Triplet adalah tulisan lawas saya yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku karena ceritanya lumayan absurd. Saya memutuskan untuk menerbitkannya di blog, part demi part. Karena keabsurdannya, komentar kalian tidak akan saya tanggapi kecuali buat lucu-lucuan. Ini bukan pembelaan diri, ini bela diri dengan jurus menghindar. Selamat membaca Triplet.
***
PART 7
***
PART 7
Sembunyi-sembunyi
mereka saling memandang. Dia ingin mencium laki-laki di hadapannya ini, yang
tersenyum malu-malu seumpama kucing. Hasratnya berdiri di ujung tanduk,
menghentak-hentak gelisah. Tapi suasana di tempat ini terlalu ramai ... dia
juga kuatir sekelompok bencong di saung sebelah curiga lantas membentuk gosip
baru yang pasti akan santer dan empuk dibicarakan. Dia belum ingin reputasi dan
karir yang dibangunnya dengan susah payah hancur hanya karena nafsu.
Gemericik aliran sungai menemani
lamunannya tentang malam-malam panas yang telah dia lalui bersama laki-laki di
hadapannya ini. Mereka mereguk manisnya madu cinta ... dan bahagia. Selama
rahasia ini bisa dijaga, tidak ada yang perlu dikuatirkan. Dia sendiri telah menyiapkan
rencana dan tameng yang dibutuhkan untuk menepis gosip—jika kemudian berhembus.
Permainannya memang berbahaya namun menyenangkan.
Sebuah angkot, yang nampaknya disewa,
berhenti di tempat parkir terbuka. Segerombolan anak muda turun dari angkot,
saling tolak, saling mengejek, dan tertawa-tawa.
“Saung yang itu, Bu! Kosong!”
“Boleh. Segera ke sana. Kau ... Hani,
ikut saya. Kita pesan jagung rebusnya dulu.”
“Beres, Bu!”
Dia
tercekat. Sepertinya dia mengenali perempuan muda yang dipanggil ‘Ibu’ oleh
anak-anak muda tadi. Tapi ... di mana? Kapan?
Ketika si ‘Ibu’ menatapnya, dia
buru-buru memalingkan wajah, pura-pura menatap aliran air sungai. Untuk suatu
alasan yang tidak tidak tahu kenapa, dia tidak ingin si ‘Ibu’ menemukan
kepastian perihal dirinya.
“Kita pulang yuk ... di sini semakin
ramai.”
Dia menoleh ... “Ayuk.” Aku harus menghindar.
“Bu? Kita
pesan berapa ini jagungnya?”
Ovi Bhara, guru muda yang mengajar
Matematika di SMA Negeri 1 Ende, terperangah. “Hah? Apa?”
“Jagungnya ... berapa?”
“Tigapuluh dulu. Sama ikan asin dan sambal
jeruk. Eh, itu tigapuluh sudah hitung sama om sopir?”
“Sudah, Ibu.”
Ovi yakin mengenal laki-laki itu. Pernah
melihat di suatu tempat. Tapi ... di mana? Kapan? Perlahan dia menggali
memorinya sembari pergi ke saung untuk berkumpul dengan murid-murid kelas 10.1
yang diasuhnya. Ah, dia ingat sekarang.
“Haaaiii ... godain kita doooonk ...”
“Dasar anak kecil! Mulut racun!” jerit
salah seorang bencong bertubuh raksasa. “Kencing saja belum lurus berani godain
bencong!”
“Heh ... jangan ganggu mereka,” tegur Ovi
ketika dua murid laki-laki menggoda sekelompok bencong di saung seberang.
“Suasananya asyik, ya,” katanya.
“Asyik, Bu. Apalagi Hani dan Rayes ...”
Ovi tersenyum. “Karena mereka pacaran?”
“Betuuul!”
Ovi menggeleng kepala. “Kalian ini ... sekarang
kita bicara dulu rencana panca windu sekaligus reuni nanti,” cetusnya. “Kalian
ada ide kelas kita akan tampilkan apa nanti?”
“Panca windu kan masih lama, Bu,” protes
Rayes.
“Tidak ada salahnya kita diskusikan dari
sekarang.”
“Bagaimana kalau kelas kita tampilkan
tarian, Bu? Kakak sepupu saya bisa dimintai bantuan untuk jadi koreografernya.”
“Boleh juga. Kakak sepupu kau si Rikyn
Radja itu kan? Tapi ... kita harus bisa tampilkan yang beda. Jangan hanya
tarian, puisi, band ... yang agak berbeda.”
“Bagaimana kalau kita adakan seminar?
Usulkan ke panitia inti. Semacam ...”
“Bagaimana kalau seminarnya dimajukan?”
Ovi mengangkat tangan. “Seminar. Boleh!
Dimajukan? Maksudnya?”
“Kan ada Hardiknas, Harkitnas ... ada
tujuhbelasan.”
Ovi mengangguk-angguk. Banyak yang dia
pikirkan. Dia bisa meminta bantuan dancer
ternama Kota Ende, Rikyn Radja, untuk melatih murid-murid asuhannya menari.
Tentunya tarian tradisional dengan sedikit sentuhan moderen. Perihal seminar
dia juga bisa meminta bantuan kakak sepupunya, Diba, untuk mengisi materi.
Obrolan antara wali kelas dan
murid-murid ini mulai beralih topik pada pelajaran dan tugas-tugas kelompok
oleh guru mata pelajaran lainnya. Inilah yang membedakan Ovi dengan guru-guru
lain. Dia selalu berusaha mengisi salah satu hari libur dengan pergi
jalan-jalan bersama murid-murid.
***
Bersambung