Triplet
adalah tulisan lawas saya yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku
karena ceritanya lumayan absurd. Saya memutuskan untuk menerbitkannya di
blog, part demi part. Karena keabsurdannya, komentar kalian tidak akan
saya tanggapi kecuali buat lucu-lucuan. Ini bukan pembelaan diri, ini
bela diri dengan jurus menghindar. Selamat membaca Triplet.
***
PART 8
***
PART 8
~ Labuan Bajo ~
5 Januari 2015
“The use of traveling
is to regulate imagination with reality, and instead of thinking of how things
may be, see them as they are.” – Samuel Johnson.
Langit pada malam hari, jika sedang tidak mendung,
menampilkan tontonan yang sama: gelap berbintik-bintik cahaya. Sejak kecil Diba
telah mencintai langit malam beserta keramahan bintang-bintang. Seseorang
pernah bercerita, dan dia pernah percaya, tentang keajaiban bintang yang akan
menyanggupi semua permohonan tulus manusia. Kepercayaan masa kecil yang naif.
The milky way upon the heavens is twinkling just for you.
And Mr. Moon, he came by to say goodnight to you ...
Diba ingat,
beberapa kali dia tersedu-sedan di bahu Atha, meratapi permainan nasib yang
sama. Dulu, dari orang yang menjanjikannya tentang keajaiban bintang-bintang.
Langit Pulau Kanawa
malam ini menampilkan gelap yang samar. Terlalu banyak bintang kah? Atau
kualitas pendar bintang yang meningkat? Diba terkekeh sendiri mengingat kata
‘kualitas’. Azul, salah seorang packer boy
di Shadiba’s Corner selalu menyelip kata itu hampir pada semua kalimat yang
meluncur dari mulutnya yang bau tembakau. Yang pasti malam ini Diba sangat
menikmati malam pertama di Pulau Kanawa setelah malam sebelumnya
bersesak-sesakkan tidur di kamar kos Imel
yang sempit di Labuan Bajo, dan dia sempat kuatir salah satu dari mereka
akan terjungkal dari lantai dua. Pulau Kanawa dan Pulau Rinca adalah dua
destinasi melancongnya kali ini. Dia tidak sendiri. Dia bersama 5ekakikereta (5
orang yang suka melancong alias kaki-kereta), istilah untuk kelompok kecil
pelancong ini.
Bersama keempat
sahabatnya, setelah lelah bercerita ngalor-ngidul dan tertawa-tawa mengingat
wajah ketakutan tiga turis tadi siang saat shuttle
boat milik Kanawa Island and Resort mengarungi lautan berombak, dan
ditingkahi hujan, dalam perjalan dari Labuhan Bajo menuju Pulau Kanawa, Diba
tiduran di ujung luar jetty, berjejer
ibarat ikan asin dijemur. Suara Fast Ball dalam alunan Out of My Head terdengar
dari Samsung Galaxy Note-4 milik Etchon. Sempurna. Malam, bintang, Pulau Kanawa
yang sepi, dan Out of My Head, seperti keindahan surga yang dijanjikan oleh
semua kitab suci.
Dari sebelah kanan
Etchon, paling luar dari jejeran ‘ikan asin’ ini, dengkuran Sony menderu-deru.
Dengkuran khas yang berirama dan bervolume toa.
“Zzzz ...”
“Pizza-nya enak,” suara Ilham terdengar.
“Saya suka menu breakfast-nya. Besok saya mau tanya sama
Chef Heru resep roti gandumnya,”
sambar Etchon. Laki-laki penggemar olah gara bulu tangkis ini terkenal jago
masak seperti Poppy. Oleh 5ekakikereta dia dijuluki Power Bank Man karena ke mana-mana
selalu membawa empat power bank yang fully charged.
“Zzzz ...”
“Kapan-kapan kita
coba, yuk, bikin roti gandum,” ajak Poppy “di tempatnya Diba.”
