Triplet adalah tulisan lawas saya yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku karena ceritanya lumayan absurd. Saya memutuskan untuk menerbitkannya di blog, part demi part. Karena keabsurdannya, komentar kalian tidak akan saya tanggapi kecuali buat lucu-lucuan. Ini bukan pembelaan diri, ini bela diri dengan jurus menghindar. Selamat membaca Triplet.
***
PART 12
***
PART 12
~ Jakarta ~
29 Maret 2015
“Mantan adalah jodoh
orang lain yang pernah menjadi kekasih kita.” – Anonim.
Pukul 11.20 WIB. Lantai 5 Gedung Mahamedia Corps,
bilangan Kuningan, Jakarta. Lima kali Margaret membaca tulisan berhuruf raksasa
pada dinding di belakang front officer
berambut kriwil: Tabloit Online
Perempuan Hebat Kita, dengan tagline:
Membawa Perubahan Untuk Perubahan. Lebih dari dua belas kali dia menatap jam
dinding berlogo perusahaan tabloit online
ini, dan memaki. Dalam hati dia bertanya apakah Pram juga memaki saat dia
membatalkan pertemuan mereka bulan lalu? Bodo amat! Siapa yang sangka delapan belas jam
setelah dia menyetujui untuk datang ke gedung ini, tawaran menggiurkan itu
datang? Dia pernah berkata pada salah seorang pengurus Internationalle Media,
“orang-orang IM ini parah! Sinting! Tapi, untungnya, sintingnya orang-orang IM
bikin aku happy.”
Margaret bangkit
menuju front office. “Masih lama?”
dia bertanya dengan nada tak sabar, dan mengharapkan jawaban yang berbeda.
“Masih,” jawab Si
Kriwil. Jawaban yang sama. “Maklum, Mbak, ini bukan pertemuan biasa.”
“Oh ya?” alis
Margaret terangkat.
“Pihak televisi
juga hadir. MahamediaTeve,” jawab Si Kriwil. “Gosipnya ... profil Perempuan
Hebat Kita bakal di-visual-kan!” mata Si Kriwil berbinar-binar. Gambaran karirnya di masa depan melintas.
Bukan urusanku! Yang aku tahu, bos kamu ngemis-ngemis
minta aku datang jam sepuluh tiga puluh! Sudah lebih dari kata telat, tahu!
Jangan dikira karena aku nggak kerja kantoran macam kamu, aku nggak benar-benar
punya kerja. Kerjaanku banyak, tahu!
Margaret kembali
duduk. Diambilnya majalah dari atas meja, membalik halaman demi halaman tanpa
minat karena hanya berisi artikel tentang artis, artis, dan artis. Jika bukan
karena laki-laki yang pernah mematahkan hatinya itu mengemis, belum tentu dia
rela menghabiskan waktunya untuk menunggu.
Si Kriwil
menghampiri Margaret, menyodorkan sebuah buku tebal berjudul: Antologi
Perempuan Hebat Kita [Juni – Desember 2014]. “Kalau Mbak berminat,” ujar Si
Kriwil. “Kumpulan profil perempuan hebat yang dibukukan atas inisiatif Bang
Pram. Limited edition,” tandasnya
bangga.
Sesekali Margaret
membuka website Perempuan Hebat Kita,
membaca artikel dan profil perempuan hebat dari seluruh Indonesia versi tabloit
online ini. Ciri khas Perempuan Hebat
Kita adalah profil perempuan yang diangkat, dipandang hebat, tidak selamanya
selebriti. Dia pernah membaca profil Greiche Dian, perempuan Indonesia yang
sukses mendulang Ringgit di Malaysia lewat bisnis rumah makan masakan Indonesia.
Asal-asalan
Margaret membuka buku yang dia letakkan di pangkuan. Terpampang foto close up seorang perempuan berwajah metropolis
dengan latar belakang tanaman ubi. Dia membalik halaman sebelumnya. Judul
profil perempuan ini: Sulastri, Sarjana Pertanian yang Bergumul dengan Umbi.
