Triplet
adalah tulisan lawas saya yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku
karena ceritanya lumayan absurd. Saya memutuskan untuk menerbitkannya di
blog, part demi part. Karena keabsurdannya, komentar kalian tidak akan
saya tanggapi kecuali buat lucu-lucuan. Ini bukan pembelaan diri, ini
bela diri dengan jurus menghindar. Selamat membaca Triplet.
***
PART 2
Menjelang
Hari Raya Natal jalanan Kota Ende dipadati kendaraan baik roda dua maupun roda
empat. Spesifikasinya dapat dibagai sebagai berikut:
1. Transportasi pribadi berpelat hitam.
2. Transportasi dinas berpelat merah.
3. Transportasi umum berpelat kuning.
Untuk kelas nomor 3, paling banyak
ditemui di daerah Pasar Mbongawani, deretan pertokoan dekat pesisir pantai, dan
Pelabuhan Bung Karno (dulunya bernama Pelabuhan Ende), yang merupakan salah
satu pusat perekonomian masyarakat Kota Ende—Orang Ende menyebutnya daerah bawah Ende. Banyak pick-up dan bis kayu (truk kayu) dengan bak modifikasi khusus
penumpang dan bis mini, trayek antar kecamatan dalam kabupaten, ngetem di situ.
Para sopir setia menunggu penumpangnya selesai berbelanja kebutuhan hari raya
untuk kemudian kembali mengantar penumpang beserta belanjaan seabrek-abrek
kembali ke kampung halaman mereka di kecamatan-kecamatan yang jauh dari Kota
Ende, menempuh perjalanan panjang puluhan kilometer.
Bagi masyarakat yang berdomisili di Kota
Ende, berbelanja kebutuhan hari raya tidak sesulit masyarakat yang berdomisili
di kecamatan-kecamatan yang jauh tersebut. Ke pasar, dekat. Ke mini maket, dekat. Ke toko mebel pun
dekat. Contohnya Diba. Sore ini dia mengendarai Feroza dari rumah menuju Hero
Swalayan yang waktu tempuhnya hanya sepuluh menit.
“Kau lihat ekspresinya tadi pagi waktu
kita ajak pergi sore ini?” tanya Diba tanpa menoleh pada Atha karena fokus
mengemudi. “Orang itu ya ... egois bingits! Macamnya dia punya otak sudah
tumpul.”
“Sejak dulu dia memang tidak peduli sama
urusan beginian.”
“Yang dia pedulikan cuma laki-laki dan
harta!”
“Diba!” tegur Atha.
“Kenyataan!” balas Diba. Sengit.
“Kalau kau terus mengomel, saya tidak
mau temani kau belanja!” ancam Atha. “Biar saja dia begitu. Sikapnya itu tidak
bikin kau bangkrut kan?”
“Dia bakal bikin Juragan Tigabelas
bangkrut! Dasar Miss Foya-Foya! Dari jaman SMP sampai sekarang dia punya otak
kerja pakai sistem yang sama ... laki-laki, harta, laki-laki, harta. Coba
pikir, Tha, baru sebulan pulang dia sudah minta dibelikan sepeda motor sama si
Juragan. Bulan berikutnya merengek pengen pergi ke Bali karena seminggu lamanya
Mas Wawan bertugas di sana. Sampai minggu lalu dia sodorin daftar yang super
panjang ... isinya cuma jenis gaun, halaman sekian, harga sekian, dari katalog
Anu,” repet Diba.
Tidak bisa membungkam Diba, Atha memilih
bungkam. Pikiran dan perasaannya sudah cukup teraduk-aduk oleh bermacam
misteri. Kadang-kadang dia ingin hibernasi ... tapi tidak tega.
“Kau mau tahu apa lagi yang dia minta
pada Juragan?” tanya Diba. Pertanyaan yang kemudian dia jawab sendiri.
“Tigabelas perahu motor! Matilah Juragan Tigabelas!”
Atha mendesah. Dirinya juga sama
jengkelnya dengan Diba. Kejengkelannya lantas memanah diri sendiri karena tidak
sanggup memberikan terapi untuk perempuan yang sedang ditopik Diba. Seharusnya
dia bisa menolong perempuan itu—mengajaknya mengobrol ... misalnya. Meskipun
selama ini dia telah menolong banyak orang namun titel Sarjana Psikologi yang
diraihnya dari universitas ternama di Yogyakarta memang bukan ilmu utama yang
dia andalkan. Sepertinya gelar sarjana yang disandangnya sia-sia. Belum pernah
dia menolong siapapun menggunakan ilmu akademiknya, dan dirinya bukan karyawan
instansi atau perusahaan manapun.
Kadang-kadang dia bertanya pada diri
sendiri: untuk apa kuliah jika pada akhirnya dia justru menggunakan kemampuan lain untuk menolong banyak orang?
Melihat Diba hendak merepet lagi, Atha
buru-buru mengalihkan topik, “mau beli apa saja di Hero?” pertanyaan yang tidak
perlu karena setiap tahun mereka memborong jenis barang yang sama. Usahanya
berhasil. Diba terpancing.
“Coba lihat di kantong depan ransel,”
jawab Diba. “Tadi saya minta Magda bikinkan daftarnya.”
Tangan Atha mengeluarkan secarik kertas
dari kantong depan ransel Diba. “Lebih panjang dari Natal tahun kemarin,”
ujarnya. “Om Markus ini siapa?”
Diba terkekeh. “Kau pikir hanya kau saja
yang punya klien baru?”
“Cieeee.” Atha mencubit-cubit lengan
Diba. Menggoda si tukang jalan itu.
“Sudah pergi ke rumah Tanta Anita?”
Atha menggeleng. “Belum sempat. Sudah lima
kali saya tunda pergi ke sana. Kau tahu ... saya paling malas ke rumah klien.