“Boleh!” sahut
Diba. Dia bangkit dan duduk. Tatapannya beralih dari langit lantas menumbuk
pemandangan di pulau. Satu-satunya restoran di Pulau Kanawa dan satu bar di halaman depan restoran nampak
terang oleh lampu-lampu yang bernyawa atas bantuan genset, dan akan padam berjamaah pada pukul 23.00 nanti. Bagi
sebagian pengunjung pasokan listrik yang disediakan oleh Kanawa Island and
Resort sejak pukul 18.00 hingga 23.00 adalah petaka. Namun bagi pengunjung
lainnya keterbatasan listrik adalah anugerah. Bukankah tujuan utama liburan di
pulau terpencil adalah untuk menikmati ketenangan surgawi? Dan, tentu,
ketenangan surgawi harus dipisahkan dari kebiasaan duniawi.
Tadi siang saat
mereka check in di restoran, restoran
adalah markas semua urusan tetek-bengek di tempat ini, Diba mendengar
perdebatan antara Anggi, manager
Kanawa Island and Resort, dengan dua tamu—sepasang suami-istri. Anggi adalah
tipe manager yang mempertahankan
pelayanan prima a la Kanawa Island
and Resort tanpa menyakiti perasaan tamu namun nampaknya kali ini kesabarannya mengendur
karena tipe dua tamunya itu adalah si tukang ngotot.
“Bungalow nomor berapa yang
menyediakan hot water, Mbak?”
“Maaf, Bapak, Ibu ... tadi kan saya sudah bilang ... no hot water. Informasi itu sudah tertera juga di website kami!”
“Tapi kami ini ...”
“Saya tidak peduli siapa Bapak dan Ibu. Yang saya tahu, Bapak dan Ibu
datang ke tempat ini tanpa mem-booking
terlebih dahulu. Itu saja sudah melanggar peraturan kami.”
Diba terkesima
melihat Anggi, perempuan asal Bali, yang dipercaya menjadi manager tempat ini.
“Hei, Imel SMS!”
celetuk Ilham. Imel adalah sahabat mereka yang bekerja pada lembaga keuangan
simpan-pinjam, lantas dimutasi ke Labuan Bajo.
“Apa katanya?”
tanya Poppy.
“Dia kangen kita.
Cieee ...” Ilham terkikik. “Baru juga berapa jam berpisah, sudah kangen.”
“Zzzz ...”
“Dia juga SMS
saya,” lapor Diba.
“Kasihan juga kamar
kos yang sempit itu harus menampung kita berlima. Tapi tidur berdesakkan itu
asyik juga,” ujar Poppy. Perempuan yang kemahiran memasaknya terkenal seantero
Kota Ende ini menunjuk-nunjuk langit, seakan sedang menyentuh bintang.
“Sebenarnya bisa
saja kita menginap di rumah Bang Elf tapi mengingat si trouble maker memutuskan untuk ...” Etchon sengaja tidak
menyelesaikan kalimatnya.
“Zzzz ... hayam
goyeng ...”
“Kampret!” Diba
lantas terkekeh pelan. “Ah, sudahlah ...” dia mengibas tangan. “Jalan hidup
manusia siapa bisa duga?”
“Surat cerainya
sudah keluar?” tanya Poppy.
“Belum,” jawab
Diba.
Semerta-merta Sony
bangkit. Empat sahabatnya terkejut. Mereka kuatir Sony tercebur ke laut. Bisa
berabe karena dari mereka berlima hanya Ilham yang pandai berenang sementara
bobot Sony lima kali lebih mekar dari Ilham. “Surat cerai belum keluar ... dia
sudah jalan-jalan sama laki-laki itu,” katanya sambil mengucak mata. Sony
memperbaiki posisi duduknya. “Maaf, Diba, dia memang saudari kau tapi
kelakuannya bikin muak. Demi kesenangan, dia korbankan begitu banyak orang.”
Etchon
terbahak-bahak mendengarnya. “Kau ini, Son, sebenarnya tidur atau ngigau? Tidur
kok ... sadar topik,” sinisnya.
“Biarin!” hardik
Sony.
“Ish!” Etchon
gemas.
“Tidak perlu minta
maaf, Son. Siapa pun di dunia ini tidak bisa selamanya menutup-nutupi fakta.
Apa pun yang berbau busuk tidak selamanya mampu disembunyikan,” balas Diba.
“Giliran Baba dan Ine yang pusing kepala menghadapi keluarga Pua Saleh,
keluarga Bata, dan keluarga-keluarga lain. Satu minggu pertama Mira pulang ke
Ende, Baba dan Ine harus ekstra sabar menjawab pertanyaan dari mereka semua.”
