Triplet adalah tulisan lawas saya yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku karena ceritanya lumayan absurd. Saya memutuskan untuk menerbitkannya di blog, part demi part. Karena keabsurdannya, komentar kalian tidak akan saya tanggapi kecuali buat lucu-lucuan. Ini bukan pembelaan diri, ini bela diri dengan jurus menghindar. Selamat membaca Triplet.
***
PART 9
***
PART 9
~ Jakarta ~
8 Februari 2015
“Hidup adalah sebuah tantangan,
maka hadapilah. Hidup adalah sebuah nyanyian, maka nyanyikanlah. Hidup adalah
sebuah mimpi, maka sadarilah. Hidup adalah sebuah permainan, maka mainkanlah.
Hidup adalah cinta, maka nikmatilah.” – Bhagawan Sri Sthya Sai Baba.
Tigabelas Maret
Duaribu Tigabelas.
Setiap hari
ingatan-ingatannya berlomba mencapai garis akhir. Selalu ingatan tentang hari
ketika harga dirinya diperkosa mengungguli yang lain. Kalaupun ada ingatan lain
yang hendak mendahului, dengan berbagai cara dia akan menghalanginya. Dia
sadar. Dia ingin. Kesumatnya harus dipupuk. Dengan cara ini dia bahagia.
Dia mencintai kegelapan. Pada awal
mula persetubuhannya bersama sang gelap menuai pertentangan namun hanya
sebentar masa. Bukan karena gigih, bukan pula karena beringas, yang membawanya
duduk di kursi pemenang usai
memerangi pertentangan—bukankah aku kalah
suara? Diam. Beku. Aku ingin
mengkristal—barangkali bisa. Persetubuhan bersama sang gelap adalah candu.
Dari hari ke hari dia tidak ingin menolak dorongan hasrat bersama sang gelap
karena persetubuhan mereka
merupakan kenikmatan tertinggi yang
diraihnya saat ini. Gelap yang mandul tidak sanggup
membenihinya. Dia tidak akan hamil—untuk
kemudian mempermalui diri sendiri.
Keputusan Cleopatra untuk bunuh diri nampaknya
lebih didorong oleh rasa malunya karea dijadikan tawanan Roma ketimbang karena
rasa sedihnya akibat kematian Marcus Antonius. [Wanita-Wanita Yang Mengubah
Dunia, Rosalind Horton & Sally Simmons].
Dia tertawa. Dia pernah menertawai
maut yang diusir oleh takdir atau memang
demikian lah takdirnya. Sudah dekat, tapi belum cukup dekat. Itu
masa sebelum rintihan kenikmatannya bersama sang gelap menggaung pada dinding bunker berkarat. Usai terbirit-biritnya maut, kegelapan menjadi
kekasihnya, menjadi satu-satunya yang dia percayai. Karena gelap tidak pernah
berjanji apalagi ingkar. Bagaimana bisa ingkar jika tidak pernah berjanji?
Hari ini sang gelap berkhianat. Di mana? Kenapa rupamu berubah?
Kegelapan yang ini ibarat kembaran kegelapan miliknya. Yang satu menodai yang
lain. Pusaran hitam mendekat, mengajaknya masuk, dan dia tersedot. Utopia. Di mana? Apakah ini maut?
Dia menggeleng kuat. Ini juga bukan angkasa raya. Matanya tidak menangkap benda-benda
langit barang setitik pun.
“Prita ...”
Perempuan yang dilihatnya ini bukan
malaikat. Karena konon ... malaikat
mengenakan jubah putih bersayap.
“Tigabelas Maret. Tahun duaribu
tigabelas ... Kau sakit, Prita.”
Laprita Bachtiar
memberontak. Berteriak marah. Dasar
pengkhianat! Kegelapan punah. Kembalikan
sang gelap milikku! Warna-warna hilang-muncul, kadang bersama, kadang
sendiri-sendiri. Perasaannya kini sulit didefenisikan. Ada suara-suara
berdesing yang kian lama kian menusuk pendengaran bersamaan deru angin dari
barisan pepohonan. Samar dia membaca ...