Sekilas tentang Sulastri mengingatkan Margaret pada perempuan-perempuan pemetik
teh saat dia nge-trip ke Pengalengan,
Jawa Barat. Mereka memang hebat. Menghitung para pekerja di ladang, perempuan
memang kalah jumlah namun perempuan-perempuan ladang sanggat tangguh karena
berani menantang sinar matahari tanpa sunblock.
Profil berikutnya,
perempuan asal Padang. Upik Febrianti: Hobby
yang Mendatangkan Uang. Margaret mengangguk-angguk membaca profil Upik
Febrianti yang gemar membuat nastar dan bolu bekal hari raya. Dari sekadar hobby menjadi bisnis rumahan yang laris
manis. Margaret kenal lebih dari sepuluh perempuan yang sukses berbisnis rumahan; bisnis kukis, bisnis makanan, bisnis pakaian, ada pula yang bisnis di atas bisnis semacam reseller dan dropship.
Pukul 11.45 ekor
mata Margaret menangkap gerakan Si Kriwil berdiri. Refleks dia menoleh.
Akhirnya pintu yang pada bagian atasnya bertulis: meeting room membuka. Empat orang laki-laki berusia kira-kira di
atas limapuluh dan berpakaian necis keluar, disusul beberapa laki-laki dan
perempuan, tentunya berusia jauh lebih muda, berpakaian kasual dan trendi.
Pram muncul
kemudian didampingi perempuan jangkung berambut legam dengan kacamata pantat
botol bertengger di hidungnya yang mancung.
Kacamata itu ngerusak segala kelebihan kamu, Nyir.
Ngerusak!
“Sorry, rapat dadakan.” Pram menarik
Margaret, memeluknya sesaat. “Kamu kurusan,” kritiknya.
“Hai, Margaret,”
sapa Dania. Dania yang nyinyir.
Margaret menyambut
cipika cipiki Dania, yang dia juluki Si Nyinyir, dengan tidak ikhlas. Mereka
berbasa-basi sejenak membahas cuaca Jakarta, kemacetan, dan bajaj. Dania
berlalu, menghilang ke sebuah ruangan yang pada pintunya menggantung papan nama
bertulis: Chef – Pramudya Bachtiar.
“Ada apa?” tanya Margaret
tanpa basa-basi, seperti kebiasaannya setelah mereka saling menjauh.
Pram mengajak
Margaret ke pantry. Setelah mengusir
seorang office boy yang sedang asyik menonton
teve, Pram meminta Margaret untuk duduk. “Kamu sedang nggak tagih hutang kan?”
Ogah-ogahan
Margaret menghempaskan pantatnya di kursi. Tidak seempuk sofa pada ruang tamu
tadi namun setidaknya dia tidak sekesal tadi, menunggu tanpa kabar pasti kapan pertemuan selesai.
“Kenapa kita nggak
ngobrol di ruang kerja kamu saja?” tanya Margaret.
“Aku nggak mau
Dania tahu.”
“—oh.” Margaret
melipat tangan di dada. “So? What’s the
topic?”
“Kronologisnya ...
panjang,” mulai Pram. Dia tidak ragu untuk bercerita tentang mimpinya tapi dia
bingung harus dari mana memulai.
Pintu pantry membuka. “Bang Pram!” Vera
berdiri di pintu pantry. “Draft tabloit edisi bulan Agustus sudah
saya titip di Dania,” lapornya.
“Siapa yang ngisi
profilnya?”
“Shadiba Pua Saleh.
Dari Ende,” jawab Vera. Dia perlu menambahkan, “Kabupaten Ende, Pulau Flores,
Provinsi Nusa Tenggara Timur.”
Kuping Margaret
berdiri laksana kelinci. Dari milyaran penduduk bumi, dia hanya pernah mengenal satu perempuan sinting bernama Shadiba, teman seperjalanannya dulu saat traveling keliling Provinsi Jawa Barat. Dan Shadiba Pua Saleh ... the one and only. Kalau benar itu Shadiba Pua Saleh yang dimaksud ...
Margaret menoleh
pada Vera. Dia melewatkan ekspresi wajah Pram melotot sempurna, ragu pada
pendengarannya sendiri. Dari Ende!
“Itu ...” suara
Margaret dipangkas suara Vera.
