Kaosnya seharga Rp 140.000 saja.
Minggu kemarin, salah seorang pilot paragliding Indonesia yang turut menjadi inisiator dari Site Paragliding Kezimara yaitu Pak Jaki Para datang ke Ende. Beliau memberikan harga diskon kepada masyarakat yang ingin mencoba terang paragliding sebelum launching Site Paragliding Kezimara. Harga diskon itu adalah Rp 500.000 saja. Wah, itu harga yang sangat murah untuk paragliding di Kota Ende. Kita tidak menyebut Jawa Barat sebagai provinsi yang sudah banyak site paraglidingnya. Tapi ini di Ende, di NTT, dan satu-satunya. Saya tidak tahu harga normal terbang paragliding jika nanti Site Paragliding Kezimara sudah di-launching. Mungkin bisa mencapai Rp 750.000 (bisa lebih, bisa kurang-dikit). Makanya minggu kemarin cukup banyak juga masyarakat Kota Ende yang ditandem sama Pak Jaki, salah satunya Kakak Pacar. Hihi. Kalau Kakak Pacar mah gratis, soalnya termasuk pengelola lokasi tersebut.
Mulai minggu kemarin, telah dijual kaos Paragliding Kezimara. Hargnya Rp 140.000 saja. Bagi yang berminat bisa hubungi WA saya di 085239014948 untuk transaksi dan pengiriman. Supaya bisa foto-foto macam kami di awal postingan *ngikik* Apalagi kalau nanti bisa terbang paragliding di Ende, Kezimara, kan klop tuh kalau sambil pakai kaosnya. Promosi itu perlu, Bung! Haha.
Selain Pak Jaki Para, tentu saya tidak boleh lupa menulis nama Om Johanes Bunyu. Beliaulah yang 'menemukan' lokasi Kezimara ini sebagai spot take-off paragliding yang mumpuni di Kota Ende. Atas dasar kecintaan beliau pada paragliding dan Kota Ende, maka dibukalah Situs Paragliding Kezimara yang terletak di Kampung Kolibari, Ende. Tanpa ketidaksengajaan beliau terbang di atas Kezimara, maka belum tentu site ini dapat dibuka. Terimakasih Om Johanes Bunyu atas semua usahanya selama ini; inisiasi dan mewujudkan mimpi. Mimpi Om untuk paragliding dan Kota Ende, dan mimpi masyarakat Kolibari untuk memajukan kampung mereka. Ini luar biasa. Harus dapat Kalpataru hahahaha. Jaman Soeharto.
Selain Pak Jaki Para, tentu saya tidak boleh lupa menulis nama Om Johanes Bunyu. Beliaulah yang 'menemukan' lokasi Kezimara ini sebagai spot take-off paragliding yang mumpuni di Kota Ende. Atas dasar kecintaan beliau pada paragliding dan Kota Ende, maka dibukalah Situs Paragliding Kezimara yang terletak di Kampung Kolibari, Ende. Tanpa ketidaksengajaan beliau terbang di atas Kezimara, maka belum tentu site ini dapat dibuka. Terimakasih Om Johanes Bunyu atas semua usahanya selama ini; inisiasi dan mewujudkan mimpi. Mimpi Om untuk paragliding dan Kota Ende, dan mimpi masyarakat Kolibari untuk memajukan kampung mereka. Ini luar biasa. Harus dapat Kalpataru hahahaha. Jaman Soeharto.
Cerita-cerita soal paragliding, dulu saya lebih sering menyebutnya paralayang (Bahasa Indonesia) bahkan lebih dulu lagi disebut dengan terjun gunung. Tahun 2010 waktu traveling keliling Jawa Barat, saya dan Acie (sahabat perjalanan dari ACI DetikDotCom Angkatan 2010). Sejarah dan perkembangan paragliding di Indonesia sangat mengharukan dan bikin saya menangis. Artikel lengkap baca di sini. Sedikit kutipan dari tulisan yang cukup panjang itu adalah sebagai berikut (kayak nulis kutipa di skripsi):
Paralayang di Indonesia memang tidak bisa lepas dari keberadaan para pendaki gunung. Di awal perkembangannya paralayang memang didominasi oleh pendaki gunung / para pecinta alam. Mereka suka naik gunung dan ingin cepat-cepat turun. Oleh karena itu kalau mau turun cepat harus terbang dan pakai parasut. Di sini lah tercetusnya paralayang di Indonesia yang awalnya dikenal dengan julukan; terjun gunung.
Pak Gendon bersahabat dengan seorang pria bernama Dudi Arief Wahyudi. Mereka memanggilnya Dudi. Saat bercerita tentang Dudi, ada airmata yang menggenang di mata mereka. Kami jadi ikut terharu.
Pak Dudi (Alm) dan pak Gendon mendirikan kelompok terjun gunung Merapi di Yogyakarta pada awal tahun 1990. Karena ini merupakan 'mainan baru' maka kelompok ini hanya beranggotakan mereka berdua saja. Mereka belajar secara otodidak! Betul-betul tak ada yang mengajari. Panduan mereka hanyalah buku, majalah dan manual parasut. Waktu itu internet juga belum ada sehingga mereka betul-betul belajar sendiri dari nol.