“Kau sudah pernah
bicara dengan Er dan En?” tanya Poppy.
“Saya yang selalu
menghindari mereka.” Diba terkekeh membayangkan betapa gigihnya usaha Er dan En
mengajaknya bicara, pasti, perihal pernikahan Elf dan Mira yang tidak saja
berantakan tapi kini perlahan menjadi debu. Dia juga kuatir kebiasaannya
terkekeh tanpa sebab akan membuat kakak-beradik itu murka.
“Dia tidak pernah
berubah.” Etchon membakar sebatang rokok. “Manusia itu biasanya punya batas,
punya titik maksimal, punya titik jenuh. Tapi macamnya Mira kebal pada batas
...”
“Sudah sangat jauh
dari kata terlambat ... untuk berubah,” lagi, Sony menyambar. “Usia saya, dia,
Diba, sepantaran. Tigapuluh lima! Sebentar lagi tigapuluh enam! Coba pikir ... tigapuluh
lima tahun dia hidup, kerjanya cuma bikin pusing.” Sony memutar-mutar
telunjuknya di kepala. “Lama-lama kita bisa gila kalau terus-terusan gosipin
Mira.”
Diba terkekeh lagi.
“Kita tidak bergosip. Kita bicara fakta.”
Sony menatap Diba
tajam. “Seandainya rumah tangga Bang Elf dan Mira baik-baik saja ... apa kau
mau kita berlima menginap di rumah mereka?”
Diba tidak
menjawab. Dia tidak ingin. Bisu menyelimuti mereka. Tatapan Diba beralih pada
perahu-perahu motor yang ngetem di perairan Pulau Kanawa yang tenang. Apakah
mereka akan menginap di rumah Elf dan Mira? Tentu tidak. Diba tidak ingin
teman-temannya kecewa karena sikap Mira.
Ilham bangkit.
“Ngobrolnya lanjut di tenda, yuk. Sambil tunggu ngantuk. Besok tidak boleh
terlambat bangun. Boat-nya berangkat
jam delapan ... tepat.” Dia sengaja menekan kata ‘tepat’ mengingat tiga
sahabatnya: Diba, Etchon, dan Sony, paling susah diajak bangun pagi padahal
ayam sudah lelah mematuk biji jagung.
Mereka bangkit,
santai berjalan kembali ke arah Pulau Kanawa. Besok pagi boat yang dikapteni oleh Om Agus akan membawa mereka ke Pulau
Rinca. Setidaknya malam ini mereka butuh tidur mengumpulkan tenaga untuk trekking di Pulau Rinca. Dalam
perjalanan kembali ke tenda Diba bercerita tentang seminar terakhir di
Universitas Flores yang membahas tentang pemanfaatan internet. Mereka juga membahas rencana ulangtahun Flobamora
Community yang akan dirayakan sederhana dengan kumpul-kumpul di Bete Minicafe.
Awal tahun 2015
dibuka oleh 5ekakikereta dengan melancong ke Pulau Kanawa dan Pulau Rinca. Belum
dapat diprediksi selama 360 hari ke depan ke mana lagi kaki mereka akan
melangkah terlebih lagi salah seorang dari mereka, Diba, rajin memperjuangkan
tiket gratis dalam lomba menulis dan memotret, dan rajin kedatangan tamu—teman-teman
pelancong dari luar pulau yang minta ditemani pergi ke tempat-tempat wisata di
Pulau Flores.
xxx
Menurut Silmarillion, salah satu hasil kejeniusan J. R. R. Tolkien, Elf
merupakan anak pertama Arda (dunia), yang telah ada selama jangka waktu yang
sangat lama sebelum manusia atau anak kedua diciptakan. Elf yang pertama
dibangunkan oleh Eru Iluvator dekat Pantai Cuivienen pada Zaman Dua Pohon di
Zaman Pertama. Mereka bangun di bawah sinar bintang, karena matahari dan bulan
belum diciptakan, oleh karena itu Elf erat hubungannya dengan bintang dan sinar
bintang. [Wikipedia]
Dari balkoni rumah panggung di daerah pasar Labuan Bajo,
sejauh mata memandang hanyalah laut, cahaya lampu dari perahu-perahu motor,
laut, laut, dan laut. Dulunya Labuan Bajo beraroma Manggarai dan Sulawesi (kaum
pendatang). Kini kota ini pun beraroma asing, dengan deretan pub dan cafe yang menguasai daerah-daerah strategis (dan sayangnya investor tempat-tempat itu bukan Orang
Indonesia apalagi Orang Flores), juga hilir mudik manusia berbagai bangsa berpakaian
kurang bahan.