Tigabelas
Maret Duaribu Tigabelas, keparat!
Tubuh Prita ambruk
ke atas lantai.
Samar, dan semakin
pudar, dia mendengar suara seorang laki-laki menyebut namanya. Lantas gelap
kembali menyetubuhinya, mereka bermandi peluh kenikmatan.
x
Setiap hari, sejak
darah mengalir deras dari selangkangan Prita dan gumpalan darah berusia enam minggu
itu dikebumikan di samping makam eyang
kakung dan eyang puteri, Pram
ditemani kebencian paling dalam dan paling hitam pada laki-laki itu. Setiap hari, sejak rumah mereka
kehilangan tawa nyaring Prita, juga kehilangan koar-koar
kemenangan kakak perempuannya yang berlesung pipi itu saat
menang taruhan bilyar di Hanakah
Bilyar, Pram mencari jejak laki-laki itu. Namun keberadaan dari sosok yang
dicari Pram menghilang seumpama pemburu kehilangan jejak kijang yang lenyap
tersapu air hujan. Pram bertanya-tanya ke mana kah perginya gerangan si durjana. Begitu
lihai bersembunyi sehingga keluarganya sendiri pun hanya mampu memberi jawaban
pada Pram dengan gelengan kepala—atau pihak keluarga bertindak heroik untuk
melindungi si durjana layaknya saksi kunci FBI yang diselamatkan melalui
identitas baru. Tapi Pram tidak pernah berhenti mencari. Mata-matanya selalu
siaga. Selalu
mencari.
Nggak selamanya kamu bisa terus sembunyi, bangsat!
Awalnya Pram percaya mimpi hanyalah bunga tidur namun ketika perempuan yang sama
datang ke dalam mimpinya dua kali pada bulan yang sama, kepercayaannya goyah.
Mimpinya bukan sekadar bunga tidur. Mimpinya bukan sekadar kebetulan. Dia
menjadi ragu apakah kebetulan memang benar terjadi di dalam hidup manusia
atau kebetulan hanyalah kosa kata paling pas untuk dua hal
yang berbenturan. Salah satu artikel berbau keagamaan yang dia baca di internet menyebut tentang tidak adanya
kebetulan di dalam hidup manusia. Segala sesuatunya, bahkan daun yang gugur dan
terpeta di bumi pun telah diatur sedemikian adanya.
Kalau
bukan kebetulan, lantas apa? Petunjuk? Petunjuk apa? Satu-satunya petunjuk yang
aku butuhkan sekarang hanya keberadaan laki-laki itu. Kehadiran perempuan
misterius itu di dalam mimpiku ... dua kali ... kalau itu petunjuk, petunjuk
atas apa?
Pram ingat mimpinya tadi malam, mimpi
kedua. Mimpi yang hampir sama jelas dengan kenyataan.
x
Cantik.
Dia tidak bisa memutuskan mana yang paling cantik. Apakah langit di ufuk yang
berwajah separuh mengantuk dengan warna keemasan, atau hijaunya
dedaunan pohon-pohon yang berbaris di lereng seumpama serdadu
di medan laga, atau perempuan berambut sepinggang yang saat ini sangat tenang
berdiri di sampingnya seolah-olah mereka telah lama saling kenal—kecantikan yang samar. Untuk suatu
alasan yang dia sendiri tidak tahu dari mana datangnya, dia merindukan suara
perempuan ini. Kerinduan yang janggal. Bagaimana dia memanggil perempuan ini?
Ingatannya sirna. Perempuan ini pantas dipanggil bidadari, bukan
malaikat—karena tak bersayap. Mungkin. Sesaat, pada pertemuan pertama,
dia meragu: bidadari atau malaikat?
Kesepakatan hatinya datang pada pertemuan kedua. Perempuan ini bidadari.
