Triplet adalah tulisan lawas saya yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku karena ceritanya lumayan absurd. Saya memutuskan untuk menerbitkannya di blog, part demi part. Karena keabsurdannya, komentar kalian tidak akan saya tanggapi kecuali buat lucu-lucuan. Ini bukan pembelaan diri, ini bela diri dengan jurus menghindar. Selamat membaca Triplet.
***
PART 10
***
PART 10
~ Ende ~
14 Februari 2015
“Love cannot be found where it doesn’t exist, nor can it be hidden where
it truly does.” Kissing a Fool (a
movie)
Pada tahun 496, Paus Gelasius I menyatakan bahwa
sebenarnya tidak ada yang diketahui perihal nama Valentinus yang konon merujuk
pada tiga martir yang berbeda namun 14 Februari ditetapkan sebagai hari raya
peringatan Santo Valentinus yang kemudian dikenal dengan Valentine’s Day atau
Hari Valentine atau Hari Kasih Sayang. Sebagian penduduk bumi tidak peduli perihal
Valentine’s Day yang dirayakan setiap tanggal 14 Februari itu merupakan
kesengajaan Paus Gelasius I untuk mengungguli hari raya Lupercalia yang
diselenggarakan pada tanggal 15 Februari oleh masyarakat Roma (kuno).
Lupercalia, sebuah perayaan Lupercus (dewa kesuburan) yang dilambangkan dengan
laki-laki setengah telanjang dan berpakaian kulit kambing. Pada jaman tersebut
para pemuka agama pagan akan melakukan ritual penyembahan kepada Dewa Lupercus
dengan mengorbankan kambing. Setelah melakukan ritual mereka akan merayakannya
dengan meminum anggur, lalu berlari-lari di jalanan Kota Roma sambil membawa
potongan-potongan kulit kambing, dan akan menyentuh siapa pun yang dijumpai
dengan kulit kambing tersebut. Pada jaman kekinian sebagian penduduk bumi yang
merayakan valentine hanya tahu bahwa tanggal
14 Februari adalah hari raya internasional dimana kebaikan mengungguli
kejahatan.
Bagi Diba,
Valentine’s Day adalah salah satu hari dalam setahun yang ditetapkan untuk
memanen Rupiah. Dia tidak melebur diri bersama keributan pro-kontra perihal perayaan valentine
karena pada tanggal 14 Februari kafe Shadiba’s Corner disesaki pengunjung. Yang
tidak kebagian tempat di kafe memilih mojok di Pojok Buku. Sebagian lagi
terpaksa diajak Azul ke beranda belakang tempat kursi-kursi malas diletakkan.
Jika masih ada pengunjung yang tidak kebagian tempat juga? Karpet-karpet akan
digelar di halaman depan dengan kompensasi kebisingan Jalan Kelimutu.
5sekakikereta
berkumpul di ruang kerja Diba, ditambah Atha, Ucup, Magda, Er, dan En. Kali ini
Diba tidak bisa mengelak lagi karena setiap tahun mereka belum pernah
melewatkan agenda kumpul-kumpul-cantik valentine.
Pertemuannya dengan Er dan En malam ini adalah pertemuan pertama sejak Mira memutuskan
untuk bercerai dengan Elf dan pulang ke Kota Ende.
“Ini namanya gyoza,” ujar Diba.
Meja kerja Diba
disulap menjadi meja saji. Sebagian menu (cemilan) kafe tersedia di atas meja. Dijamin
malam ini Among kelimpungan melayani pengunjung meskipun dibantu oleh Bibi Ani
bersama tenaga sukarela: Azul, Laila, Imar, Feme, dan Petrus.
“Orang Ende bilang
pastel,” sambar Poppy.
“Orang Sunda bilang
karipap,” sambar Er.
Pura-pura tuli,
Diba melanjutkan informasinya. “Naaah. Ini chocolate
truffle, bread pudding, banana muffins, cupcakes, roll cake tiga
rasa, dan resep baru kami yang diadaptasi dari Eat Street a la National Geographic People ... fried biscuits!” seru Diba bangga. Dia sengaja tidak menyajikan
roti bakar dan sate pisang.
“Coba ada menu roti
gandum,” celetuk Etchon.
“Roti gandum yang
di Kanawa itu, ya?” tebak Atha. “Enak ... kata Diba.”
“Emang enak,” sahut
Ilham dan Sony. “Bikin ketagihan,” lanjut Sony.
“Nah teman-teman,
silahkan menikmati. Saya mau patroli dulu,” pamit Diba. “Oh ya, minumnya boleh
pesan di Magda ...”
