Buku bukan sekadar gudang ilmu. Buku adalah gudang informasi yang membuka cakrawala berpikir kita sampai pada titik di mana otak berkata: cukup untuk hari ini, kita lanjutkan besok. Oke, kalimat itu mungkin agak absurd sebagai pembuka. Setidaknya itulah yang muncul di kepala saya saat memulai tulisan ini.
Sudah lama baca Peyempuan 2, dan seperti kebiasaan, selalu mengulang pada halaman-halaman favorit. Halaman-halaman favorit itu kadang menjadi panduan saya berkothbah di hadapan keponakan perempuan, dengan tangan bergerak ke sana ke mari persis tukang obat keliling. Thika Pharmantara, dia keponakan saya, sudah bosan menjadi korban kothbah saya tentang bagaimana perempuan mampu menjaga diri dalam pergaulan. Pergaulan dengan teman kuliah, pergaulan dalam masyarakat, maupun pergaulan dengan teman-temannya Encim (baca: saya) dan teman-temannya Indra Pharmantara. Kalian kan tahu sendiri, betapa sulitnya mendidik dan menjaga anak. Bagi saya, menjaga anak-anak dari (alm) Kakak Toto Pharmantara merupakan berkah karena dapat sekalian belajar menjadi orangtua. Hihihi.
Ternyata menjaga anak membuat kita mampu meyingkirkan egoisme yang dulu menjadi ratu dalam hidup ini. Kurangi jajan, kurangi nongkrong di kafe, kurangi melakukan kegiatan yang tidak berfaedah. Inilah yang membuat kita akan lebih sayang pada orangtua sendiri. Betapa dulu, mereka juga begitu kesulitan menjaga pergaulan anak-anaknya. Betapa dulu, mereka harus adil membagi kue kepada anak-anaknya, bahkan jatah mereka pun harus terbagi. Alhamdulillah jika kalian masih diberi kesempatan untuk menjaga dan merawat orangtua di masa tua mereka. Alhamdulillah!
Kembali pada Peyempuan 2 (kebetulan saya belum punya buku Peyempuan yang lain). Buku ini secara paku halus dan secara paku payung (halus dan menusuk) mengajarkan kepada kaum perempuan untuk lebih menghormati diri sendiri. Istilah kasarnya, perempuan jangan bertingkah 'murahan'. Bukan bermaksud mengajarkan perempuan untuk 'jual mahal', tapi sesuatu yang tidak
murahan pasti jauh lebih baik. Saya tidak menulis 'murah'. Karena, seperti kalimat iklan: murah boleh, asal jangan murahan. Oleh karena itu, buku ini saya rekomendasikan dalam skala lima bintang untuk kalian semua.
Lalu, bagaimana dengan halaman-halaman favorit yang sudah saya singgung di awal pos?
Ia adalah mahkota. Mahkota bagi seorang peyempuan. Bagi raja, mahkota adalah kehormatan dan harga diri. Begitu pula dengan peyempuan. Bagian ini merupakan sesuatu yang tidak ternilai. Terlalu berharga jika harus ditukar dengan rupiah. Terlalu tinggi jika harus dibandingkan dengan rumah dan properti. (Halaman : 160).
Ini adalah halaman saat Peyemp menulis tentang Aku dan Tubuhku. Pembukaan Aku dan Tubuhku sangat memotivasi kaum perempuan untuk menjaga dirinya, menjaga tubuhnya, dengan sebaik-baiknya. Jangan memurahkan tubuh kalian, perempuan, hanya demi rupiah, rumah, dan properti. Mungkin, membaca kalimat di atas, kalian akan langsung mengingat kata: pelakor. Yang rela menghancurkan dirinya dan rumah tangga orang lain demi rupiah dan barang-barang duniawi lainnya.