Tujuhbelas tahun
lamanya rumah kayu bertingkat dua ini menjadi tempat dia memenuhi takdir dan
menjalankan tanggung jawab. Tindakan heroiknya telah menyelamatkan yang satu
untuk menghancurkan yang lain—termasuk dirinya sendiri.
Rutinitas hidup
berumah tangga yang pada awal mula membosankan terselamatkan berkat deretan
buku-buku di perpustakaan mini—ruangan yang sebelumnya disebut gudang. Dia
memperoleh pasokan buku dari teman-teman semasa kuliah, kolega, hingga
pelanggan bengkel. Kadang-kadang dia menerima hadiah buku dari Mr. Charles,
pemilik Labuan Bajo Cafe yang berasal dari Jerman tapi mengaku berdarah
Amerika. Sophia, adik Mr. Charles, yang awalnya membatu si kakak, kini memiliki
tempat nongkrong sendiri: Sophia Bakery, terletak di depan pelabuhan.
Abang kangen Adek.
Kesendiriannya
terusik.
“Bang!” Cipot, montir
kepercayaannya di bengkel, datang mendekat. Tangannya menenteng dua botol beer. “Sisa pesta tahun baru, Bang,”
lapornya.
“Mobil Pak Alfa
sudah selesai?” tanya Elf. Dia menyeruput kopi dari cangkir.
“Beres, Bang. Buku
laporan dan pemasukan hari ini juga sudah saya simpan di meja ruang teve.
Pintu-pintu sudah saya kunci.” Cipot membuka tutup botol dengan
giginya—perkasa. “Tidak apa ya, Bang, saya minum di sini. Pemandangannya lebih
bagus dari sini dari pada dari dermaga.” Dia tahu tanpa meminta ijin pun dia
diperbolehkan untuk bergabung bersama majikannya. Sekadar basa-basi.
“Hmmm.”
“Oya, Bang, Hayati
mau pinjam buku.”
“Cari sendiri ...”
“Iya sudah saya
bilang dia cari sendiri, halaman buku tidak boleh dilipat, dan harus
memperlakukan buku dengan hormat.” Cipot menegak beer-nya lantas membakar sebatang rokok. “Ada kabar dari ... Kak
Mira, Bang?” sesaat dia ragu untuk bertanya
Elf tersenyum.
“Kabar apa lagi yang kau harapkan?”
Cipot diam.
Kegiatannya selama menit-menit berikutnya hanya menghisap rokok dan menegak beer. Kabar apa lagi yang dia harapkan
dari istri bos-nya itu? Dunia menyimpan cerita-cerita aneh-tapi-nyata bukan?
“Kau tidak ke
Paradise?” tanya Elf. Dia menggoda. Dia tahu malam minggu kemarin Cipot diseret
Hayati dari Paradise Cafe.
Cipot menggeleng.
“Sudah bertobat, Bang.”
“Saya tidak tahu
apa kau benar cinta sama Hayati ... atau tidak. Tapi kalau Hayati benar cinta
kau, jangan kau sia-siakan. Jangan terlalu lama menunggu. Penghasilan kau kan
lumayan, Cip. Jangan habiskan sekejap kedipan mata. Menabung itu tidak hanya
perlu, tapi juga penting, untuk hari depan. Lamar dia, nikahi dia, jadi suami
dan bapak yang baik. Saya tidak mau dengar kau menyesal gara-gara Hayati sudah
duluan dilamar laki-laki lain.”
“Amir masih kuliah
di Universitas Flores, Bang. Bisa jadi guru kalau dia selesaikan kuliah di PGSD
(Pendidikan Guru Sekolah Dasar). Acing masih SMA. Anisa sebentar lagi lulus
SMP. Saya harus bantu biaya pendidikan mereka.” Cipot menatap jauh ke dermaga.
