Triplet
adalah tulisan lawas saya yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku
karena ceritanya lumayan absurd. Saya memutuskan untuk menerbitkannya di
blog, part demi part. Karena keabsurdannya, komentar kalian tidak akan
saya tanggapi kecuali buat lucu-lucuan. Ini bukan pembelaan diri, ini
bela diri dengan jurus menghindar. Selamat membaca Triplet.
***
PART5
~ Ende ~
3 Januari 2015
“Kehidupan ini
seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriaannya saja, dia orang gila.
Barang siapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit.” – Pramoedya Ananta
Toer dalam bukunya: Anak Semua Bangsa.
Fireworks. Tiga
hari lalu, pukul 00.00, langit Kota Ende bagai diserang hujan meteor
warna-warni dan berbunga-bunga. Kali ini meteor-nya
tidak datang dari luar angkasa melainkan dari tanah. Lapangan Pancasila
dijejali masyarakat dari berbagai kalangan dan usia yang ingin melewati pergantian
tahun dengan menyaksikan pesta kembang api yang diselenggarakan oleh pemerintah
setempat. Bupati Ende Ir. Marselinus Y. W. Petu yang mulai menjabat sejak tahun
2014 (hingga tahun 2019) menghadiahkan warna baru pada kota bersejarah ini. Tak
hanya pesta kembang api, sejak menjabat beliau juga menggelar berbagai parade,
meneruskan Festival Kelimutu, hingga menggelar nonton bareng World Cup 2014 di
Lapangan Pancasila. Suasana menjadi lebih meriah karena kembang api juga
meluncur dari berbagai penjuru mata angin; dari rumah-rumah penduduk, dentuman
musik dari bermacam genre terdengar
di mana-mana, para pemilik kios yang secara sembunyi-sembunyi menjual moke (sopi; tuak) tertawa gembira hingga air mata berderai menyaksikan
botol demi botol berisi minuman keras lokal tersebut keluar dari gudang
berpindah ke tangan pembeli. Maklum, moke
belum boleh dijual bebas layaknya Coca Cola, dan pihak berwajib masih terus
melakukan operasi penggerebekan di kios-kios yang mejual moke. Namun saat tahun baru ... semua orang bahagia dengan caranya masing-masing.
Salah satu spot strategis untuk menonton pesta kembang api di Kota Ende adalah
Desa Kolibari, bilangan Woloare, yang terletak di puncak perbukitan Kelimara.
Dari desa mungil ini lanskap Kota Ende nampak dari-ujung-ke-ujung, dari barat
ke timur, dari Pulau Ende hingga Pulau Koa. Kota Ende berubah menjadi taman
bunga-api dimana kembang api bermekaran di udara bak bunga teratai.
Pesta tahun baru dan liburan panjang, libur
Hari Raya Natal dan tahun baru, berefek pada dua hal. Pertama, wajah separuh
mengantuk. Kedua, tubuh yang masih menginginkan senggama bersama kasur. Sepuluh
hari libur bukan waktu yang panjang untuk dapat menghamili guling namun sepuluh
hari libur juga bukan waktu yang pendek untuk recharge tenaga.
“Azul!” teriak Bibi Ani dari arah kafe.
“Tidak. Tidak. Tidak,” dia menggelengkan kepala, memberi peringatan pada packer boy yang saat ini
bertugas-sementara menggantikan tugas para pelayan galeri dan kasir. Pagi ini
Bibi Ani, usianya menjelang 50, nampak cantik dengan gamis dan hijab warna
merah maroon.
Kepala Azul yang sedang meluncur manis
ke atas meja kasir terjebak di udara. “Sekarang baru tanggal tiga, Bi. Kenapa
sih tempat ini harus buka?” omel Azul. Kelopak matanya menutup dan membuka
dengan tidak rela. “Kenapa sih yang lain, termasuk Bang Petrus, boleh masuk
tanggal delapan? Tidak adil. Sungguh tidak adil. Keputusan seperti ini sangat
tidak berkualitas,” repetnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Bibi Ani melotot geram. “Diba itu
Sarjana Hukum, Zul. Jangan kau buka topik soal ketidakadilan di depan dia. Bisa
mati kau kena ceramah,” ingat Bibi Ani. “Kenapa kau tidak sekalian protes ...
kenapa sih Kak Diba masuk kerja tanggal limabelas?” tantangnya. Dia enggan
mengingatkan Azul bahwa laki-laki labil yang gemar berganti penampilan itu
pernah berbahagia pada Hari Raya Idul Fitri dimana teman-teman lain dengan ikhlas
menggantikan tugasnya mengepak barang-barang yang harus dikirim ke berbagai
kota di Indonesia. “Lagi pula hari ini Magda masuk kerja.”
Azul cemberut namun dalam hati dia
bersyukur karena hari ini Magda sudah kembali bekerja. Dia mengucak mata,
berpikir tentang kemungkinan menggunakan korek api untuk menopang kelopak mata.
