Triplet adalah tulisan lawas saya yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku karena ceritanya lumayan absurd. Saya memutuskan untuk menerbitkannya di blog, part demi part. Karena keabsurdannya, komentar kalian tidak akan saya tanggapi kecuali buat lucu-lucuan. Ini bukan pembelaan diri, ini bela diri dengan jurus menghindar. Selamat membaca Triplet.
***
PART 11
***
PART 11
~ Ende ~
13 Maret 2015
“Anak-anak adalah
tangan yang dengannya kita memegang surga.” – Henry Ward Beecher.
Maret. Pancaroba. Perang kekuatan antara cuaca panas melawan cuaca
dingin nampaknya akan berakhir pada kemenangan cuaca dingin. Kota Ende memang
tidak sepanas Kota Aimere, salah satu kota kecamatan di Kabupaten Ngada yang terpeta di tepi pantai, namun Kota Ende juga tidak sedingin ibu kota Kabupaten
Ngada: Kota Bajawa.
Maret. Bagi keluarga Pua Saleh, ada tiga
tanggal yang penting di bulan ini. Pertama, 1 Maret. Kedua, 11 Maret. Ketiga,
13 Maret.
Pukul 06.30 Wita.
Sepagi ini, usai Sholat Subuh, Ibrahim Pua Saleh yang oleh anak-anaknya
dipanggil Baba, sudah ngetem di meja makan. Mulutnya bergerak-gerak, sibuk mengunyah fizu—kue cucur sembari membaca buku
setebal ensiklopedia berjudul: Kisah Para Nabi Dalam Islam.
Ine yang bernama
asli Regina Bata lantas berubah menjadi Siti Maesaroh—nama pemberian Ayahnya
Him, datang dari arah dapur membawa secangkir kopi. “Abang sudah siapkan kado
untuk mereka bertiga?” tanya Mae. Dia duduk di hadapan Him berharap mendengar
jawaban.
Seakan tidak
mendengar pertanyaan istrinya, Him membalik halaman buku, masih serius membaca. Dan mengunyah.
“Abang ...”
Him mendesah.
“Untuk apa?”
“Tadi malam kita
sudah bahas ini, Bang. Jangan berubah pikiran begitu.” Mae cemberut. “Ini
pertama kalinya mereka bertiga ada di rumah setelah tujuhbelas tahun.
Rayakanlah sedikit.”
Him membuka kopiahnya,
menggaruk kepala—jelas tidak gatal, klise, lantas mengenakannya kembali. “Nanti saya
pikirkan.”
Mae cemberut. Dia
meninggalkan suaminya yang masih asyik membaca buku. Padahal sebenarnya pikiran
Him sedang tertuju pada puteri-puterinya.
Tiga puteri kembar
lahir pada hari ke-13, bulan 3, tahun 1979. Him pernah memikirkan adanya
kemungkinan bulan ketigabelas dalam tahun Kabisat sehingga bisa saja tanggal
kelahiran mereka bertengger cantik pada akta kelahiran dan KTP: 13-13-1979.
Memori Him masih
bekerja dengan sempurna. Pernikahannya dengan Mae pada 10 Januari 1978 yang terjadi
sebelum ulangtahunnya yang ke-19 menerima pertentangan dari keluarga Mae.
Arnoldus Bata, bapak mertua Him, menentang keras pernikahan mereka. Him tidak
dapat menyalahkannya. Harga diri Arnoldus yang sehari-hari bekerja pada Bengkel
Misi tentu terkoyak. Puteri yang paling disayanginya karena sejak kecil
mengidap asma, yang menjadi guru pada usia 16 tahun, berpindah keyakinan dan
menikah. Namun itu masa lalu.
Mulut Him masih
sibuk mengunyah fizu. Dia ingat pada
hari ketika dia memikirkan nama untuk puteri-puterinya juga hari kelahiran
mereka, mulutnya juga sedang sibuk mengunyah fizu. Betapa dia sangat kuatir akan kelahiran si kembar dan juga
sangat kuatir akan nama yang hendak disematkan pada si kembar.
..xXx..
~ 1979 ~
13 Maret. Waktu tidak bisa menunggu. Tidak dalam satu dua
hari terakhir. Dua bulan lalu Him menolak mentah-mentah tiga nama pemberian
Ayahnya: Siti Nurbaya Pua Saleh, Siti Habibah Pua Saleh, dan Siti Mayasaroh Pua
Saleh. Perkara nama ini telah membuat Ayahnya, Yusuf Pua Saleh, yang sedang
berada di Pulau Ende itu geram, lantas ngambek, menolak menyeberang ke Kota
Ende sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Permasalahannya adalah Him
merasa perlu berkomentar, “itu nama jelek semua, Ayah eee. Kasih nama yang moderen sedikit ka! Macam nama Monalisa ...” Him tidak berani menyampaikan pendapat
lainnya perihal nama berawalan ‘Siti’. Dia kuatir istrinya tersinggung. Nama
Siti Maesaroh pun diberikan oleh Ayahnya yang tukang ngambek itu kepada istrinya.
Kemarin Him bertemu
Abah Pidu (nama KTP-nya Mohamad Pua Ita), guru mengaji masa kecilnya yang telah
lama migrasi dari Pulau Ende ke Kota Ende untuk mengurus Pondok Pesantren
Sembilan Wali yang dikelola oleh Yayasan Ar Rahman. Meminta saran dari Abah
Pidu, Him dibekali tiga nama. Nama pertama: Shamira. “Shamira itu artinya
pekerja keras, Him! Kalau bekerja dia tidak mau setengah-setengah. Dia akan
selalu berusaha mencapai hasil terbaik.” Him bertekat memberi nama Shamira
untuk bayi pertama yang keluar dari rahim Mae nanti—beberapa hari lagi. Kembar
pertama, si pekerja keras, akan menjadi tauladan untuk kedua adiknya yang,
mungkin lahir hanya berjarak beberapa detik atau menit saja.
“Dua nama lagi,”
gumam Him, masih sambil mengunyah fizu.
Serampangan tangannya meraih taplak meja makan untuk menghilangkan minyak fizu yang lengket di jemari. Dia sadar
perbuatannya ini dapat memicu ledakan amarah Mae karena taplak meja makan yang
di-kristik ini merupakan hadiah pernikahan dari Sisilia Dhae, Mamanya Mae yang
berasal dari Desa Nuabosi. Tetapi satu-satunya perkara yang menyedot
perhatiannya sekarang adalah nama, bukan amarah Mae, bukan perang dinginnya
dengan Ayah, bukan pula setoran dari penyewaan perahu-perahu motornya.
Dua nama lain
pemberian Abah Pidu adalah Talita Hasna Humaira, dan Zara Nadia Akhyar. Nama
yang elok, sedap didengar. Namun Him terkejut ketika mendengar arti dari nama
tersebut. Dia butuh berpikir seribu kali. Talita Hasna Humaira berarti gadis
yang cantik yang pipinya kemerah-merahan. Bagaimana
jika kembar kedua nanti pipinya tidak kemerah-merahan seperti buah tomat?