“Kau minta saya datang … lagi …”
Dia menoleh dan menatap sepasang mata sebening kaca. Elok.
Jelas mereka pernah bertemu. Bila tidak, dari mana datangnya kerinduan untuk
mendengar suara sang bidadari? Benarkah dia telah meminta bidadari ini datang
lagi?
“Kau percaya?”
“…”
Apa yang harus aku
percayai? Bahwa Tuhan menjanjikan surga dan neraka?
“Mungkin sekarang kau sudah percaya. Kau harus datang,” ujar
bidadari. Gerakannya luwes, langkahnya pelan terarah menuju pagar pembatas.
Angin menerbangkan helai rambutnya. Di bawah sana dia melihat dua kawah kembar
dengan air yang begitu tenang. Tenang seperti mata sang bidadari. Salah satu
warna kawah itu hijau tosca, satunya
lagi semerah darah.
“Tapi …” dia ingin protes. Tapi kata-kata tertancap di
tenggorokan.
“Datanglah!” sebuah paksaan.
Dia menggeleng kepala keras-keras. Suaranya begitu lekat di
benak tetapi dia lupa siapa perempuan ini. “Kamu … sebenarnya siapa kamu?”
“Saya? Saya sudah pernah menyebut nama saya saat pertama kali
kita bertemu di sini. Di timur.”
“…”
“Kalau kau lupa, saya Sharastha.”
“Sarasta …”
“Saya pamit …”
“Tunggu! Hei! Jangan pergi! Jelaskan apa yang … TUNGGU
SARASTA! TUNGGU SAYA!”
“Emang mau ke mana,
Bang?”
“Mau ikut kamu …”
Alaram di kepalanya berdering-dering mengingatkannya untuk
kembali pada nyata yang dapat digenggam. Matanya membuka. Hal pertama yang
diingatnya adalah wajah perempuan di dalam mimpinya begitu mulus tanpa cela.
Kenapa sekarang wajahnya brewokan dengan hidung dihiasi bekas luka memanjang?
Rambut perempuan itu panjang sepinggang. Kenapa sekarang berubah pendek dan
keriting? Dan aroma—dia tidak yakin aroma tubuh perempuan itu, apakah melati
atau anggrek?, kenapa sekarang beraroma keringat bercampur tembakau?
“Abang mimpi, ya?” tanya Karel.
Pram bangkit dari sofa. Sial!
“Busyet. Aku mimpi lagi. Mimpi yang sama,” keluh Pram.
Karel, laki-laki asal Nusa Tenggara Timur, tepatnya Pulau
Lembata, yang bekerja pada keluarga Bachtiar sebagai sopir dan
sejak tadi ditinggal tidur Pram saat mereka sedang menonton pertandingan sepak
bola, menepuk kening. “Ada-ada saja, Bang Pram ini. Mau saya ambilkan air
minum? Atau beer?” tawar Karel.
“Serius, Karel. Ini mimpi yang sama,” ulang Pram, tak
mengindahkan tawaran Karel meski dia memang merasa haus. “Mimpi indah ... tapi
buruk.”
“Saya bingung. Sebenarnya mimpi Abang
ini indah atau buruk? Mimpi indah tapi buruk, atau mimpi buruk tapi indah?”
Karel menggaruk bekas luka memanjang di hidungnya.
“Keduanya. Indah dan buruk.”
“Mimpi apa sih,
Bang?” tanya Karel. Dia penasaran adakah mimpi indah-dan-buruk dapat masuk ke dalam
tidur anak majikannya ini, menerobos kebahagiaan hidupnya.
“Mimpi aneh ...”
“Saya ambilkan Abang air minum dulu.”
Karel berlalu ke dapur.