“Eh, itu di depan
ramai sekali!” Poppy geleng-geleng kepala. “Tempat ini harus diperluas. Atau dibangun
lantai atas!”
Diba terkekeh.
“Usul yang bagus! Saya sedang pikirkan untuk menambah kesenangan baru di tempat
ini. Dah semuanya!”
Tergesa-gesa Diba
keluar dari ruang kerja. Ketika pintu menutup dan sengatan udara dingin AC
menghilang, dia menghela nafas lega. Ya, dia harus menghindari Er dan En. Perasaannya
mengatakan kakak-beradik itu punya rencana besar. Jika mempunyai mesin waktu,
mereka pasti kembali ke masa lalu untuk mengubah sejarah keluarga Pua Saleh dan
keluarga Moor.
Dalam perjalanannya
menuju dapur, dia bertemu Ovi dan rombongan anak muda. Yang tidak kebagian bench, memilih duduk di lantai.
“Kak Diba!” sapa
Ovi.
“Waaah Ibu Guru
bersama para murid!”
Ovi tertawa. Dia
bangkit, lantas cipika-cipiki dengan kakak sepupunya ini. Dalam silsilah
keluarga, Ine dan Mama si Ovi bersaudari kandung. “Selamat Hari Valentine, Kak
Diba,” bisik Ovi.
“Selamat Hari
Valentine juga Ibu Guru hahaha. Enjoy
your night, ya. Kapan-kapan datang lah bersama si dia, jangan ditemani
murid-murid melulu,” goda Diba.
“Ada waktunya,
Kak,” balas Ovi, mengedip mata.
“Ya sudah. Saya ke
dapur dulu, ya ...”
Suasana dapur
terbuka kafe sangat sibuk. Among tak henti-hentinya memberi perintah pada Feme
dan Petrus. Azul, Laila, dan Imar hilir mudik mengantar pesanan. Bibi Ani
membantu Among menyiapkan pesanan. Diba bergabung dengan tim Among.
“Ada yang bisa saya
bantu?” tanya Diba.
“Tidak usah, Kak,”
jawab Among. Cekatan tangannya mengangkat fried
biscuit dari penggorengan.
“Kau melarikan
diri?” tuduh Bibi Ani sambil menata fried
biscuit di piring.
“Serba tidak enak.
Sebenarnya. Aduh, Bi, mana bisa saya berhadapan dengan mereka dua? Pertama,
saya malu ... gara-gara Mira. Kedua, saya tahu ... mereka pasti mau ... ADOH!
AZUL!” jerit Diba.
“Maaf, Kak,” ujar
Azul sekilas. Dia segera berlalu mengantar pesanan nasi goreng.
“Bang Petrus,
tolong bantu pecahkan es batu,” pinta Feme. “Meja duabelas ... hadeeeh ...
sudah berapa kali mereka pesan chocolate
milk shake!”
“Lai! Hei, Lai!”
panggil Bibi Ani seraya melambaikan jepitan kertas. “Kasih ke Jessica!”
“Bi tolong siapkan
pesanan dari teras belakang ini,” pinta Among, menyodor selembar kertas.
“Oke!”
“Mereka pasti punya
maksud, Bi,” lanjut Diba.
Bibi Ani
menggeleng. “Punya maksud atau tidak, jangan berburuk sangka dulu, Diba. Lagi
pula apa pun yang terjadi dalam hidup, kita harus menghadapi ... jangan pernah
lari.”
“Bi ... tolong saya
...” pinta Among.
“Sabar, Mong ...”
Diba sadar
kehadirannya di dapur sangat mengganggu. Nampaknya hanya dia satu-satunya
manusia di tempat ini yang tidak punya ‘kegiatan’. Akhirnya, meskipun tahu akan
berada dalam suasana serba-tidak-menyenangkan, dia memutuskan untuk kembali ke
ruang kerja.
“... toh sebenarnya
kami juga tidak menyalahkan siapa-siapa. Pernikahan mereka memang sudah salah
sejak awal,” suara Er terdengar sesaat setelah pintu ruang kerja membuka. Diba
ingin mengkristal saat itu juga. Dia datang saat topik yang dihindarinya sedang
dibahas. Sial. Suasana menjadi semakin serba-tidak-menyenangkan.
Atha mengangguk.
“Ya, pernikahan mereka sudah salah sejak awal.”
“Selama ini kami
...” kalimat Er terhenti ketika melihat Diba berjalan memasuki ruangan. “Selama
ini kami tahu Diba menghindari kami.”