Lagi pula Zara Nadia Akhyar yang berarti fajar menyingsing mengawali segala
kebaikan ... terlalu berat untuk disandang di dalam keluarganya. Analisa mengantarnya pada bimbang.
Him menegak kopi
yang tinggal seperempat. Shamira. Dia menginginkan nama anak-anaknya kelak
merdu diucap dan berirama seperti menyebut fizu,
kaju, imu (kue cucur, kayu, teman).
“Shamira,
Shangkala, Shailangkung ...” Him menggeleng kepala. Menolak ide Shangkala dan
Shailangkung. Jailangkung jadinya! Repot
kalau nanti teman-temannya panggil dia jailangkung.
“Shamira, Shalila,
Shalala ...” Him kembali menggeleng. “Shamira, Sharata, Shad ... Shadap?
Shamira, Sharata, Shadiba ...”
Lama Him terdiam.
Shamira. Sharata. Shadiba. Sharata ...
sama rata. Ah. Sudah pas itu Shamira dan Shadiba. Dia mengangguk. Sharastha.
Mae bergabung
dengan suaminya di meja makan sambil mengelus perut. “Abang, tadi makan fizu berapa buah?”
“Lima.”
“Dikunyah?”
Him bungkam.
Suasana hati istrinya sedang tidak bagus. Mana pula sedang merasa tidak enak pada
bagian perut. Dia perhatikan saja tingkah istrinya yang meringis tanpa suara.
“Sabar, Nak ...
sabar,” ujar Mae lembut. Dia mengelus-elus perutnya. Usia kehamilannya memasuki bulan ke-sembilan. Tapi dia sendiri juga belum yakin kapan tepatnya akan
melahirkan.
“Harusnya kau
bilang, sabar anak-anak ... mereka kan ada tiga,” protes Him. “Menurut hasil
Ultranografi ...”
“Ultrasonografi,
Bang,” ralat Mae.
“Ya, itu USG ...
kau hamil kembar tiga ...”
Mae melirik malas.
Sejak mendengar istilah ultrasonografi, Him ibarat kertas putih ketumpahan
tinta. Merasa paling pintar. Sedikit-sedikit ultranografi—menyebut istilah itu
saja salah. Sedikit-sedikit, “kata dokter Consitah yang Orang Philipina itu, si got ...” payah. Tapi apa mau dikata?
Seperti itu lah suaminya.
Him menghabiskan
kopinya. “Mae, kita ini sangat beruntung,” ujarnya.
“Karena?” tanya
Mae.
“Karena dikaruniai
tiga sekaligus ...”
Him dan Mae memang
sangat beruntung. Untung yang pertama adalah berdirinya Rumah Sakit Bersalin yang
dikelola oleh Suster Misi Abdi Roh Kudus di Jalan Masjid, berhadapan dengan
RSUD Ende. Itu adalah salah satu tarekat atau kongregasi religius, atau ordo
keagamaan Katolik yang mempunyai nama resmi “Servae Spiritus Sanctus”
(S.Sp.S.), yang berarti : “Misi Abdi Roh Kudus”. Kongregasi ini didirikan oleh
Santo Arnoldus Janssen, pada tanggal 8 Desember 1889 bersama Beata Maria Helena
Stollenwerk, dan Beata Josefa Hendrina Stenmanns, di Steyl, di Belanda, yang
berada di wilayah perbatasan dengan Jerman. Anggota yang tergabung di dalam
kongregasi ini menghayati hidup misioner sebagai biarawati atau lebih dikenal
dengan sebutan suster. Rumah Sakit Bersalin yang menangani kehamilan Mae adalah
Rumah Sakit Bersalin SSPS (dari S.Sp.S.) yang dikelola oleh para suster dari
ordo tersebut. Mengabdikan hidup mereka demi kesehatan ibu dan bayi. Orang Ende
menyebut rumah sakit tersebut dengan Rumah Sakit SSPS, atau hanya SSPS.
Untung yang kedua, Profesor Ian Donald telah
merintis teknologi Ultrasonografi (USG) pada tahun 1960. Dari hasil USG yang
menyengsarakan Mae karena wajib meminum air dalam takaran yang telah dianjurkan
dokter Consitah (juga dipanggil Suster Consitah, Suster Kepala Rumah Sakit
Bersalin S.Sp.S.) itu menghasilkan penerawangan
serius. Mae mengandung tiga janin. Ya, triplet—kembar
tiga. Him tak paham omongan dokter
Consitah setelah hasil USG disampaikan, “zygote-nya
membelah jadi tiga bagian yang terpisah selama tahap-tahap permulaan pembelahan
sel. Kembar tiga tidak mudah, Pak Him, Ibu Mae. Kembar tiga
ini resiko kematiannya sangat tinggi.” Masuk telinga kanan, keluar telinga
kiri. Him hanya tahu bahwa tak
lama lagi dia akan menjadi Ayah dari tiga bayi kembar perempuan. Perempuan!
Mae kembali merasakan sakit, “Bang …”
“Kita pergi ke S.Sp.S. sekarang?” Him bangkit, kuatir Mae
melahirkan di rumah, dan itu sangat tidak keren. Dia sudah propaganda ke anak
buahnya soal Rumah Sakit Bersalin S.Sp.S. yang berkualitas prima.
Kualitas nomor wahid. “Aduuuh, itu kantor PMI buka tidak eee?” tanya Him sedikit panik. Seminggu
sebelumnya dia telah menyiapkan sepuluh kantung darah hidup demi persalinan Mae. Anak
buahnya ditodong untuk mendonor darah. Nanti. Saat Mae melahirkan dan jika dibutuhkan.
Mae menghela nafas panjang-panjang. “Sepertinya
belum, Bang. Abang pergi saja ke pantai …” katanya sambil pelan-pelan
menghempaskan pantat ke kursi, mengelus-elus perutnya yang membuncit maksimal.
Him ragu. “Mae, kita ke …”
Senyum Mae mengalahkan segalanya. “Abang kuatir,
ya? Apa kata dokter Consitah, Bang?” pancing Mae. Pada saat-saat tertentu
mereka sadar jarak kematian begitu dekat dengan kehidupan.
“Resiko kematiannya sangat tinggi,” jawab Him persis ketika anak TK
ketika ditanya oleh guru tentang gambar matahari.
“Tapi kita sudah sepakat kan, Bang?”
Him mengangguk. Mereka
memang telah sepakat sejak hasil USG disampaikan oleh dokter Consitah. Apa pun
yang terjadi kelak adalah kehendak Tuhan. Kematian adalah
misteri, rahasia yang tidak dapat diprediksi kecuali manusia memang sengaja
meloncat dari gedung bertingkat seratus tanpa pertolongan Spiderman.
“Abang pergi saja ke pantai. Suruh si
Said atau Kemal datang ke sini ... kalau ada apa-apa biar mereka yang kabarkan
pada Abang.”