“Akhir-akhir ini penghasilan Ayah-Ibu berkurang. Semakin banyak toko sembako
dibuka. Padahal dulu, toko sembako Ayah-Ibu adalah satu-satunya toko sembako di
Binongko.” (Binongko, sebuah nama tempat di Labuan Bajo yang dinamai oleh
pendatang dari Sulawesi).
“Saya juga anak
pertama.” Elf mendesah.
Bukan suatu
kesengajaan jika Elfanda Moor, Elf, adalah anak pertama dari keluarga Moor yang
menetap di Kompleks Perumahan Enarotali, Jalan Irianjaya, Ende. Dia bertubuh
tegap dengan darah Sunda mendominasi darah Ende. Elf mencintai bintang hingga
tidak sadar bahwa kecintaannya pada bintang telah membuatnya jatuh cinta pula
pada seorang perempuan yang sering diajaknya menonton bintang. Perempuan yang
dulu dia juluki: Pelancong Cilik.
“Gara-gara Abang, sekarang Adek jadi suka sama Hello Kitty!”
Ingin sekali Elf
mendengar, “coba tebak, sekarang Adek lagi di mana? Di Aceh!” namun dia tahu
itu cuma mimpi. Sepertinya kemarahan perempuan itu berakar dan tertanam kuat di
perut bumi. Dia membayangkan perempuan itu, perempuan yang telah disakitinya sekejap mata.
Cipot mematikan
sisa api rokok pada tutupan botol. Dia bangkit, menghilang ke dalam rumah,
lantas kembali lagi membawa asbak. Dibakarnya lagi sebatang rokok.
“Kapan Abang ke
Ende ... lagi?” tanya Cipot. Menurut desas-desus yang dia dengar, jika surat
cerai diterbitkan maka Elf pun akan pulang ke Ende. Kalau Elf pulang ke Ende
maka sudah pasti bengkel ditutup, nasibnya sungguh tragis.
“Bulan depan ...
mungkin.” Memori Elf menampilkan Fundamentum
Petendi yang salinannya dikirimkan Mira. Membaca Fundamentum Petendi, dia menanggapinya dengan tertawa. Bahwa dia
dikatakan tidak mencintai isterinya, sering menganiaya, sering
mabuk-mabukkan—padahal minumannya sehari-hari hanyalah kopi, sering berbohong
tentang penghasilan bengkel, dan seterusnya, dan seterusnya.
- Bahwa pada tanggal 23 Juni 1998 telah dilangsungkan perkawinan antara penggugat dan tergugat.
- Bahwa selama perkawinan penggugat dan tergugat sering terjadi perselisihan sebagai berikut ...
- Bahwa tergugat telah berbuat tidak sopan dengan membawa perempuan lain ke dalam rumah tangga, menggaulinya, bahkan menafkahi perempuan lain tersebut.
“Maaf, Abang. Ada
hal yang tidak saya pahami,” celetuk Cipot. Dia turut datang ke Ende saat
persidangan pertama perceraian majikannya ini. “Kenapa Abang diam saja padahal
jelas-jelas Abang difitnah? Seharusnya Abang membela diri, seharusnya Abang ...”
“Biarkan orang lain
bahagia dengan pendapat dan pilihan mereka, Cip.”
“Waktu Abang
menikah dulu ... Abang bahagia dengan pilihan Abang?”
Elf tidak menjawab
pertanyaan Cipot. Dia malah berkata, “cerai itu bikin capek, Cip. Apalagi kalau
perceraiannya diurus di kota tempat pasangan itu menikah. Bolak-balik ... tidak
jelas.”
“Tapi nanti ...
entah kapan ... itu sidang yang terakhir kan, Bang?”
“Insya Allah.”
“Jadi ... nanti ...
kita tidak dengar lagi jeritan-jeritan Kak Mira, omelannya, nasi basinya, juga
...” pancing Cipot, berharap Elf akan mengiyakan—pertanda majikannya ini tidak
akan pulang ke Ende dan bengkel sekaligus toko milik Elf, Bengkel Bintang
Motor, tetap berjalan.
“He he he ...” Elf
terkekeh.
Abang kangen Adek ... meski mungkin sudah sangat
terlambat, Abang ingin Adek tahu ...
***
Bersambung