Tubuh ini terlalu berharga untuk 'diperkosa' atas nama cinta. Dari ujung kuku hingga ujung rambut seorang peyempuan adalah sesuatu yang sangat berharga. Tubuh peyempuan adalah tetesan keindahan yang Tuhan ciptakan. Pada tubuh peyempuan Tuhan titipkan kelemah-lembutan yang identik dengan kasih sayang. Pada tubuh peyempuan Tuhan titip dan percayakan benih-benih kehidupan baru untuk lahir ke dunia. (Halaman: 159).
Jleb banget.
Seperti penelitian kecil-kecilan saya, serta gerilya underground saya, banyak sekali anak perempuan yang bahkan di bawah umur (not 18 yet) sudah berani menyerahkan kehormatan mereka pada laki-laki atas nama cinta. Bukankah seharusnya mereka merelakan kehormatan mereka atas nama kata 'sah' yang diucapkan para saksi usai ijab kabul atau usai diberkati di depan Altar di Gereja? Hanya saja, karena saya bukan orang yang terlalu suka mencampuri, saya hanya bisa bilang itu hak mereka dan harus dapat mereka pertanggungjawabkan kelak. Tanggung jawab ini bukan hanya dengan Tuhan, tapi juga dengan hidup mereka sendiri. Jika hasil penyerahan itu berbuntut kehamilan, maka ada tanggung jawab yang lebih besar yang harus mereka hadapi.
Tapi buku Peyemp 2 tidak semata berbicara tentang tubuh perempuan seperti dua kutipan di atas. Ada banyak aspek lain yang tertuang di sana. Misalnya tentang cinta, tentang mantan, tentang PMS, tentang benalu, bahkan tentang kanker payudara, interaksi dengan followers di akun Twitter-nya, dan lain sebagainya. Ini yang membuat Peyemp 2 berbeda dari buku-buku lain yang membahas tentang perempuan.
Akhir minggu ini ada banyak hal yang bisa kalian lakukan, salah satunya membaca buku Peyempuan 2 ini. Jika sudah membacanya, boleh dibaca ulang dan berbagi halaman favorit kalian di sini. Jika belum, cobalah cari di toko buku atau pinjam sama yang sudah punya. Percaya deh sama saya, terlalu banyak pesan moral yang bisa kalian ambil dari buku bercover hitam oleh Penulis yang bisa kalian colek di Twitter @Peyemp.
Selamat berakhir pekan!
Jangan lupa, besok saya akan pos novel/seri Triplet (Part 4)!
Cheers.
Sudah lama baca Peyempuan 2, dan seperti kebiasaan, selalu mengulang pada halaman-halaman favorit. Halaman-halaman favorit itu kadang menjadi panduan saya berkothbah di hadapan keponakan perempuan, dengan tangan bergerak ke sana ke mari persis tukang obat keliling. Thika Pharmantara, dia keponakan saya, sudah bosan menjadi korban kothbah saya tentang bagaimana perempuan mampu menjaga diri dalam pergaulan. Pergaulan dengan teman kuliah, pergaulan dalam masyarakat, maupun pergaulan dengan teman-temannya Encim (baca: saya) dan teman-temannya Indra Pharmantara. Kalian kan tahu sendiri, betapa sulitnya mendidik dan menjaga anak. Bagi saya, menjaga anak-anak dari (alm) Kakak Toto Pharmantara merupakan berkah karena dapat sekalian belajar menjadi orangtua. Hihihi.
Ternyata menjaga anak membuat kita mampu meyingkirkan egoisme yang dulu menjadi ratu dalam hidup ini. Kurangi jajan, kurangi nongkrong di kafe, kurangi melakukan kegiatan yang tidak berfaedah. Inilah yang membuat kita akan lebih sayang pada orangtua sendiri. Betapa dulu, mereka juga begitu kesulitan menjaga pergaulan anak-anaknya. Betapa dulu, mereka harus adil membagi kue kepada anak-anaknya, bahkan jatah mereka pun harus terbagi. Alhamdulillah jika kalian masih diberi kesempatan untuk menjaga dan merawat orangtua di masa tua mereka. Alhamdulillah!