Menit-menit berikutnya kuping Karel
patuh mendengar cerita yang tersendat meluncur dari bibir Pram tentang dua
mimpinya.
x
Jemari
Pram mengepal di sisi kanan-kiri laptop. Pikirannya mengembara pada
wajah cantik Prita dan betapa tergila-gilanya perempuan berlesung
pipi itu pada si durjana. Cinta sungguh sanggup memberikan
tontonan paling menarik. Bagaimana mungkin seorang perempuan cassanova tergila-gila pada lelaki udik
yang sama sekali tidak punya prestasi selain kehabisan beras dan terlambat
membayar sewa kos? Sekali-dua mengantar dan menjemput Prita di kampus, Pram
jengah ditatap sedemikian rupa oleh si durjana. Sekali-dua si durjana bertamu
ke rumah mereka, Pram kesal menemukan tatapan yang sama dari si durjana.
Pram memandang hubungan cinta antara
Prita dan laki-laki durjana itu, sumpah—dia alergi menyebut namanya, sebagai
pelampiasan sebab kandasnya semua mimpi tentang rumah tangga bersama Igidiaz.
Jika usia bukan perkara yang mampu mengabisi nyawa sebuah hubungan, maka agama
tentu mampu—dalam pandangan keluarga Bachtiar. Sementara itu keluarga besar Igi
merasa tidak sebanding jika Igi, terpaksa atau dipaksa, menikahi Prita. Pram
sering membayangkan Igi mempunyai vagina sedangkan Margaret mempunyai penis,
dan dia terbahak-bahak dalam kesedihan, karena hanya Margaret lah yang berani
menentang aturan di dalam keluarganya.
“Nggak boleh ada istilah ningrat
dan jelata! Aku tetap pilih Pram, Pa, Ma ... aku cinta dia!”
Kegigihan Margaret, kala itu, juga dia
tunjukkan dalam hal keyakinan. Bagi Margaret, ketika cinta sudah bicara, dia
rela pindah keyakinan demi Pram.
Pop-up muncul di bagian bawah layar laptop; suatu peristiwa yang langka
mengingat frekuensi Margaret online
di dunia maya saingan sama gerhana matahari. Mencoba
mengirim pesan tadipun sekadar iseng-iseng berhadiah karena Pram justru berniat
menelepon Margaret meskipun sangat besar kemungkinan panggilannya memasuki
kotak voice message.
Cepat mata Pram membaca balasan pesan Facebook dari Margaret.
Ada apa!
Bahkan untuk menggunakan tanda tanya pun
Margaret enggan. Pram tersenyum. Sekasar apa pun Margaret memperlakukannya,
perasaannya pada perempuan ini tetap sama.
Aku pengen nanya sesuatu.
Tanya apa!
Lagi di mana?
Sebenarnya bukan itu yang ingin Pram
tanyakan pada Margaret.
Baru pulang dari Wakatobi.
Menang lomba lagi?
Iya.
Sekarang di Jakarta?
Yess.
Pram menghela nafas panjang. Jemarinya
mengetik secepat yang dia bisa.
Kawah?
Iya, Mar. Kawah. Ada dua kawah.
Kawah ... Tangkuban Perahu?
Bukan.
Aku nggak tahu.
Kalau kamu dapat informasinya,
tolong kabarin aku, ya.
OK!
Trims, Mar :)
Pram membuka halaman profil Facebook
Margaret. Foto profilnya sudah berganti. Sebelumnya Margaret memasang foto
dirinya bersama teman laki-laki sedang memakai pakaian adat Minahasa. Kini foto
profil Margaret hanya memakai kaos biru, celana pendek hitam selutut, dan
sandal gunung yang talinya juga berwarna biru. Pram memperbesar foto profil
tersebut. Kulit Margaret nampak lebih gelap—gosong, hasil terpanggang matahari.