Him mengangguk lagi. “Kalau
begitu saya
berangkat, Mae,” pamit Him sambil pergi mengambil
kunci sepeda
motor.
“Jangan lupa janji Abang,”
ingat Mae. “Besok lusa kalau saya melahirkan ... latihlah memang lengan Abang
...” goda Mae.
“Tidak mungkin lupa,” jawab
Him. Dia pergi ke halaman depan, lantas memacu sepeda motor menuju pesisir
selatan.
Pantai Ende bagian Pu’urere, tempat duabelas
armada kapal motor milik Him berlabuh, merupakan
bagian dari pesisir Pantai Ende yang memanjang dari Tanjung ke Ndao. Di depan
pantai berpasir hitam, tipikal pantai laut selatan, tampak Pulau Ende. Hari ini
semua kapal motor milik Him hilang dari pandangan,
disewa oleh kelompok-kelompok nelayan yang belum kembali dari
melaut. Musim selalu bagus di mata Him. Belum pernah dia tersenyum selebar hari
ini. Si Juragan Duabelas menepuk-nepuk pundak Rulah, asistennya, sambil
berkata, “Allah kasih kita rejeki berlimpah, Rul!”
“Alhamdulillah,
Juragan ...
semuanya disewa sama mereka (nelayan),” jawab Rullah.
“Said! Kemal!” panggil Him.
“Iya, Paman!” sahut Said.
“Iya, Juragan!” sahut Kemal.
“Kalian berdua pergi ke
rumah, pakai motor saya,” titah Him, melempar kunci motor. “Kalau ada apa-apa
dengan istri saya, segera datang kabarkan ke sini!” ujarnya.
“Beres!”
Lima menit kemudian Said dan
Kemal masih saling berebut kunci motor.
“Sudah! Sekarang Said yang
boncengi kau, Mal. Kalau ada apa-apa dengan istri saya, gantian kau yang
boncengi Said ke sini!” hardik Him murka.
Rulah terbahak. “Mereka
berdua itu kalau lihat sepeda motor macam lihat perempuan paling bahenol saja,”
katanya.
“Menyesal dulu saya ajarkan
mereka kendarai sepeda motor. Lebih baik mereka kendarai saja motor tempel buat perahu
itu,” omel Him.
Tawa Rulah semakin menjadi.
“Ada-ada saja mereka itu
...” Him duduk di kursi yang diletakkan di bawah pohon.
“Juragan ... tadi malam Eja (ipar laki-laki dalam bahasa Ende)
Dul datang ke rumah saya.”
“Mau apa Eja kau itu?” tanya Him skeptik.
“Dia tawarkan perahu motor
Pak Samsul,” jawab Rulah seraya duduk di depan Him.
“Cih. Perahu motor warisan keluarga Samsul yang digadai itu? Berani
sekali si Dul menjualnya!” protes Him.
“Pak Samsul tidak sanggup
bayar tebusan, Juragan.”
Him mengangguk-angguk lantas
berkata, “kalau saya beli perahu motor itu, nanti julukan saya bukan Juragan
Duabelas, Rul ... tapi Juragan Tigabelas,” guraunya dibalas dengan Rulah dengan
tawa.
“Jadi ... bagaimana,
Juragan?”
“Begini saja, Rul. Kalau
istri saya melahirkan saya punya satu janji. Nah ... kalau janji itu berhasil
saya tepati, saya akan beli perahu motor itu.”
“Baik, Juragan.”
Him dan Rulah mulai
mendiskusikan bisnis. Sebagai orang kepercayaan Him, Rulah mengurusi semua
tetek-bengek yang berkaitan dengan usaha Him ini, mulai dari mesin tempel yang
rewel, beberapa nelayan yang terlambat membayar, mengecat ulang perahu,
melayani pinjaman uang oleh para nelayan, termasuk menyetor penghasilan hari
kemarin. Penghasilan tersebut akan diserahkan Him pada Mae untuk dibukukan dan
disimpan di bank.
“Heh, Rul, sampan kecil
punya kau itu masih bagus kondisinya?”
“Mau dibeli juga sampan
itu?”
“Jangan senang, kau. Saya
mau pinjam.”
“Untuk apa?”
“Saya sudah janji sama istri
saya. Besok lusa kalau dia melahirkan, saya bakal dayung sampan dari Ndao ke
Tanjung,” jawab Him sambil menepuk lengannya. Sudah lama dia tidak mendayung sampan.
Rulah menepuk kening.
“Serius itu, Juragan?”
“Iya!” balas Him separuh
membentak. Dapat dia bayangkan lengannya yang telah lama tidak mendayung akan
kejang-kejang.
Lantas dari kejauhan dua
manusia berlari-lari kesetanan. Mereka
memanggil-manggil Him dengan suara keras.
“Juragan! Juragan!”
“Paman!”
“Juragan!”
Said dan Kemal terengah-engah tiba di hadapan Him.
“Juragan!”
“Paman!”
“Terserah kalian panggil saya apa. Ada apa!?”
bentak Him. Orang-orang
memanggilnya dengan berbagai julukan: paman, juragan, ka’e—kakak.
“Bibi mau melahirkan!” jawab mereka kompak. Mata
mereka berbinar-binar.
Him tertawa. “Kalian ini mau
main gila dengan saya!? Belum saatnya! Tadi pagi si Mae itu ...”
Kemal menangis tersedu-sedu.
“Betul, juragan. Bibi mau melahirkan ... kenapa Juragan tidak percaya? Saya
ngebut! Hampir tabrak sepedanya Paman Hasbul dan hampir masuk got di depan
Kantor Pelni ...”
Him terperanjat. Dia
merampas kunci motor dari tangan Kemal, berlari bak kambing dikejar harimau,
berusaha secepat mungkin tiba di rumah.
“Juragan ...” celetuk Kemal.
“Bibi sudah kami bawa ke Rumah Sakit Misi (S.Sp.S.).” namun Him sudah terlalu
jauh untuk mendengarnya.
13 Maret 1979, telah lahir tiga bayi
perempuan dari rahim Mae. Kelahiran mereka ditangani serius oleh dokter
Consitah. Dengan susah payah, hati-hati, dan penuh kesabaran, empat suster senior membantu dokter
Consitah mengeluarkan tiga bayi perempuan itu dari rahim Siti Maesaroh melalui
persalinan normal. Bayi kedua menyusuli bayi pertama hanya dalam waktu lima
menit. Bayi ketiga, bayi yang menimbulkan depresi pada wajah empat suster senior, membutuhkan
waktu lebih dari limabelas menit untuk menyusul kedua ‘sahabat’nya menuju dunia baru.
“Saya pikir dia tidak selamat,” komentar salah seorang suster senior dari balik masker.
Dokter Consitah tersenyum lega. “Dia selamat. Dia hanya mau
mempermainkan kita,” katanya dengan nada mengolok. “Kabarkan pada Pak Ibrahim, istri dan tiga bayi
perempuannya selamat.”