“Shadiba Pua Saleh. Seorang pelancong, seorang
perempuan mandiri yang punya usaha kece, dia juga seorang blogger, daaaan yang juga nggak kalah penting, dia sangat antusias mengangkat isu
pariwisata hampir di semua konten blog
dan media sosial,” cerocos Vera.
“Deal.” Pram mengacung jempol. Dia kuatir
jantungnya yang mendadak lebih cepat berpacu terdengar oleh Margaret. Shadiba Pua Saleh. Dari Ende. Danau Kelimutu terletak di Kabupaten Ende.
Ende, ke sana lah aku akan pergi bersama ... Margaret.
“Shadiba Pua
Saleh,” geram Margaret setelah sosok Vera menghilang dari pintu pantry.
“Dari Ende.” Pram
menatap Margaret penuh harapan. “Tuhan sudah mengaturnya seperti ini. Pasti.
Ini rencana Tuhan.”
“Maksud kamu?”
tanya Margaret.
Meluncurlah cerita
Pram tentang mimpinya, kawah warna hijau dan kawah warna merah, dan hasil
pencarian di Google. Dia ingin mengajak Margaret ke kota kecil Ende.
“Kita bisa manfaatin
dia untuk membantu ...”
“Nggak usah nunggu
dia diwawancarai sama tabloit kamu, Pram. Aku nggak cuma sekilas kenal si Diba
itu. Aku pernah tidur setenda dengan dia di Batu Karas. Bayangkan ... kami
lebih memilih tenda ketimbang kamar nyaman di Java Cove yang dibayarin sama
panitia!”
“Jadi ... kamu mau
temani aku ke Ende?” harapan membuncah di dada Pram. Cerita Margaret tentang pernah tidur setenda bareng Shadiba Pua Saleh bisa dilanjutkan nanti. Terpenting dari semua ini adalah Margaret mau menemaninya ke Ende.
“Tentu. Sudah lama
aku nggak ketemu perempuan sinting itu.”
“Shadiba?”
“Yess.”
“Kamu bisa hubungi
dia sekarang, Mar?”
“Bisa. Setelah kamu
cerita ada apa sebenarnya sampai-sampai kamu gigih banget pengen ke Ende,”
jawab Margaret dingin. “Nggak mungkin kamu mau ke Ende cuma untuk buktiin, atau
ketemu, perempuan dalam mimpi kamu. Siapa namanya tadi? ... ah, Sarasta! Aku
bukan anak kecil, Pram,” lanjutnya. “Ada kepentingan apa kamu ngotot mau ke
Ende?”
Pram tercekat
karena begitu mendadak Margaret mengubah manuver. Inilah ketakutan terbesarnya.
Kepercayaannya pada kebetulan sudah luntur namun kepercayaannya akan dendam
Margaret pada Prita masih kuat. Apakah Margaret mau menemaninya ke Pulau Flores
jika tahu tujuan yang sebenarnya? Karena dia tahu alasan pembuktian sebuah
mimpi, mencari perempuan bernama Sarasta ... adalah alasan kelas babi.
Pram ingat
informasi dari Subhan, “selama ini dia hidup tenang di sana jadi PNS, Bang.
Bangsat itu ... kalau ketemu saya ... hajar sampai teler!” Dia berterima kasih
pada Avila, sahabat karib Subhan, yang bertindak nekat a la detektif menyusup ke dalam keluarga itu sebagai kekasih salah
seorang saudara sepupu laki-laki itu sehingga informasi-informasi penting
terkait laki-laki yang dia juluki durjana itu terkuak.
“Kalau kamu nggak
mau cerita ... ya, sudah!” Margaret berdiri. “Percumaaaa aku ke sini. Nggak
mutu! Nungguin kamu berabad-abad dan hasilnya begini!” ujarnya. “Aku nggak mau
jadi si buta yang cuma bisa meraba-raba, Pram.”
Pram berdiri,
meraih tangan Margaret, berusaha menenangkan. “Sabar, Mar. Janji keputusan kamu
nggak akan berubah kalau tahu alasan yang sebenarnya?” tawar Pram.
Margaret terdiam.