Pram tidak bisa menyalahkan Margaret
jika mantan pacarnya itu sering ‘membentak’nya dengan ‘tanda seru’. Pertama,
mereka tidak pernah bermusuhan. Kedua, Margaret lah pihak yang memutuskan untuk
menjauh—dan berpisah. Ketiga, alasan Margaret memutuskan untuk menjauh—dan
berpisah bukan datang dari Pram melainkan Prita. Keempat, sampai sekarang Pram
masih berusaha menjalin komunikasi dengan Margaret: SMS yang dibalas sesuka
hati, telepon yang lebih sering berbelok pada voice message. Kalau Margaret sedang online, menggunakan laptop,
barulah Pram dapat chatting dengan
perempuan itu lewat Facebook. Margaret anti menggunakan gadget super canggih. Telepon genggamnya masih bermerek Nokia tipe
3330, model telepon genggam yang dipakai oleh tokoh Sancai dalam serial Meteor
Garden. Semua penjelasan Pram dan bagaimana dia ingin mempertahankan hubungan
mereka tidak diindahkan oleh Margaret. Hati perempuan itu telah patah karena
terus-terusan menerima badai sindiran, hinaan, bahkan amarah Prita.
Margaret dan Prita ibarat Irak dan Iran
pada jaman Irak dipimpin oleh Sadam Hussain. Margaret selalu sinis pada jiwa hura-hura
Prita. Sebaliknya Prita membenci gaya hidup dan kegemaran Margaret melancong.
Sementara Pram berada di tengah-tengah. Dia tidak mampu membenci yang satu,
untuk mencintai yang lain. Cintanya pada Prita dan Margaret bertakaran sama.
“Kamu yakin bakal kawin sama
perempuan tukang jalan macam Margaret? Perempuan kayak dia itu mirip pelaut! Punya
laki di mana-mana!”
Bukan. Bukan itu alasan kebencian Prita
pada Margaret. Semua anggota keluarga Bachtiar, bahkan Karel, mengetahuinya
dengan jelas. Paman bungsu Margaret, Igi, adalah sumber kebencian itu. Cinta
yang berubah jadi benci memang mengerikan. Siapa-siapa yang berada di sekitar
sumber kebencian pun turut dibenci.
Pram menghela nafas panjang. Tangan
kanannya menggerakkan mouse, membuka
halaman Google. Jemarinya mengetik kata: Sarasta, pada kolom pencarian Google. Dia
menebak hasil pencarian Google pasti segala sesuatu berbau India. Bukankah
Sarasta identik dengan nama perempuan-perempuan India?
“Hmmm ... Sarasvati,” gumam Pram. Dia
meng-scroll down.
Arti Nama SARASVATI | Namafb.com
8 Jun 2010 ... Arti nama
SARASVATI untuk bayi perempuan adalah (Dewi). Nama ini berasal dari Hindu.
“Sarasta, bukan Sarasvati.” Jari
telunjuk Pram menggerakkan mouse. Dia
membaca informasi berikutnya ...
Nama
original Sarisha berasal dari Bahasa Hindu. Nama ini dikenal memiliki arti memukau.
“No!”
Nama Sarita dikenal luas. Aslinya berasal dari Bahasa Hindu. Nama spesial
anak ini memiliki arti aliran sungai.
Pram mengganti kata kunci pada pencarian
Google: Sarasta dan kawah.
Tidak ada informasi spesifik tentang
Sarasta dan kawah. Pram membaca headline
demi headline. Hasilnya nihil. Ada yang terlewatkan. Pram memaksa
memori kembali pada mimpinya. Apa yang telah dia lewatkan?
Angin,
kabut, kawah. Apa yang aku lewati?
Pram mengelus alisnya, berusaha mencari clue mimpi anehnya.
Warna!
Kenapa aku lupain warna?
Lagi, Pram mengetik kata kunci: kawah
warna hijau dan kawah warna merah.
Danau Kelimutu Kembali Berubah Warna – Kompas.com
... warna hijau. Sekarang Danau Kelimutu menjadi merah, putih dan hijau.
... “Memang ada asap di kawah dan
benar ada perubahan warna ketiga
danau tersebut. Saat ini kami masih ...
analisis kronologis pembentukan danau kelimutu dari
Rekaman perubahan warna air kawah pada 1997 dan antara 2002 – 2006 memperlihatkan ... dan tahun
2002 warna air berubah 3 kali,
masing-masing menjadi warna hijau
pupus dan merah marun.