Salah seorang suster membuka pintu, memanggil
seorang suster
magang yang sejak tadi menunggu di depan pintu.
“Panggil Pak Ibrahim,” perintahnya.
Maria, perempuan muda berwajah lugu yang baru menekuni
profesi ini selama enam bulan berlari cepat ke pintu depan. Tak lama
dia kembali, langsung memasuki ruang bersalin. Dia menggaruk pipinya, kikuk. Berdiri di dekat dokter
Consitah, Maria terlihat seperti hobbit
di hadapan Gandalf.
“Mana Pak Ibrahim?” tanya dokter
Consitah, menatap Maria lekat-lekat.
Maria masih menggaruk pipinya. Apa yang harus dia
sampaikan pada dokter?
“Maria!” bentak dokter Consitah.
“Kau ini ... kalau ditanya ... jawab!”
“Aduh Mama Suster, Mama dokter ... Maaf, Pak Ibrahim tidak ada di depan.
Kata bapak-bapak yang di depan, Pak Ibrahim sedang mendayung
... mendayung sampan dari Ndao menuju Tanjung?” lapor Maria. Dia
sendiri juga bingung atas informasi yang diberikannya kepada dokter Consitah.
“Apa? Istri melahirkan, dia dayung sampan?
Untuk apa dia dayung sampan?” dokter Consitah melotot maksimal.
Dari arah tempat tidur terdengar suara lemah Mae. “Iya dokter.
Saya yang … minta.”
Dokter Consitah syok. Empat bidan senior syok. Maria hanya
bisa tersenyum kikuk.
“Ibu Mae, maaf, kalau boleh saya bilang Ibu dan suami Ibu
keterlaluan!” hardik dokter Consitah sambil melenggang meninggalkan ruang bersalin.
Dongkol setangah mati.
..xXx..
Setelah liburan kedua sekalian mengantar dua teman
melancongnya ke Kota Maumere, hari ini Diba kembali pada rutinitas. Sambil
memacu motor matic yang dia namai
Nimbus2007, diadopsi dari nama sapu terbang dalam serial Harry Potter, dia
mengingat kejadian di ruang makan tadi pagi. Seperti biasa Baba sedang
mengunyah fizu sambil membaca
sedangkan Ine sedang mencatat daftar belanja. Adalah keajaiban jika Diba yang
lebih dahulu mendarat di ruang makan. Biasanya Atha atau Ucup. Bahkan Diba belum
menggosok gigi. Dia tidak peduli. Di ruang makan ditemuinya Baba dan Ine,
mencium tangan, pipi, dan lutut kedua orangtuanya dan berkata, “terima kasih
Baba, Ine ... saya sudah tigapuluh enam. Siang ini Baba dan Ine makan siang di kafe,
ya. Nanti saya suruh Ucup jemput.”
Serampangan Diba
memarkir Nimbus2007 di depan pintu Shadiba’s Corner. Ibarat kebiasaan rata-rata
umat manusia setiap pagi setelah bangun tidur: boker, dia berdiri di depan
tempatnya mengumpulkan Rupiah ini. Dia menatap kanopi biru-putih yang khusus
dipesannya pada Benny Laka, pemilik Benny Laka Art & Design. Huruf jenis Airmole warna biru donker berukuran raksasa membentuk dua kata: Shadiba’s Corner.
Pada bagian bawahnya, berukuran lima kali lebih kecil huruf berjenis Forgotten Futuris membentuk kalimat: One
Place for Many Pleasure. Memang inilah tujuan dia mendirikan
Shadiba’s Corner. Satu tempat untuk banyak kesenangan.
Pemandangan paling mencolok dari Shadiba’s Corner, selain
nuansa biru langit pada hampir seluruh kulit luarnya, adalah pintu ganda
berbahan kaca pada bagian barat, dan satu jendela kaca memanjang empat meter
pada bagian timur. Inilah tempat empat kepuasan dapat diraih sekaligus oleh
pengunjung: galeri tenun ikat, kafe, pojok buku, dan persahabatan—tentu saja.
Konsep yang sudah lama bercokol dalam benak Diba ini baru dapat direalisasikan
pada tahun 2006, saat tabungan dan bantuan dana dari Baba melakukan perkawinan.
Kenyataan bahwa dia tidak melanjutkan tugas mengurus tigabelas perahu motor sewaan
milik Baba, si Juragan Tigabelas, sedikit pun tidak
melunturkan dukungan untuknya. Bahkan Ine sering mengunjungi Shadiba’s Corner
untuk sekadar membetulkan letak selendang pajangan, atau mengomeli Azul yang
sering ketiduran di beranda belakang. Demikianlah cinta orangtua … abadi.
~Pletok~
Suara yang tidak keren itu terdengar. Diba memasuki Shadiba’s
Corner dengan perasaan yang sama: kagum, bangga, dan penuh syukur. Jika dari
luar tempat ini seperti sebuah dadu yang kecemplung dalam ember cat berwarna
biru langit, maka bagian dalamnya jauh lebih berwarna.
Ruang utama adalah galeri tenun ikat, bernuansa cokelat
dan berkesan natural, dimana lemari-lemari pajangan, dan rak-rak kayu dengan ukiran-ukiran
etnis berpintu kaca dijejer menempeli tiga sisi dinding. Sedangkan dua manekin,
laki-laki dan perempuan berpakaian adat Ende, diletakkan pada bagian tengah,
terkepung oleh lima meja pajangan yang membentuk heksagonal yang memuat barang
dagangan sesuai jenisnya. Meja pertama memuat bermacam asesoris etnis perempuan
seperti kalung, giwang, dan cincin, berbahan gading dan kayu ukiran. Aneka
kerajinan tangan, anyaman daun lontar, berbentuk tas, dompet, dan topi terletak
di meja kedua. Meja ketiga berdiri patung-patung kecil. Pada meja keempat
tertata aneka tenun ikat modifikasi seperti dompet, tas, sandal, sepatu, juga
kipas. Meja kelima, agak aneh, memuat pernak-pernik seumpama PBB sedang bersidang: boneka-boneka imut
berbahan flanel yang dijadikan gantungan kunci dan gantungan telepon genggam,
aneka gelang anyaman tali, tempat pinsil berbahan tenun ikat dan
anyaman daun lontar, tas rajutan aneka warna yang dipadukan dengan perca
tenun ikat, juga lampu meja daur ulang. Meja kelima ini merupakan bukti
kreatifitas kaum muda Kota Ende yang bersatu dalam J.Art Community yang
beranggotakan Violin Kerong, El Micha Thomas Ire, Solavita
Mbipi, Del, dan teman-temannya.
Bagian tengah-dalam Shadiba’s Corner
terdapat rak-rak buku, enam bench
warna-warni, lima sofa raksasa yang empuk, dan tiga meja kayu berkaki
pendek. Pojok buku ini seumpama pembatas kasat mata antara galeri dan kafe.