Lama. Lantas kembali duduk. Bibirnya bergerak-gerak. Dia berpikir. Apa ruginya? “Oke.”
“It’s about Prita ...” Pram mulai
bercerita. Pelan. Hati-hati. Terarah. Dia ingin Margaret paham.
“It’s not about your
pretty-high-class-sister. It’s about revenge!”
“If you say so ...” Pram mengacak rambut.
“Aku cuma pengen laki-laki itu tahu. Dia nggak bisa bertingkah seenaknya sama
keluarga Bachtiar.”
“Yea, yea yea ...
keluarga KAYA Bachtiar.”
“Mar ...”
Margaret sengaja
menjadikan ini momen paling menegangkan untuk Pram. Sesungguhnya dia penasaran
tentang kebenaran keberadaan laki-laki yang dicari Pram. Sesungguhnya dia sudah
memantapkan tekat untuk menemani Pram pergi ke Pulau Flores (kapan lagi bisa ke
Pulau Flores dan gratis?) untuk menebus janjinya yang tertunda hingga lewat
sebulan. Sesungguhnya dia ... masih mencintai laki-laki ini.
“Garuda.”
“Maksudnya?”
“Aku nggak mau
maskapai yang lain. Harus Garuda.”
Pram bangkit. Dia
menarik Margaret, memeluk erat. “Terima kasih, Mar,” bisiknya.
Margaret melepas
pelukan Pram secepat dia bisa. “Gadget
kamu mana?” pintanya.
Pram mengeluarkan
S-5. “Kamu mau ngapain, Margaret?”
“Kita lihat profil
Facebook si Diba,” seru Margaret. Jemarinya lincah meluncur di layar S-5. “Ini
dia ... Shadiba Pua Saleh!” dia menunjuk layar S-5 pada Pram. “Shadiba Pua
Saleh yang sinting itu!”
Foto seorang
perempuan yang sedang berada di atas sampan, tertawa bahagia, mengundang siapa
pun yang melihatnya untuk turut tertawa.
“Sarasta ...?”
Pram tercekat.
Dunia seperti berhenti ber-rotasi.
Dejavu.
“Shadiba,” ralat
Margaret.
“Dia mirip ... Demi
Tuhan, Margaret ...” nafas Pram memburu. “Dia mirip perempuan yang aku
ceritakan tadi. Perempuan dalam mimpiku. SA-RAS-TA.”
Margaret bengong level galaksi.
“Ini bukan
kebetulan,” desis Pram. “Ini takdir.”
“Tapi dia adalah
Shadiba Pua Saleh, Pram! Bukan Sarasta-Someone
from your dream!”
“Tapi wajahnya ...”
Margaret membongkar
koleksi foto di Facebook Diba. Tangannya mulai bergetar. Semakin lama
getarannya semakin hebat.
“What? Margaret!”
Margaret melempar
S-5 Pram ke atas meja.
“Damn! Perempuan sialan!” maki Margaret.
Pram menunjukkan
reaksi yang sama ketika melihat koleksi foto di Facebook Diba. Pada Album
berjudul ‘Family’ nampak foto dua perempuan ibarat pinang dibelah dua.
“Twin ... Sharasta,” ujar Pram. Kali ini
dia menyebut nama Sharasta, bukan Sarasta.
“Dia nggak pernah
cerita! Jadi mana aku tahu?”
“Kamu nggak sering online untuk cari tahu, atau sekadar
ngecek statusnya Shadiba kan, Mar? Padahal kalian berteman. Handphone kamu itu ... harusnya udah
diganti sama yang teknologinya lebih canggih. Jadi kamu nggak usah nunggu
ketemu laptop dan modem buat oprek blog dan Facebook,” ujar Pram. Bukannya menghina, tapi Margaret
seperti manusia jaman batu di era
moderen.
Margaret mencibir.
Matanya ganas menatap Pram. “Handphone
aku ini contoh paling baik yang menunjukkan pada kalian bahwa aku adalah tipe
manusia yang mementingkan fungsi, bukan gaya!”
“...”
“Lagi pula dari
pada buat beli gadget, meding duitnya
buat beli tiket promo ...”
Pram hanya bisa
tersenyum.
***
Bersambung