Dieng - Wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Terdapat banyak kawah sebagai tempat keluarnya gas, uap
air dan berbagai material ... Telaga: Telaga Warna, sebuah telaga yang sering memunculkan nuansa warna merah, hijau, biru, putih, dan ...
Mata Pram memicing. Anak-anak pikirannya
berlomba-lomba mencapai sesuatu. Kali ini dia tidak mengirim pesan pada
Margaret. Dia meraih Samsung Galaxy S5 dari samping laptop. Dihubunginya Margaret. Menunggu beberapa saat, suara statis
perempuan terdengar.
Ah!
Voice message!
Tidak jera, Pram kembali menghubungi
Margaret. Dua kali, tiga kali, empat kali ... pada percobaan kelima, suara
Margaret terdengar.
“Apa lagi!?” bentak Margaret dari
seberang.
“Bisa kita ketemu?”
“What?”
“Ini penting, Mar. Kalau nggak penting,
untuk apa aku ...”
“Lusa.”
“Besok.”
“Lusa. Besok saya punya janji dengan
orang Internationalle Media. Aaah, untuk apa saya ceritakan ke kamu? Toh kamu
dan keluargamu nggak peduli ...” Margaret tertawa sinis. “Kehidupan saya nggak
penting di mata keluarga kamu.”
“Mar, yang benci kamu cuma Prita. Dan
sebenarnya dia nggak benci kamu, dia benci Om Igi. Dia benci karena perasaannya
hancur, Mar.” Pram tahu penjelasannya tidak berarti apa-apa untuk Margaret.
“...”
“Lusa. Oke. Deal.” Pram mengalah.
Sambungan telepon diputus sepihak. Pram
ternganga, geleng-geleng kepala, mendengar nada panjang di kupingnya. Tidak bisa kah bersopan-santun
mengucapkan ‘sampai jumpa?’.
“Bang Pram!” Karel muncul di ruang kerja Pram, menampakkan
wajah berseri-seri seakan-akan dia baru saja menemukan harta karun yang
dijaga ketat oleh Ksatria Templar, atau harta karun negeri yang paling
dicari-cari: Atlantis.
“Karel. Ada apa?” tanya Pram. Jemarinya lentur bergerak di
atas keyboard,
mengetik kada kunci: legenda bidadari di Danau Kelimutu –Sarasta.
“Saya sudah tahu bagaimana caranya kita mengartikan mimpi
Abang,” Karel menarik kursi, menghempaskan pantat di situ, menebar aroma
tembakau.
“Oh ya?” tangan Pram yang hendak meraih mouse, berhenti. “Bagaimana?”
“INTERNET!”
Pram menggeram kesal. Kadang-kadang sopir keluarganya
ini telat loading.
“Saya sudah tahu, Karel.”
“Tafsir mimpinya?”
Pram menggeleng. S5-nya berdering,
notifikasi BBM.
Saya punya info, Bang! Tadi
Avila nelpon ...
Pram tercekat membaca deretan pesan BBM dari salah
seorang mata-matanya, Subhan. Benarkah kebetulan itu hanya kepercayaan
bodoh manusia? Buru-buru dia me-redial
nomor telepon genggam Margaret, berharap dijauhkan dari voice message a la Margaret.
“Bang,” Karel merasa terabaikan.
“Pssst. Sabar, Karel.” Pram menyilang
telunjuk di bibir. “Mar ...”
“Lusa. Deal!” teriak Margaret dari seberang. Dia berang. “DEAL!”
“Bukan itu.”
“...”
“Kawah itu ...”
“Kawah apa!?”
“Kamu pernah ke Pulau Flores? Kamu
pernah tahu Danau Kelimutu?” tanya Pram. Dia yakin Margaret pernah ke Pulau
Flores. Pertanyaannya hanyalah basa-basi.