Buku-buku yang memenuhi rak bukan sembarang buku. Tidak ada satu pun buku
bertema teenlit di sana. Maklum,
sebagian besar buku-buku tersebut merupakan koleksi pribadi Diba yang bukan
pecinta teenlit. Selain novel
terjemahan, rak buku juga menyediakan buku pariwisata yang diperoleh Diba dari
kakak sepupunya, Selvi Bata, yang bekerja pada Dinas Pariwisata
Kabupaten Ende.
Kafe merupakan kesenangan terakhir yang dibangun Diba untuk
menggenapi Shadia’s Corner karena dia
punya kebiasaan mencoba resep baru, dan resep aneh untuk lidah Orang
Ende. Jendela kaca besar yang terlihat dari depan bangunan merupakan
kesengajaan yang manis dari sebuah rencana. Dari jendela kaca besar itu lah
para pengunjung kafe dapat menikmati, misalnya, secangkir kopi dan seporsi roti
bakar, atau jus mangga dan cupcakes,
atau cappuccino dan kentang goreng,
dengan pemandangan lalu lalang pejalan kaki di trotoar, dan lalu lintas Jalan
Kelimutu yang cukup padat. Pengunjung bahkan boleh berpindah lokasi ke pojok
buku, santai membaca buku sembari ngopi.
Shadiba’s Corner, sejak berdiri hingga saat ini, telah
mempekerjakan lebih dari selusin tenaga kerja. Dua kasir masing-masing kasir
galeri dan kasir kafe, dua koki, dua pelayan kafe, satu tenaga administrasi dan
keuangan, lima pelayan galeri, dua cleaning
service sekaligus pengepak paket yang Diba juluki packer
boy, dan seorang supir. Tentu yang paling sulit adalah mencari
koki untuk kafe. Untungnya Diba dibantu Bibi Ani, adik sepupu Baba yang pindah domisili dari
Pulau Ende ke Kota Ende, sebelum menemukan koki. Kesulitan lain adalah
memberikan pencerahan kepada para pelayan galeri tentang tenun ikat: proses
pembuatan, jenis, asal, dan alasan mengapa harganya berbeda antara satu dengan
yang lain.
Yang tidak Diba
sadari adalah sejak dia memarkir Nimbus2007 di depan pintu, Azul sudah mulai
mengomel. “Nanti saya juga yang pindahkan itu motor ke parkiran. Apa
susahnya sih Kak Diba pakir motor di
parkiran?” keluh Azul. Wajahnya yang muram terlihat lebih suram dalam pakaian
serba gotik, serba hitam. Kali ini dia mulai terjangkit virus
gotik.
“Jangan kau rusak hari ini dengan omelan kau itu, Zul,” ingat
Bibi Ani. “Kita sudah lama menyiapkan ini ... untuk pertama kalinya.”
Azul menghela nafas panjang.
Feme, Laila, dan Imar, muncul dari arah kafe menuju Pojok Buku
yang tidak tertangkap pandangan Diba dari tempatnya berdiri. Tangan Feme memegang piring
berukuran besar yang diatasnya berdiri tart
berlapis cokelat. Tinggi tart
menyembunyikan wajah Feme yang sendu. Lilin angka 36 berdiri di puncak tart, angkuh.
Kebiasaan Diba berlama-lama menatap tulisan Shadiba’s Corner di bawah kanopi
memberikan mereka waktu untuk mengatur posisi.
“Psstt … siap-siap,” Laila mengangkat tangan. “Tiga … dua …
satu …”
Puas melihat pajangan tenun ikat, Diba
meneruskan langkahnya menuju bagian bagian dalam. Ketika tiba di Pojok Buku,
dia diserang oleh teriakan, “selamat ulang tahun Kakak Shadiba Pua Saleh!”
Diba bengong. Ekspresi wajahnya
campur-aduk antara senang, kaget, ingin tertawa, ingin menangis, ingin bercinta.
“Ayo, Kak … kita ke kafe,” ajak Laila.
Azul menyalakan lilin, lantas menyeret Diba mendekati meja
tempat Feme meletakkan cake ulang
tahun. “Dengan segala kerendahan hati, untuk
pertama kalinya kami melakukan ini untuk Kak Diba,” kata Azul.
“Kampret!” umpat Diba. Dalam hati dia terharu. Matanya
berkaca-kaca tapi dia tidak ingin menangis—tidak pada hari bahagianya.
“Ayo … ayo … ditiup lilinnya,” ujar Bibi Ani, memilih
untuk tidak mengingatkan Diba pada umpatannya.
“Tunggu dulu, tunggu dulu.” Diba mengangkat tangan.
“Ehem!” dia berdehem, sengaja menambah kesan dramatis pagi ini. “Terima kasih.
Hari ini adalah hari ulang tahun saya. Tapi ... apakah ada yang lupa?” Diba
melirik Bibi Ani. “Hari ini juga hari ulang tahun Shadiba’s Corner yang
sebelumnya bernama Rumah Tenun Ende.”
“Astaga!” pekik Bibi Ani, menepuk
kening.
Diba terkekeh. “Shadiba’s Corner tidak
akan berusia sembilan tahun tanpa kalian semua—tanpa Bibi Ani tersayang—yang
sudah temani saya sejak mula mendirikan Rumah Tenun Ende. Bukan saya yang
membawa Shadiba’s Corner hingga secantik sekarang tapi kalian. Bibi Ani yang
mau saya ajak susah, Azul, Feme, Laila, Imar, Magda, Among, dua kasir cantik
kita Jeni dan Jessica—kebetulan namanya mirip ... Petrus yang pada akhirnya
bergabung sebagai sopir kita ... juga dua anak magang Cahyadi dan Renti,”
ujarnya, lantas menghela nafas panjang. “Jadi ... lilin ini tidak boleh ditiup
oleh saya seorang. Kita semua harus meniupnya!”
“Merdeka!” seru Azul.
“Monyong!” umpat Diba. “Ayo!” ajaknya kemudian.
“Tunggu!” suara Petrus, sopir, dari arah Pojok
Buku. Dia terlambat. “Saya juga!”
“Cepat! Satu … dua … tiga …”
“Puuuffff …”
“Shuuufff …”
“Kampreeeettt! Ini siapa yang belum gosok gigi?” raung Diba tidak
rela hidungnya kerasukan aroma naga gembel.
Keterlaluan. Azul menunjuk Petrus, Laila menunjuk Azul, Bibi Ani dan Imar
menunjuk Azul, Petrus menunjuk Azul. Cahyadi dan Renti kompak
menunjuk Azul. Azul, si tersangka utama meringis sambil garuk-garuk kepala.