Kelopak matanya sungguh berat. Kopi yang dia minum di rumah tidak sanggup melawan
gelora kantuk. “Sekarang masih liburan, Bi. Rasa-rasanya semua orang lebih suka
tidur pulaaaas ... hoaaheeem ... maunya libur terus ...” Azul, dengan tidak
sopan, membiarkan mulutnya terbuka lebar.
“Kita, Orang Ende, mungkin punya
kebiasaan untuk tidur saat liburan tapi orang luar, bule-bule itu, lebih suka
jalan-jalan ...” ujar Bibi Ani.
Azul memonyongkan bibir. “Kalau begitu
Kak Diba bukan Orang Ende, Bi?”
“Ha?”
“Buktinya sekarang Kak Diba sedang
jalan-jalan.”
“Hah! Susah ngomong sama kau, Zul! Otak
kau tumpul separuh!” olok Bibi Ani yang dibalas Azul dengan gerakan bibir yang
semakin monyong.
~Pletok~
Demikian suara tidak keren yang dihasilkan
oleh gantungan potongan batang-batang bambu di pintu Shadiba’s Corner. Sosok
jelita, semampai, berambut cokelat, kulitnya perpaduan gradasi pucat dan
cokelat, muncul setelah pintu menutup. Mulut Azul ternganga. Wajah pengunjung
ini mengingatkannya pada seorang perempuan yang secara kurang ajar sangat dia
cintai. Arwen—dari film Lord of the
Ring. Jika Arwen mengenakan pakaian paling bersahaja seorang peri maka Arwen yang ini sengaja, dan bangga,
memamerkan kulit belang-belangnya lewat pakaian super mini: hot pants dan
tank-top.
“Hi
...”
Keterpanaan Azul akan kecantikan Arwen buyar. Wajahnya seketika menggalau.
Dia memukul kening. “Mama eee. Ja’o tazo ngestei bahasa Inggris.” (Aduh
Mama, saya tidak bisa berbahasa Inggris). Jejaka lulusan STM jurusan elektro
ini menatap Bibi Ani yang berdiri santai di depan pintu kafe. Azul berharap
keajaiban datang. “Bi,” panggil Azul. Dia memberi kode lirikan pada Arwen. “Yang ini kualitasnya
supeeeerrrrr!” serunya sambil bergaya a
la rapper.
“Dasar kau!” umpat Bibi Ani. Sudah
terbiasa dengan tabiat Azul.
“Per-mi-si ...” sapa si turis perempuan
berwajah peri dengan pipi kemerah-merahan bak tomat masak. “I’m looking for ...” dia membuka buku di
tangannya, “ikat wave ... ten-un ik-at?”
“Aha!” Azul mengacung jempol. “Here!”
Azul meninggalkan meja kasir. Langkahnya
mantap menuju gantungan tenun ikat yang dipisah berdasarkan bentuknya:
lembaran, sarung, dan selendang berbagai ukuran, juga berdasarkan usia.
“Ini sarung Mangga. This is sarung Mangga. This is Kembo. This is Kelimara. This is
Ragi Mite. This is ... Kak Magda!” Azul
menghela nafas lega.
~Pletok~
“Magda?” alis si turis terangkat. “How come you know my name? Amazing!”
“Sorry,
Magda is my name,” ralat Magda sembari mendekati Arwen.
“It’s
mine too!” mata si turis berbinar-binar.
Penyelamat telah datang. Azul
terbirit-birit ke kafe. “Saya lapar, Bi. Bisakah Bibi membuat mi goreng
berkualitas?” pinta Azul separuh merengek, separuh menitah.
“Tidak bisa.” Bibi Ani jutek.
“Bi ...” Azul memasang wajah memelas.
“Banyak tingkah saja kau ini!” hardik
Bibi Ani lantas pergi ke dapur. Mau tidak mau, karena perutnya sendiri juga
lapar, dia membuka lemari dapur, siap memasak nasi goreng dan mi goreng.
Meskipun menu-menu asing mendominasi daftar menu, pilihan Orang Ende untuk
sarapan tetaplah yang mengenyangkan.
“Kau minum berapa botol, Zul?”
sekonyong-konyong Bibi Ani bertanya.
“Maksud Bibi?” tanya Azul. Dia memanjangkan
leher, mengintip ke arah galeri.
“Moke.
MOKE!”
Azul meniup telapak tangan, mencium
aroma yang tersembur dari mulutnya. “Mulut saya tidak bau moke, Bi. Ini harum Pepsodent!”
“Waktu pesta tahun baru,” tegas Bibi Ani.
“—ooh. Cuma berapa sloki (gelas kecil) saja, Bi, tapi lumayan bikin oleeeeng.”
Cekatan Bibi Ani menyiapkan dua kompor.
Sementara mi direbus, dia siap-siap menggoreng telur. Terakhir, nanti, nasi
goreng.
“Bi ...” Azul menyusuli Bibi Ani ke
dapur terbuka. Demi menanamkan andil dalam sarapan pagi ini dia berinisiatif
menyiapkan peralatan makan.