Mata Diba
terbeliak. Saya hanya tidak nyaman berada
di zona canggung!
“Diba,” panggil En.
“Tolong jangan menghindar lagi. Selama ini kami berusaha ketemu kau hanya untuk
bilang ... jangan tersinggung kalau sikap Mami nanti berubah. Tolong maklumi.
Namanya juga Mami.”
“Eh ... iya ...
saya tidak menghindari kok,” jawab Diba. Kikuk.
“Serius kau tidak
menghindar?” tanya Etchon yang dibalas dengan pelototan galak Diba.
“Apa pun yang
terjadi nanti, apa pun keputusan dari Pengadilan Agama nanti, tolong jangan
dicampur-aduk dengan persahabatan kita. Kita semua tetap bersahabat ... baik,”
ujar Er.
“Amin ...” seru
yang lain kompak.
“Oke. Oke. Oke.
Sudah boleh makan berat?” tanya Etchon. “Saya lapar!”
“Tulis saja pesanannya.
Biar Magda yang antarkan ke dapur,” anjur Diba.
“Ikan bakar saja!”
“Saya mau nasi
goreng a la Bibi Ani!”
“Ikan bakar!”
“Bagaimana kalau
ayam skripsi ...”
“Huuu ... crispy kaliiii ...”
Kumpul-kumpul-cantik
valentine yang sudah mereka lakukan
sejak masih SMA menghadirkan banyak cerita. En, misalnya ... perempuan yang
gemar membagi-bagikan buku katalog
ini bercerita tentang bonus-bonus yang diterimanya dari menjual produk Sophie
Martin dan Paloma.
Etchon hanya
melirik malas waktu En berkata, “saya bawa kok katalog-nya! Mau lihat-lihat?”
Pukul 23.10 satu
per satu anggota kumpul-kumpul-cantik valentine
mengundurkan diri. Shadiba’s Corner pun mulai sepi. Yang tersisa hanya
sekelompok anak muda di beranda belakang yang nampaknya enggan beranjak dari
kursi malas. Mereka justru semakin bersemangat memesan menu demi menu.
Petrus dan Azul
membereskan karpet-karpet dari halaman depan. Laila dan Feme membereskan Pojok
Buku dan kafe sedangkan tenaga yang lain membersihkan perabot dan dapur.
Diba, Atha, dan
Ucup masih bertahan di ruang kerja, menonton Magda membersihkan meja kerja dari
piring-piring makan.
“Malam yang indah
untuk panen Rupiah,” celetuk Ucup.
Diba terkekeh. “Kipas-kipas
duit ...”
“Kalau semua sudah
beres, saya sekalian pamit ya,” ujar Magda.
“Oke,” sahut Diba.
“Terima kasih!”
Magda keluar dari
ruang kerja.
“Er dan En ...”
Atha mendesah. “Kasihan keluarga mereka,” katanya. “Rumah kita dengan rumah
mereka saling berhadapan. Mereka, atau salah satu dari anggota keluarga mereka,
pasti sakit hati setiap kali melihat Mas Wawan menjemput Mira ...”
“Itulah, Tha. Itu
yang bikin saya menghindari mereka. Malu, Tha. Bang Elf sudah selamatkan
keluarga kita dan apa balasan Mira sekarang ...”
“Kak Diba yakin?”
tanya Ucup.
“Maksud kau?” Diba
balas bertanya.
“Kak Diba yakin
alasan Kakak menghindari Kak Er dan Kak En karena malu atas tingkah Kak Mira?”
“Maksud kau, Yusuf
Pua Saleh!?”
“Bukan karena Kakak
kuatir mereka akan membahas Bang Elf? Menurut yang saya dengar, desas-desus,
Bang Elf masih cinta sama Kak Diba.”
“Itu bukan menurut
desas-desus, tapi kau dengar sendiri dari mereka berdua, Cup!” balas Diba.
Refleks tangannya menyentuh dada. Kapan
saya akan melepas barang ini?
Atha menghela nafas
panjang. “Kalau benar Bang Elf masih cinta sama kau, dan melamar kau ... kelak
... bagaimana, Dib?”
“Heh? Apa? Kurang
ajar! Memangnya saya tempat pembuangan sampah?” protes Diba. “Sudah dapat
kakaknya, dapat adiknya pula!”
“Hahaha ...” Atha
tertawa. “Kakak beberapa menit!”
“Bukan masalah
tempat pembuangan sampah, Kak,” balas Ucup. “Dulu ... Bang Elf cint ...”
“Kau belum lahir!” hardik
Diba. “Tahu apa kau soal masa lalu?”