Ulangtahun ke-36 Diba dan ke-9 Shadiba’s
Corner. Apa yang terjadi hari ini tidak bisa Diba pisahkan dari
masa kuliah dulu, masa dia mengenal internet
untuk pertama kali di Warnet Afilla di Jogja bersama Atha. Jasa Mono dikenang
sepanjang masa oleh dua dari triplet Pua
Saleh. Mono, mahasiswa bertubuh tipis, rela menghabiskan waktu
berjam-jam di warnet demi kemajuan intelejensia dua mahasiswi asal Ende, Flores. Satu
hari saja Mono bertindak sebagai guru besar, hari selanjutnya kedua Pua
Saleh telah fasih menggunakan internet.
Awal mula mengenal internet
Diba paling doyan nongkrong di mIRC. Semua server
dia jelajahi: Dalnet, Undernet, Wasantara.
Ketika Yahoo! meluncurkan Yahoo!Messenger, teman-teman chatting Diba di mIRC pun hijrah berjamaah ke layanan chatting yang menyediakan fasilitas video call tersebut. Mau tak mau dia pun
ikut mingat dari mIRC. Ketika Geocities mewabah di Indonesia, dia tak mau
ketinggalan membuat akun Geocities. Tetapi hal itu tak berlangsung lama karena
kemudian ada mainan baru yang lebih
yahud: blog. Vita, sahabat Diba yang
berdomisili di Banyuwangi, rela mengajarinya blog via chatting di
Yahoo!Messenger. Oktober 2001 resmilah Diba menuang
pemikiran-pemikirannya yang un-jenius
di blog. Setelah mengenal blog dia punya prinsip baru: menulis
untuk diri saya sendiri, bukan orang lain. Itu merupakan bahasa yang
lebih halus dari: kalau tulisan saya jelek, jangan diledek!
Tahun 2002, setahun setelah diwisuda
menjadi Sarjana Hukum pada salah satu universitas di
Jogja, Diba pulang ke Ende membawa bekal: Ilmu Hukum dan ilmu internet. Bila dipetakan maka Hukum
Positif berada di samping Google, rumah Immanuel Kant berdiri di samping kanan
rumah Jack Dorsey si penemu Twitter, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman menetap satu blok dengan gerakan Jangan Asal Copy Paste. Diba menolak mengikuti tes
CPNS dan meminta Baba memasang jaringan internet
di rumah yang pada masa itu menggunakan model seukuran piring. Upayanya ini didukung penuh oleh Atha dan Ucup karena mereka semua memang
tergila-gila pada internet. Internet, teknologi keren ini, mengobati
rasa rindu Diba akan Jogja, juga kota-kota yang pernah dia kunjungi saat
liburan semester tiba. Dia betah berlama-lama ngetem di kamar, berjam-jam chatting dengan Mono melalui Yahoo!Messenger, atau
membalas e-mail dan bertukar cerita
dengan teman-teman masa kuliah. Dan biaya internet pada masa itu, dial-up,
mahalnya mencakar langit.
... lantas
sekonyong-konyong ide itu datang
Adalah Bibi Meda, adik kadung Baba, yang menginspirasi Diba
menjual tenun ikat khas Ende secara online. Tahun 2004 Diba resmi meluncurkan website (lagi-lagi dia berhutang budi pada Mono
yang rela meluangkan waktu mendesain layout
website tersebut) Rumah Tenun Ende setelah sebelumnya berpromosi lewat
blog, Twitter, dan Facebook.
Penjualan tenun ikat melonjak drastis. Bibi Meda yang menetap di Pulau Ende lebih
rajin bolak-balik Kota Ende-Pulau Ende untuk mengantar tenun ikat pesanan Diba.
Usaha yang menurut sebagian orang mustahil ini berhasil Diba wujudkan. Siapa
bilang internet hanya menghabiskan
uang? Karena penjualan tenun ikat yang melonjak drastis, Bibi Meda lebih sering bolak-balik Pulau
Ende-Kota Ende untuk mengantar tenun ikat pesanan Diba yang dibeli dari penenun
di Pulau Ende.
Diba tahu Baba mengharapkan salah satu
dari mereka mau mengurusi usaha penyewaan perahu motor namun sayang dirinya
terlalu sibuk memburu tenun ikat, Atha lebih sering ‘memenuhi panggilan’,
sedangkan Ucup disibukkan dengan tugas-tugas kuliah (waktu itu, sebelum
mengikuti tes CPNSD dan lulus menjadi PNS). Dia juga tahu Baba bukan tipe
orangtua yang suka memaksakan kehendak pada anak-anak. Ketika dia memilih untuk
bergelut dengan internet dari jam ke jam, Baba hanya
berpesan, “kalau mau kerja apa-apa itu harus serius, Diba. Jangan
setengah-setengah.”
Diba tahu dirinya merupakan kloning Baba dalam takaran
seduhan kopi yang tepat: dua sendok gula + satu sendok bubuk kopi. Sama-sama
berkemauan keras. Masih diingatnya sejarah kehidupan Baba sejak
dijuluki Juragan Duabelas hingga kini dipanggil Juragan Tigabelas oleh
anak buahnya.
Tahun 2005 Diba mengutarakan niatnya
untuk melebarkan sayap dengan membuka galeri. Tidak disangka Baba justru
menghibahkan rumah mereka yang lain, yang terletak Jalan Kelimutu. Diba
menunggu dua bulan sampai pengontrak terakhir hengkang dari rumah tersebut, dan
memulai pekerjaan panjang yang melelahkan.
Atas prakarsa Baba, selain menyewa dua
tukang bangunan untuk merenovasi rumah tersebut, Diba dibantu pula oleh Paman
Rulah, Paman Said, dan Paman Kemal. Ketiga paman yang tidak berhubungan darah
langsung dengannya namun sudah dianggapnya paman sendiri.
Dinding bagian depan diganti dengan kaca, termasuk pintu,
mengecat tembok dengan warna-warna cerah, atap yang bocor diperbaiki,
barang-barang yang tidak perlu disingkirkan ke garasi di sisi kiri, dan sebuah
kamar dipugar menjadi ruang kerja pribadi. Ruang kerja yang dilengkapi dengan AC dan
kamar mandi. Ine menghadiahkan Diba rak-rak kayu cantik untuk memajang tenun ikat yang dijual.
Mono, guru besar Diba di bidang internet
yang memutuskan tinggal di Jogja ketimbang pulang ke Madiun, mengirimkan hanger berbahan kayu dan besi: unik dan antik. Sebuah meja
kasir diperolehnya dengan harga murah dari toko Baba Ahiong yang bangkrut.
Perkara tersulit adalah merekrut pekerja. Rumah Tenun Ende online, bukan perkara sulit. Mendirikan
galeri ternyata tidak semudah yang Diba bayangkan. Lagi, Bibi Meda menawarkan
si adik sepupu: Bibi Ani
“Siap bekerja tanpa bayaran,” bisik Bibi
Meda.
“Yang penting makan tiga kali
sehari,” gurau Bibi Ani saat pertama kali mereka bertemu di beranda belakang
rumah sambil menatap gerimis tipis. Bibi Ani yang kala itu masih melajang di usia 37
tahun memilih untuk pergi dari Pulau Ende, memulai hidup baru di Kota Ende.