Tiga bulan pak Gendon dan pak Dudi belajar paralayang. Mereka berlatih sendiri mulai dari mengembangkan parasut, latihan terjun sampai cara mengendalikannya di angkasa. Tempat berlatih mereka juga tidak tetap. Kadang di bukit-bukit di Parangtritis, kadang di kampus. Parasut yang dipakai waktu itu milik seorang pria bernama Lody, sahabat pak Dudi. Tipenya Drakkar produksi Parachute de France tahun 1987 yang merupakan parasut untuk pemula. Lantas, selain pak Gendon dan Pak Dudi, seorang pria asal Kupang bernama David (kami memanggilnya opa David) juga berjuang dengan paralayang di Jawa Barat. Kadang opa David berkunjung ke Yogyakarta untuk berlatih bersama pak Gendon dan pak Dudi.
Sayangnya keasyikan mereka terhadap paralayang terbalut duka. Pak Dudi meninggal dunia dalam salah satu aksi parayalangnya. Semangat pak Gendon dan opa David bukannya hilang, malah semakin membara! Kepergian pak Dudi menjadi pecut bagi mereka berdua untuk belajar paralayang dengan sungguh-sungguh. Tahun 1993 opa David ke Inggris untuk kursus paralayang, dibiayai oleh Menpora/AURI. Sementara itu tahun 1994 pak Gendon terbang ke Perancis atas biaya sendiri untuk belajar lebih dalam tentang paralayang. Mereka mendalami paralayang ke luar negeri bukan hanya agar bisa terbang dengan baik, tetapi sekaligus untuk mengetahui bagaimana caranya meminimalis resiko atau kecelakaan dari olah raga ini.
Sumpah, waktu saya baca lagi tulisan saya itu, perasaan seperti sedang berada di Bukit Paralayang, Jalan Raya Puncak, yang merupakan areal milik PT. PN VIII. Masih terbayang dalam ingatan saya mata Opa David yang berkaca-kaca. Betapa dalamnya suara Pak Gendon bercerita tentang Pak Dudi, sahabat mereka itu. Hari itu saya ditandem oleh Pak Gendon sedangkan Acie ditandem oleh Opa David. Dikarenakan Acie duluan terbang sedangkan saya masih dipakaikan baju terbang yang bikin saya jadi mirip bebek, maka tidak ada yang memotret saya dari puncak atau lokasi take-off. Rugi kan, fotonya hanya satu waktu saya hendak mendarat dengan posisi pantat menghantam tanah *ngakak guling-guling*. Percayalah, terbang paragliding jauh lebih mendebarkan ketimbang terbang menggunakan pesawat. Dan lebih keren lagi kalau terbang dipunggungnya Superman.
Berikut foto-foto yang berhasil saya kumpulkan dari jejak digital tulisan waktu itu.
Opa David sedang memeriksa kelengkapan terbang. Orangnya berpostur pendek, tapi jangan ditanya soal paragliding, beliau jagoaaaaaan! Dan beliau berasal dari Kupang, NTT. Bangga kaaaan. Foto oleh Acie.
Ready to fly! Ini sempat difoto pula oleh Acie waktu kami masih menandatangani surat/kontrak hidup-mati. Kecelakaan bisa terjadi kapan saja saat hendak terbang (ini yang paling parah dan bisa terjadi kapan saja), terbang, dan landing (yang terakhir ini tidak seberapa parah). Ada tiga nama dan nomor telepon yang saya tulis pada surat kontrak hidup-mati tersebut. Haha!
Satu-satunya foto paralayang yang bisa saya selamatkan dari jejak digital. Sayang yaaa foto waktu masih berada di puncak oleh supir kami tersimpan di Nexian Journey (HP gratis yang dibagi panitia) yang sudah wassalam. Terimakasih Acie untuk foto yang satu ini. Foto lainnya masih saya telusuri. Doakan ketemu hahaha.
Ada hal yang harus diketahui bahwa paragliding berbeda dengan terjun payung. Keduanya punya peralatan dan teknik yang berbeda, meskipun nanti bakal sama-sama terbang.
Pada terjun payung, kalian memakai ransel khusus berisi parasut dan parasut cadangan. Untuk bisa terjun payung, harus menggunakan transportasi pesawat, yang pada ketinggian tertentu kalian akan meloncat keluar dari pesawat tersebut dan lagi pada ketinggian tertentu kalian menarik kunci ransel/handle agar parasutnya mengembang. Parasut cadangan disiapkan jika parasut utama mengalami macet gara-gara si Komo lewat di udara. Horor ya bacanya. Tapi bagi para atlit terjun payung, itu mah biasaaaaa.
Sedangkan pada paragliding, parasutnya sudah dikembangkan duluan di bumi, penerjun dipasangi baju terbang, helem, dan lain keperluan, harus siap-siap, lalu berlari mengikuti arah angin sampai ke tepi bukit/dataran tinggi untuk take-off, dan whuuuuzzzz terbang. Yang ditandem bisa duduk tuh kalau sudah terbang. Jadi ingat waktu dulu saya terbang paragliding bareng Pak Gendon, sandal gunung saya sampai putus keinjak kaki Pak Gendon, kaki saya sempat terseret karena tidak kuat lari, tapi semua terbayarkan ketika sudah disuruh duduk sama beliau. Pengalaman yang luar biasa.
Tapi, inti dari pos ini tetap satu: belilah kaos Site Paragliding Kezimara! Hahaha *promosi tetap jalan*.
Bagi teman-teman yang belum pernah terbang paragliding, saya doakan suatu saat akan mencobanya juga. Entah di lokasi mana pun kalian berada. Hidup terlalu singkat untuk dipakai bergosip *halah* hahaha.
Cheers.
Pengen ikutan... 😑 gratis kan ya sis 😂
BalasHapus