlambat bangun mo pi sekolah,
kadang ketidura di kelas karena tadi
malam ko asyik baca komi.” Yang dimaksud Kakek Ucup dengan komi adalah komik.
Kau pecinta bantal yang sukses, Diba.
Atha meneguk teh
melati. Menikmati sendiri di kafe yang sepi sangat jarang bisa dia lakukan.
Teringat saputangan warna biru ... segera dia mengeluarkan saputangan warna
biru dari dalam tas.
Biru ... mata Atha
terpejam.
Terobos ... lorong
waktu ... meloncati dimensi ... tidak. Belum saatnya dia meloncati dimensi ...
sesiang ini?
“Kau ...”
“Saya Sharastha ... kita pernah bertemu.”
“Ya ... kau benar ... aku akan datang.”
“Benarkah? Kau yakin akan temukan jawabannya?”
“...”
“Harusnya kau yakin. Jika tidak, untuk apa saya datang?”
“Kau?”
“...”
Dirinya kembali
tersedot. Seseorang mengguncang tubuhnya.
“Kak!”
Mata Atha membuka.
“Cup? Sudah berapa
lama kau di sini?”
“Baru saja ...
Kakak ... sedang ...”
Atha tersenyum. Dia
sengaja tidak memuaskan Ucup dengan penjelasan tentang apa yang baru saja dia
alami. Lagi pula ada orang lain di tengah mereka. “Dan ini ... Pak Firman?”
tebaknya sambil menatap laki-laki paruh baya yang hampir seluruh wajahnya
ditutupi bulu. Terlalu mahal kah pisau
cukur?
Pak Firman menyodor
tangan. “Kenalkan, saya Firman.”
Atha menyambut
tangan Pak Firman ...
3 ...
2 ...
1 ...
Ledakan terjadi.
Tak terelakkan. Dahsyatnya memusingkan kepala Atha.
“Precognition?” desis Atha.
“Not only psichometry. You ... also ...
clairvoyance? And ... many more!” Pak Firman terpana.
Bergantian Ucup
menatap kakaknya dan Pak Firman. “Jadi ... ada apa ini?”
“Kami hanya manusia
biasa ...” Atha tersenyum.
“... yang kebetulan
bisa melihat masa lalu, masa depan ... dan mungkin ...” Pak Firman
mengangguk-angguk, masih terpana. Baru kali ini dia bertemu manusia dengan
kemampuan saling bertumpuk.
“Mengunjungi mimpi
orang lain ...” sambung Atha.
Ucup menepuk
kening. “Jadi dalam hidup saya yang sudah sengsara ini, saya masih harus
berhadapan juga dengan Pak Firman?” keluhnya.
“Kau mau saya
ramal, Cup?” goda Pak Firman, lantas tersenyum jenaka.
“Jadi ini jawaban
dari ... dari sikap Pak Firman yang kadang aneh ...” Ucup mengangguk-angguk.
“Betul, Cup. Saya
sendiri juga harus menguasai diri. Saya sering melihat masa depan yang ... kau
tahu lah ...” Pak Firman mengangkat bahu. “Tidak semuanya bisa saya ceritakan.”
“Astaga ...” Ucup
menepuk kening. “Dan untuk apa Pak Firman ketemu Kak Atha?”
“Untuk mencari
pasangan,” jawab Pak Firman. Pasti.
“Pasangan?” Ucup
terbeliak. “Pak Firman, jangan paksa Kak Atha untuk pacaran sama ...”
Atha tergelak.
“Bukan pasangan itu, Cup.”
“Maksudnya?” tanya
Ucup.
Atha mendesah. “Kami
selalu merasa sendiri, Cup,” ujarnya.
“Siapa pun tidak akan tahu bagaimana perasaan saya setiap malam.”
“So ...?” kejar Ucup.
“Sudah lama saya
dengar kabar tentang Atha,” sambar Pak Firman sebelum Atha sempat menjawab. “Sudah
lama saya ingin bertemu Atha. Namun pekerjaan dan dinas ke luar kota membuat
saya belum sempat mencari waktu yang pas seperti siang ini. Lagi pula dulu saya
sungkan ... kita kan belum seberapa dekat, Cup.” Pak Firman tersenyum. “Saya
dan Atha akan saling memahami. Tidak seperti orang lain memahami diri kami
masing-masing.”
“Itukah alasannya
Pak Firman masih ...” Atha menggigit bibir. “... membujang?”
Pak Firman tergelak.
“Tidak. Saya membujang karena masih ingin membujang.” Dia menggaruk kepala.
“Sudah sangat tua, ya?”
“Tidak,” sanggah
Atha.
“Mulai sekarang
saya harus hati-hati. Saya kuatir kau tahu rahasia-rahasia saya,” seru Pak
Firman lantas tergelak.
“Aaah. Saya juga
harus hati-hati. Masa depan saya sangat mudah diterawang,” balas Atha.
Diba berlarian dari
arah Pojok Buku. “ATHAAA! ATHAAA!”
“Heh?” Atha
menyerngit kening. “Kenapa lagi Kakak kau tuh, Cup,” godanya.
“Mono, Tha! Mono!”
Diba, masih menjerit, menyerahkan G-Note pada Atha.
“Halo?” sapa Atha.
“Astaga! Saya pikir kau sudah mati ... ha ha ha ... eh maaf. Iya ...”
“Kak Mono yang di
Jogja itu?” tanya Ucup. Diba mengangguk, membiarkan Atha mengobrol dengan Mono melalui sambungan telepon.
“Tamunya Atha?”
Diba bertanya pada Pak Firman. Yang ditanya hanya membalas dengan anggukan
kepala. “Minta di ... dilihat?” tanya Diba lagi.
“Kakak mau minta
dilihat sama Pak Firman?” tanya Ucup.
“Eh? Maksudnya?”
Diba berbisik, “Pak Firaun sama kayak Atha?”
Pak Firman
menggeleng. “Nama saya Firman, bukan Firaun. Dan ... saya precognition ...”
Bibir Diba menyatu,
monyong dan, “WOW! Atha past, Pak
Firaun future! Disertai lain-lainya!”
Ucup benci kalau
kakaknya yang satu ini mulai bertingkah aneh.
“Siapa jodoh saya?”
tanya Diba.
“Ha?” Pak Firman melongo.
“Ah ...” Diba
mengibas tangan. Dia menerima kembali gadget-nya
dari Atha. “Bulan depan kau bisa temani saya ke Riung, Tha? Nganter si Mono and the gank.”
“Insya Allah,” jawab Atha. “Anak itu ya
... ya Tuhan ... kau masih ingat waktu dia ajarin kita internet? Duileh, gayanya macam dosen wali kau itu!”
Diba terkekeh.
“Keajaiban adalah milik
Tuhan, sama seperti keajaiban tongkat Nabi Musa yang terjadi atas kehendakNya.”
– Anonim.
***
Bersambung.