Cintanya yang berkarat pada lelaki yang menikahi perempuan lain telah ditinggalkannya di pulau
itu. Bibi Ani mengajarkan Diba tentang melepaskan, sekalipun sulit. Waktu
selalu dapat diandalkan sebagai pelepas segala masalah. Bibi Ani menempati salah satu
kamar di galeri, dan itu menguntungkan Diba karena tidak perlu menyewa cleaning service. Galeri selalu bersih,
wangi, dan semua benda berada pada tempatnya.
Menjelang tahun kedua galeri dibuka, Diba dan Bibi Ani
mengadakan rapat besar yang dihadiri oleh mereka berdua. Di ruang kerja Diba
yang sejuk mereka mencapai mufakat untuk merekrut lebih banyak pekerja. Online maupun offline, Rumah Tenun Ende semakin terkenal. Orderan
menumpuk dan Diba kewalahan mengurusi semuanya berdua Bibi Ani. Saat
itulah Diba mencetus ide yang sudah lama bercokol di benaknya.
“Saya mau tempat ini jadi tempat yang
sangat menyenangkan, Bi, bukan hanya jadi tempat kita mencari uang,” celetuknya
kala itu.
“Jadi ... bagaimana?”
“Konsep saya begini, Bi ...”
Pada tahun ketiga Rumah Tenun Ende
Berubah nama menjadi Shadiba’s Corner. Tentu, Diba perlu merenovasi tempat ini.
Dia membutuhkan jasa tukang bangunan ...
lagi. Untungnya Paman Kemal berbaik hati menolak untuk mempekerjakan
tukang bangunan yang lain.
“Sudah, Diba ... biar saya dan anak-anak
kompleks di sini yang bantu kau,” ujar Paman Kemal saat Diba menghubunginya.
Diba terkekeh. “Untung ya, Paman,
sekarang ada teknologi telepon genggam.”
“Kenapa bilang begitu?”
“Kalau tidak ... Paman capek bolak-balik
pakai motornya Baba. Belum lagi hampir masuk got di depan Kantor Pelni itu,”
gurau Diba.
“Ha ha ha. Pasti Juragan yang cerita!
Hari itu hampir saja saya masuk got!”
Diba ingat kelanjutan cerita Baba tetang
hari kelahiran mereka.
“Baba ini sudah tarik gas kencang-kecang pulang ke rumah ... eh ... Ine
sudah diantar naik oto bemo (angkot) Tri Jaya ke rumah sakit! Kurang ajar
sekali si Kemal dan Said itu ...”
Shadiba’s Corner ibarat burung yang
terbang lupa sangkar. Bibi Meda tidak lagi menjadi satu-satunya pemasok tenun
ikat. Koneksi Diba meluas: daerah pesisir Pantai Ende, Kecamatan Nangapanda,
Desa Koponio di Ndona, Detusoko, Moni, juga Wolowaru. Diba tidak saja berburu
tenun ikat tapi juga menjalin hubungan baik dengan para penenun.
Pada saat itu Magda bergabung dan
langsung menduduki ‘jabatan’ bendahara, skretaris, dan admin semua akun online. Azul direkrut menjadi petugas cleaning service sekaligus packer boy. Imar yang sejak awal melamar
menjadi cleaning service justru
menjadi pelayan galeri ditemani oleh Laila dan Feme. Jeni ditempatkan pada
kasir galeri sedangkan Jessica pada kasir kafe. Among yang melamar menjadi koki
diterima menjadi koki. Pada tanggal 3 Februari 2010, enam bulan setelah Diba
membeli Feroza bekas Baba Ahiong, Petrus direkrut menjadi sopir.
Dengan bergabungnya Petrus, kini tugas
berburu tenun ikat Diba serahkan pada Azul dan si sopir. Sesekali dia turut
serta pergi ke Detusoko dan Wolowaru. Seringnya dia malah turun di Pasar Ndu’aria untuk
menikmati jagung rebus, membiarkan Azul dan Petrus menentukan tenun ikat yang
dibeli dari para Mama penenun di Kecamatan Wolowaru, atau Desa Moni. Kalau
urusan telah selesai kedua laki-laki itu akan kembali menjemput Diba di Pasar
Ndu’aria. Wilayah terjauh jajahan Diba and the genk adalah Maumere. Diba, Petrus, dan Azul, pernah hunting tenun ikat khas Kabupaten Sikka
di Maumere: di pasar maupun langsung dari tangan penenun.
Sembilan tahun sudah usia Shadiba’s
Corner. Sembilan tahun yang penuh perjuangan. Dan Diba menikmati semua ini
dengan lapang dan rendah hati. Mungkin karena hidupnya tidak terlalu diatur
oleh rencana, dia justru melakukan hal-hal baik pada saat yang tepat.
“Kalian tidak minta saya gantikan ongkos kue ini ‘kan?” tanya
Diba curiga.
Bibi Ani terkikik mendengarnya. “Tidak, Diba. Kami ikhlas …”
Azul beda pendapat. “Yaaaah kalau Kak Diba mau menggantikan
uang kami … boleh lah!”
“Kampret!”
“Ha ha ha …”
Pukul 09.00 Diba masuk ke ruang kerjanya. Aroma jeruk
menyerang indera penciuman. Dia suka. Dia betah berada di ruang kerja ini.
Setelah membuka tirai, agar pandangannya ke galeri lebih leluasa, dia menyalakan
laptop. Magda muncul, “mau sarapan
apa, Kak?”
“Apa saja.”
Sepuluh menit kemudian Magda membawa
nampan yang di atasnya terletak dua cangkir kopi, sepiring cake ulangtahun, dan dua tangkup roti bakar selai kacang. Magda
mengambil secangkir kopi, pergi ke meja kerjanya yang terletak di dekat pintu,
lantas menyalakan laptop. Kali ini
jaringan internet bukan lagi dial-up yang mahal dan membutuhkan modem sebesar piring itu. Diba
berlangganan Speedy. Dia sengaja tidak menggunakan Samsung Galaxy Note miliknya
untuk bekerja karena urusan membalas e-mail
dan menulis konten blog memang paling
yahud menggunakan laptop.
Setiap hari hampir limapuluh e-mail baru datang ke mailbox
Diba. Urutan terbanyak pertama datang dari Facebook: ragam notifikasi. Urutan
terbanyak kedua datang dari Twitter: notifikasi mention dan followers. Urutan terbanyak ketiga newsletter—tidak penting. Selanjutnya diisi dengan balasan e-mail dari teman-teman atau satu dua
kolega Shadiba’s
Corner. Sampai detik ini dia masih berkomunikasi dengan Mono lewat e-mail. Yang paling dibencinya adalah
lolosnya e-mail tawaran viagra, atau kondom, atau pembesar
payudara, atau jasa nikah siri, ke mailbox.
Seharusnya semua itu masuk ke kotak spam.
Satu e-mail menarik
perhatian Diba, terletak diantara tawaran obat kuat China dan newsletter sebuah LSM. Untung tadi saya belum main hapus saja.