“Flores itu luas. Danau Kelimutu, di
Ende.”
“Trims, Mar. Lusa aku tunggu di kantor.”
Pram menatap Karel. Yang ditatap balas
menatap dengan keluguan maksimal. “Bemana—gimana, Abang?”
“Kamu tahu Danau Kelimutu?”
“Tahu, Bang. Di Ende. Sama ngetopnya
dengan Pulau Komodo. Tapi ... jauh dari Pulau Lembata. Kenapa dengan Danau
Kelimutu?”
“Kamu ingat mimpiku?”
Sesaat Karel terdiam. Coba mengingat.
“Ah! Kawah warna hijau dan warna merah! Tapi kan Danau Kelimutu itu punya tiga
kawah, Bang. Sedangkan di mimpi Abang hanya dua.”
“...”
“Atau ...”
“Atau apa?”
“Semacam televisi nih, Bang. Kawah
ketiga letaknya berjauhan dengan dua kawah yang berdampingan, jadi ... pasti
tidak cukup masuk ke layar mimpi, Abang.”
Pram terbahak mendengar teori Karel.
“Bang, boleh saya ijin empat jam?” pinta
Karel. “Hari ini Abang tidak ke mana-mana kan?”
“Mau ke mana?”
“Ambil titipan kopi, jagung titi, dan
kue rambut di Ambros ...” Karel memainkan alisnya.
“Kalau ada kopi dan jagung titi ... lima
jam boleh lah. Jangan lebih dari lima jam,” ingat Pram.
“Siap, Komandan!”
Pram disusupi semangat bak nyala api
untuk meluruskan banyak hal. Dia merasa berkewajiban untuk melakukannya. Benang
merah antara mimpi (yang dia percayai bukan sekadar mimpi biasa) yang berujung
pada Danau Kelimutu dengan fakta informasi yang disampaikan oleh Subhan, mulai berkait.
Dia hanya meragukan satu perkara: kebenaran (jika memang benar) koneksi antara
perempuan di dalam mimpinya, Sarasta, dengan pencariannya. Apa hubungannya
perempuan di dalam mimpinya dengan laki-laki itu.
Mimpi
yang sama ... dua kali ... mustahil hanya kebetulan.
Namun ... delapanbelas jam kemudian,
semangatnya luntur. Margaret membatalkan rencana.
“Sorry.
Tawarannya begitu mendadak. Sorry,”
suara Margaret penuh penyesalan. “Kamu bisa pergi ke sana bareng Karel, nggak
usah nungguin aku pulang.”
“Nggak bisa. Aku udah terbiasa nungguin
kamu, Mar. Kita tetap ke sana ... sama-sama.”
“Tapi sebulan itu lama.”
“Nggak masalah.”
“Terserah kamu. Aku nggak mau disalahkan
kalau urusan kamu di sana berantakan ...”
“Nggak akan berantakan. Asal ... sama
kamu.”
“Okay.
Deal.”
Harus
menunggu ...
Pram membuka website Tabloit online
Perempuan Hebat Kita yang diasuhnya. Perempuan yang mengisi profil Perempuan
Hebat Kita edisi Februari 2015 adalah Valencia Mieke Randa, atau Silly,
penggagas Blood For Life. Sebuah gerakan yang luar biasa. Karena, hanya melalui
jejaring sosial mereka mampu menggerakkan nurani penduduk Indonesia (dari
masing-masing wilayah) mendonorkan darah untuk orang lain yang membutuhkan,
yang sama sekali tidak dikenal oleh para pendonor tersebut. Kisah-kisah dari
para pendonor dari Blood For Life sangat menyentuh.
Seandainya Perempuan Hebat Kita benar
diangkat menjadi salah satu program yang akan tayang di MahamediaTV, maka karir
Pram semakin cemerlang.
Namun apa lah artinya karir cemerlang jika tidak ada cinta
seorang perempuan bersamanya?
***
Bersambung