“Apa lagi? Saya bukan super woman yang bisa masak mi dalam waktu
dua detik, Azul!” protes Bibi Ani. Tangannya lincah mengiris bawang putih,
mengeluarkan stoples berisi bumbu nasi goreng yang telah dia racik (setiap
malam tugasnya adalah meracik bumbu nasi goreng, bekal kegurihan nasi goreng
yang dicintai sejuta umat), lantas mengeluarkan telur dari dalam kulkas.
Azul mengibas tangan. “Bukan itu.” Dia
berpikir sejenak. “Kak Mira itu memang sudah kejam sejak lahir, ya?”
“Hei, hati-hati kau kalau bicara,” ingat
Bibi Ani. Kali ini terdengar suara mendesis dari penggorengan. Telur ceplok
sedang berproses menuju matang.
“Ah, biar saja. Kak Mira memang kejam.”
Azul mengambil tiga piring dan menatanya di meja dapur. “Kemarin waktu saya ke Pantai
Ria, saya lihat dia lagi berdua-dua dengan laki-lak ...”
“Jaga mulut kau, Zul!” Bibi Ani melotot.
“Benar, Bi!”
“Bukan masalah benar si Mira lagi
berdua-dua dengan laki-laki ... atau tidak. Jangan suka bergosip! Bisa pecah
bibir kau dipukul pakai penggorengan.”
Azul memonyongkan bibir. “Kak Mira
kejam. Berdasarkan cerita yang saya dengar dari orang-orang yang berkualitas,
dia tinggalkan suaminya dan menyebar cerita palsu kalau suaminya itu punya
perempuan simpanan. Padahal nih, Bi, sebenarnya dia yang selingkuh sama
laki-laki itu.” Wajah Azul menunjukkan kelegaan seumpana kentut yang
ditahan-tahan akhirnya nyelonong juga.
Bibi Ani tidak menjawab. Tidak pula membantah.
Dibiarkan saja Azul mati penasaran menanti reaksinya. Ini masalah pelik. Bukan
sekadar urusan rebutan penumpang oleh para ojek di Pasar Mbongawani, atau
rebutan panggung oleh para pelakon pencari panggung. Mengingat tabiat Mira,
Bibi Ani hanya bisa mengelus dada. Telah menua rasa ibanya pada kedua orangtua
si kembar yang dia panggil kakak sepupu itu.
“Kadang-kadang kita tidak bisa langsung
menilai orang begitu saja, Zul.” Magda bergabung dengan Bibi Ani dan Azul di
dapur. Perempuan cerdas ini mengecek nasi di panci magicom. “Bibi juga sarapan nasi goreng?”
Bibi Ani mengangguk.
“Saya tidak menilai sekilas jadi, Kak.
Saya sudah dengar kisah mereka,” bantah Azul. “Kak Mira itu ... demi dia ...
Kak Diba ...”
Bibi Ani mengangkat spatula
tinggi-tinggi. “Stooop. Jangan
pandang si Mira tapi pandanglah Diba. Dia yang sudah anggap kau semacam adiknya
sendiri. Dia yang sudah kasih kita makan ... hargailah dia karena Mira dan dia
berhimpit di rahim yang sama!”
Azul menunduk. “Maaf, Bi.”
“Itu mi goreng kau. Campur sendiri
bumbunya,” perintah Bibi Ani. “Ambil telur ceploknya satu.”
“Iya, Bi.” Azul patuh meskipun di dalam
benaknya masih tersimpan banyak pertanyaan. Diantaranya, benarkah Elf adalah
cinta pertama Diba?
Keheningan hadir diantara mereka. Yang
terdengar hanya desis bumbu nasi goreng di penggorengan. Magda siap-siap
menuang nasi.
“Si Arwen
tadi ... beli apa, Kak?” tanya Azul.
“Arwen
siapa?” kening Magda mengerut.
“Turis tadi. Wajahnya mirip Arwen yang
di film.”
“—ooh. Sarung mangga. Sarung lama yang
sudah kucel itu.”
“Harganya kan hampir sama dengan sarung Kembo yang baru.”
“Itulah bedanya kita dengan orang dari Barat
sana. Kalau kita ... semakin baru suatu barang, semakin senang. Kalau mereka
... semakin tua usia suatu barang, semakin senang. Karena, mereka bangga
membawa nilai historis dari barang itu.” Magda menjelaskan sambil mengaduk
nasi. “Semakin antik, semakin mahal.”
Bibi Ani tersenyum memerhatikan Azul.
Entah jejaka ini mengerti atau tidak. Yang jelas dia berhenti mengedar topik
perihal Mira.
“Mari kita sarapan!” ajak Magda.
Mereka bertiga membawa piring
masing-masing, pergi ke meja nomor 4, tepat di pojok timur dengan pemandangan
Jalan Kelimutu.
Bibi Ani memukul tangan Azul. “Hei!
Berdo’a dulu, Zul!”
***
Bersambung.
Maaf sis kok tilisannya kecil kecil banget yaa.. template blognya apa gk bisa di buat versi mobile sis?
BalasHapus