Batin Diba.
E-mail
dari Ampoi. Diba terkekeh senang. Dia bakal melancong lagi. Kali ini ke
Larantuka menemani seorang turis asal Denmark bernama Sheena.
“Kak,” panggil
Magda.
“Yep?”
“Jangan lupa
hubungi Ucup. Jam duabelas dia jemput Baba dan Ine,” ingat Magda.
“Sip.”
“Kak ...”
“Yep?”
“Hmmm ... Kak Mira
juga ikut makan siang?”
Diba menggeleng
tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar laptop.
“Dia juga diundang, tapi macamnya dia punya acara sendiri. Kau tahu lah ...
kasmaran ...”
“Sama laki-laki
itu?”
“Apa perlu saya
jawab?”
“Maaf, Kak.”
“...”
..xXx..
Pukul 17.30 Wita. X-Trail yang datang dari arah barat
Kota Ende itu berhenti tepat di pagar belakang gedung Bank NTT yang berhadapan
langsung dengan kawasan hiburan Pantai Ria. Sepanjang Pantai Ria berjejer beach cafe: Pisang Goreng Sam—yang
kesohor karena sambalnya itu, Ipank Cafe yang terkenal dengan ikan bakarnya,
D’Light, Violet Cafe, Jen Cafe, hingga Pusat Wisata Kuliner Ende yang ditata
sedemikian rupa layaknya foodcourt.
Hanya saja makanan khas Ende yang dijual di Pusat Wisata Kuliner Ende ini
sangat minim. Orang Ende pun jika ingin menikmati makanan khas Ende berburu ke
Pasar Mbongawani atau ke Rumah Makan Khalilah yang terletak di dekat Bandara H.
Hasan Aroeboesman.
Mereka sengaja
memilih tempat paling dekat dengan bibir pantai, di bawah naungan pohon kelapa
mandul karena pertumbuhan buahnya lebih sering dikebiri, dan agak berjauhan
dengan meja-meja lain yang berkapasitas lima hingga sepuluh orang. Dua kursi
bambu yang diletakkan menghadap ke barat ini berhadapan dengan Pulau Ende. Sunset, yang akan datang sebentar lagi,
memang menjadi magnet istimewa dari
Pantai Ria.
“... Mas!” bentak
Mira.
Wawan tergagap.
“Ha?” Berapa lama dia mengelamun? Wajah seseorang itu selalu membayang setiap
kali, justru, saat dia sedang bersama Mira.
“Lagi pikir apa
sih?” Mira melirik kesal. Sedikit kesal atas sikap Wawan yang akhir-akhir ini
lebih mirip pecandu kehabisan kokain. Lebih kesal karena bulan kemarin, tepatnya
tanggal 14 Februari 2015, Wawan membatalkan janji kencan mereka dengan alasan
pekerjaan. Kekesalan Mira bertambah karena hari ini X-Trail milik Baba baru
tiba di rumah menjelang pukul 17.00 padahal dia sudah berpesan pada Baba,
hendak memakai mobil tersebut untuk pergi bersama Wawan. Dia memang diundang
untuk makan siang di Shadiba’s Corner tapi dia tidak tertarik untuk berkumpul
bersama keluarganya. Sejak kembali ke Ende tidak ada satu pun topik yang
sanggup dia obrolkan bersama Baba, Ine, Diba, Ucup, apalagi Atha. Namun bibit,
sekaligus puncak, dari kekesalannya adalah rayuan ke-sekiannya pada Baba justru
berakhir dengan, “tigabelas perahu motor itu milik kalian berempat, Mira. Kalau
kau mau menguasai semuanya, kuasai atas nama keluarga bukan atas nama kau
seorang. Kalau kau masih ingin menguasai semua perahu motor itu ... kau harus
pandai berunding bersama mereka bertiga.”
“Nggak mikir
apa-apa,” sanggah Wawan.
“Tidak pikir
apa-apa kok tampang Mas macam begitu?” serangnya. “Mas tidak perlu kuatir. Tinggal
satu kali sidang lagi kok.”
“Aku nggak
kuatirkan itu.”
“Terus?”
“Terus apanya, nduk?”
Mira gemas.
“Tampang Mas itu tidak bisa menipu, tahu!”
“Aku mikir
pernikahan kita nanti.” Wawan berbohong.
“Saya kira Mas lagi
pikirkan yang lain ...”
“Eh, kamu ...”
“Saya kenapa?”
Wawan ragu. Apakah
pertanyaannya ini tidak akan meninggalkan pertanyaan lain di benak Mira? Tapi
dia melanjutkan. “Kamu simpan saputanganku nggak? Aku cari-cari kok nggak
ketemu.”
“Saputangan yang
mana?”
“Warna biru.”
“Tidak lihat. Terkakhir
kali dipakai ... kapan?”
Wawan menggeleng.
“Nggak ingat.”
“Beli saja yang
baru.”
Bukan perkara
membeli saputangan yang baru atau memakai yang lama. Wawan punya berlusin-lusin
saputangan di lemari. Saputangan biru itu pemberian seseorang dari masa lalu
dan yang menjadi masalah dia kuatir saputangan biru itu jatuh ke tangan ‘orang
yang salah’.
Pramusaji berwajah
bulat mengantar dua jus sirsak dan dua porsi roti bakar pesanan mereka. Mila
menyambar roti bakar selai duriannya sedangkan Wawan membeku di tempat dia
duduk. Perasaannya kian mengacau.
Bagaimana jika ...?
“Saya ulangtahun
loh, Mas. Masa tidak ada hadiah?” berondong Mira setelah menyedot setengah jus
jeruknya. Dia tidak tahan melihat sikap Wawan yang seakan lupa pada hari
ulangtahunnya.
Wawan tersenyum.
“Ada ...” dia mengeluarkan sebuah kotak kecil, menyerahkannya pada Mira.
“Apa ini?” tanya
Mira dengan nada sinetron.
“Buka ...”
Sebuah cincin emas berinisial
huruf ‘M’.
“Terima kasih,
Mas.” Mira bangkit, diciumnya pipi Wawan. “Tapi ini bukan cincin pertunangan
kita kan?” dia bertanya jenaka. Jenaka yang palsu.
“Bukan, Nduk. Aku nggak tega ngasih kamu cincin
pertunangan kayak gitu,” sanggah Wawan. Dalam hati dia bertanya-tanya berapa
banyak uang yang akan dia keluarkan untuk mengurusi pernikahannya dengan bakal
janda ini? Apakah Mira berhasil merayu orangtuanya? Tigabelas perahu motor
adalah jumlah yang banyak. Jika tigabelas perahu motor itu diserahkan kepada
Mira, maka hidup mereka kelak tak akan berkesusahan. Wawan masih bisa
menyisihkan penghasilannya untuk ‘biaya-biaya’ yang lain.
Mira terkikik
senang.
Wawan gamang.
***
Bersambung