Penghuni-penghuni lainnya itu yang bikin keki! Resek!”
“Hantu bekas manusiaaaa,” nyanyi Diba
dengan irama lagu Rocker Juga Manusia milik Seurieus Band. Atha tergelak.
“Eh ... eh ... bagaimana tadi acara di
Uniflor? Sukses?” tanya atha.
“Sangat sukses!”
“Alhamdulillah
...”
“Mulai sekarang timeline media sosial kita sepi dari makian,” ujar Diba lantas
bersiul jenaka.
“Halah ... paling juga cuma beberapa.”
Atha mencibir.
“Tidak masalah. Yang penting hari ini
saya sudah bagi-bagi informasi dengan mereka,” balas Diba.
“Kau bukan Tuhan yang bisa mengatur
semua orang, Dib. Masing-masing orang punya hak yang sama untuk menggunakan
media sosial,” tegur Atha.
Diba terkekeh, ciri khasnya, lantas
menjawab, “masing-masing orang memang punya hak yang sama untuk menggunakan
media sosial tapi perlu diingat media sosial bukan sekadar tempat curhat dan
makian. Pengguna media sosial harus paham konsekuensi yang bakal mereka terima
jika berani memaki, melecehkan, menghancurkan nama baik, membunuh karakter
orang lain, dan seterusnya ... dan seterusnya ...”
“Ya lah! Kau menang!”
“Ha ha ha ...”
Feroza yang warna birunya telah memudar
itu berhenti di parkiran roda empat Hero Swalayan. Atha menyusuli Diba meloncat
turun.
“Yuk, Bu Diba, kita belanja-belenji,”
ajak Atha, berlagak genit.
“Yuk ... capcus!” sambar Diba.
Udara dingin dari air conditioner menyergap ketika mereka melewati pintu masuk Hero
Swalayan.
“Eh, si Petrus tidak ada kerjaan
mengantar paket tenun ikat, Dib?” tanya Atha saat mereka menitip ransel di
tempat penitipan barang. Feroza yang mereka pakai memang milik Diba namun
sehari-harinya digunakan untuk kebutuhan usaha Diba. Selain bekerja sebagai
supir, Petrus juga bertugas mengantar paket tenun ikat ke jasa pengiriman
barang seperti PT. Pos, Tiki, KGP, maupun JNE.
“Tidak. Hari ini dia free. Semua paket sudah dikirim kemarin,”
jawab Diba seraya menerima nomor kotak penitipan barang. “Kita mulai dari ...
mengambil troli paling besar. Sana ... sana ...” dia mendorong Atha.
Atha dan Diba menghabiskan waktu hampir
tiga jam untuk berbelanja kebutuhan Hari Raya Natal dimana hanya Diba seorang
yang mengambil barang dari rak lantas melemparnya ke troli. Tugas Atha hanyalah
mendorong troli—itupun menggunakan alas seperti tisu. Dia tidak berani
menyentuh barang-barang yang berjejer di rak karena akan membuat kepalanya
pusing tujuh keliling. Anyhoo, mereka
tidak merayakan Natal namun keluarga dari pihak Ine (panggilan Mama dalam
bahasa Ende bagian pesisir) semuanya beragama Katolik. Selain itu beberapa
klien dan para pekerja pun merayakan Natal sehingga bagi mereka tidak ada
bedanya antara Hari Raya Natal dan Hari Raya Idul Fitri. Menjelang dua hari
raya tersebut mereka sama-sama menghabiskan waktu berjam-jam di Hero Swalayan.
Dan pada saat hari raya tiba mereka sibuk bersilaturahmi. Bedanya, saat Hari
Raya Natal mereka lah yang wajib bersilaturahmi ke rumah keluarga, klien, dan
pekerja.
Kesibukan Atha dan Diba tidak berhenti
setelah aksi belanja selesai. Mereka harus mengepak belanjaan dalam paket-paket
hari raya yang akan diantarkan sendiri ke rumah adik-adik Ine, klien, dan para
pekerja. Melakukan semua ini bukanlah beban. Diba menikmatinya seperti saat dia
sedang menikmati sunrise di Gunung
Bromo, atau menapaki anak-anak tangga menuju puncak Danau Kelimutu, atau
memotret komodo. Bagi Atha, melakukan semua ini sama nikmatnya dengan menonton
How to Train Your Dragon (untuk ke sekian kali) sembari menyesap teh beraroma
melati.
“Dibaaa! Lihat itu!” Atha menunjuk
boneka Toothless di rak boneka. “Lucunyaaaa ...” dia gemas. Matanya mengerjap
penuh harap.
“Cukup, darling. Lama-lama kamar kau penuh naga!” Diba menggeleng lantas
menyeret Atha keluar dari lorong boneka dan permainan anak-anak. “Saya heran.
Seharusnya kau lebih suka nonton Tru Calling atau The Listener ketimbang nonton
How To Train Your Dragon—jutaan kali!”
Atha cemberut. Tapi mau tak mau dia
menurut juga.
Menjelang maghrib Atha dan Diba keluar
dari Hero Swalayan sambil menenteng kresek berlogo tempat belanja ini. Di
belakang mereka empat petugas memikul kardus-kardus berisi bekal paket hari
raya dengan wajah nelangsa.
“Kau Sholat Maghrib di mana?” tanya
Diba.
“Di rumah saja.”
“Setelah antar kau ke rumah saya
langsung ke Shadiba’s Corner, sekalian Sholat Maghrib di sana.”
“Kapan barang-barang ini di-packing?”
“Besok. Kalau kau ada waktu, mampirlah
ke Shadiba’s Corner. Saya minta Azul dan Cahyadi bantuin kita packing.”
“Oke.”
***
Bersambung.