Ucup mengangkat
tangan, “sabar, Kak,” katanya. “Dulu Bang Elf cinta sama Kak Diba. Hanya demi
selamatkan nama baik keluarga kita, dia bersedia jadi korban. Kalau saya lihat
... sampai sekarang pun Bang Elf masih cinta kok sama Kak Diba.”
Diba bungkam.
“The Big Spirit ...
The Big Spirit ...” Atha geleng-geleng kepala. “Tembok apa yang begitu kuatnya
sampai saya tidak bisa tembusi kalian berlima? Apakah hujan mampu menghancurkan segala kemurahan hati yang telah
terpeta di seluruh muka bumi ...” dia bertanya pada dirinya sendiri.
“Jangan baca puisi,
Tha,” ingat Diba. Atha punya kebiasaan menyambung kalimatnya dengan puisi.
“Eh ...”
“Rahasia Allah SWT,
Kak,” sambar Ucup. “Rahasia Allah SWT yang tidak bisa kita pecahkan. Sama
seperti ... kenapa kemampuan Kakak justru bertambah? Kenapa Ine melahirkan triplet? Kenapa dari ketiga triplet itu ... berbeda-beda pula
nasibnya?”
“Pintar sekali kau
bicara!” sambar Diba.
Atha terbahak.
“Yang jelas salah satu dari triplet yang
bernama Shadiba Pua Saleh ... sukses!”
“Sukses dari
Hongkong?” sungut Diba namun wajahnya bersemu juga. “Semua ini kan berkat
dukungan kalian ...”
“Kak,” panggil
Ucup.
“Apa?” sahut Atha
dan Diba.
“Kalau kemudian
setelah bercerai Bang Elf memutuskan untuk pindah ke Ende juga? Menurut Kakak?”
pertanyaan ini ditujukan untuk Diba.
“Kiamat sudah
dekat!” sahut Diba. Dia pernah dimarahi Ine gara-gara celetukan yang sama.
Menurut Ine jalan pikirannya mulai bengkok.
“Hahaha ... kalau
Bang Elf juga pulang ke Ende, biarkan saja. Toh rumah orangtuanya juga di Ende,”
Atha menengahi.
“Kira-kira
bagaimana ya rasanya menikah dengan perempuan yang tidak dicintai?” tanya Ucup.
Diba berdiri, pergi
ke meja kerjanya. “Rasanya kiamat sudah dekat ... juga.”
“Tujuhbelas tahun
itu bukan waktu yang pendek. Kata orang ... cinta tumbuh seiring kebersamaan.
Ah, tidak berlaku untuk Bang Elf dan Mira,” desah Atha.
“Bagaimana bisa
cinta tumbuh diantara mereka?” sambung Diba. “Ibarat gadget nih, menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh. Boleh
saja tiap malam mereka tidur seranjang. Tapi kalau Mira sibuk Facebook-an dan chatting sama Mas Wawan ... percuma.”
“Mas Wawan dan Mira
kan baru saja kenalannya,” bantah Atha. “Menurut pengakuan Mira, mereka kenalan
lewat Facebook pertengahan duaribu empatbelas kemarin.”
Diba mengedik bahu.
“Mungkin saja selama ini dia Googling Bapak dari anak yang dia gugurkan itu
...”
“Hush! Dia
keguguran ...”
“Iiih Kak Diba ini
...”
“Siapa yang tahu?
Kita hanya dengar kabar dari Labuan Bajo ... Mira keguguran. Apa yang sebenarnya
terjadi kan kita tidak tahu,” balas Diba.
“Jangan berburuk
sangka, Dib,” sanggah Atha. “Kebencian tidak akan membawa kedamaian.”
“Kalian pikir saya
membenci Bang Elf dan Mira?” tanya Diba. Dia lantas menjawab pertanyaannya
sendiri. “Saya tidak benci mereka.”
“...”
“...”
x
Cukup lama perasaannya hampa. Jika kemudian perasaannya
kembali bergetar itu karena hasrat yang maha dahsyat, bukan berlandaskan cinta.
Namun setidaknya dia perlu memberi sesuatu kepada orang yang telah mengisi
kehampaan hatinya, yang telah membangkitkan kembali semangat hidupnya. Bahwa
hidup yang dia jalani ini, dimana rutinitas merupakan keharusan semata, berubah
menjadi lebih bermakna.
“Mas Wawan ...”
“Kau suka?”
“Suka ... ini manis
sekali.”
“Semanis hubungan
kita kan?” dia bertanya. Klise dan norak.
“Iya ...”
***
Bersambung