Kembali pada Peyempuan 2 (kebetulan saya belum punya buku Peyempuan yang lain). Buku ini secara paku halus dan secara paku payung (halus dan menusuk) mengajarkan kepada kaum perempuan untuk lebih menghormati diri sendiri. Istilah kasarnya, perempuan jangan bertingkah 'murahan'. Bukan bermaksud mengajarkan perempuan untuk 'jual mahal', tapi sesuatu yang tidak
murahan pasti jauh lebih baik. Saya tidak menulis 'murah'. Karena, seperti kalimat iklan: murah boleh, asal jangan murahan. Oleh karena itu, buku ini saya rekomendasikan dalam skala lima bintang untuk kalian semua.
Lalu, bagaimana dengan halaman-halaman favorit yang sudah saya singgung di awal pos?
Ia adalah mahkota. Mahkota bagi seorang peyempuan. Bagi raja, mahkota adalah kehormatan dan harga diri. Begitu pula dengan peyempuan. Bagian ini merupakan sesuatu yang tidak ternilai. Terlalu berharga jika harus ditukar dengan rupiah. Terlalu tinggi jika harus dibandingkan dengan rumah dan properti. (Halaman : 160).
Ini adalah halaman saat Peyemp menulis tentang Aku dan Tubuhku. Pembukaan Aku dan Tubuhku sangat memotivasi kaum perempuan untuk menjaga dirinya, menjaga tubuhnya, dengan sebaik-baiknya. Jangan memurahkan tubuh kalian, perempuan, hanya demi rupiah, rumah, dan properti. Mungkin, membaca kalimat di atas, kalian akan langsung mengingat kata: pelakor. Yang rela menghancurkan dirinya dan rumah tangga orang lain demi rupiah dan barang-barang duniawi lainnya.
Tubuh ini terlalu berharga untuk 'diperkosa' atas nama cinta. Dari ujung kuku hingga ujung rambut seorang peyempuan adalah sesuatu yang sangat berharga. Tubuh peyempuan adalah tetesan keindahan yang Tuhan ciptakan. Pada tubuh peyempuan Tuhan titipkan kelemah-lembutan yang identik dengan kasih sayang. Pada tubuh peyempuan Tuhan titip dan percayakan benih-benih kehidupan baru untuk lahir ke dunia. (Halaman: 159).
Jleb banget.
Seperti penelitian kecil-kecilan saya, serta gerilya underground saya, banyak sekali anak perempuan yang bahkan di bawah umur (not 18 yet) sudah berani menyerahkan kehormatan mereka pada laki-laki atas nama cinta. Bukankah seharusnya mereka merelakan kehormatan mereka atas nama kata 'sah' yang diucapkan para saksi usai ijab kabul atau usai diberkati di depan Altar di Gereja? Hanya saja, karena saya bukan orang yang terlalu suka mencampuri, saya hanya bisa bilang itu hak mereka dan harus dapat mereka pertanggungjawabkan kelak. Tanggung jawab ini bukan hanya dengan Tuhan, tapi juga dengan hidup mereka sendiri. Jika hasil penyerahan itu berbuntut kehamilan, maka ada tanggung jawab yang lebih besar yang harus mereka hadapi.
Tapi buku Peyemp 2 tidak semata berbicara tentang tubuh perempuan seperti dua kutipan di atas. Ada banyak aspek lain yang tertuang di sana. Misalnya tentang cinta, tentang mantan, tentang PMS, tentang benalu, bahkan tentang kanker payudara, interaksi dengan followers di akun Twitter-nya, dan lain sebagainya. Ini yang membuat Peyemp 2 berbeda dari buku-buku lain yang membahas tentang perempuan.
Akhir minggu ini ada banyak hal yang bisa kalian lakukan, salah satunya membaca buku Peyempuan 2 ini. Jika sudah membacanya, boleh dibaca ulang dan berbagi halaman favorit kalian di sini. Jika belum, cobalah cari di toko buku atau pinjam sama yang sudah punya. Percaya deh sama saya, terlalu banyak pesan moral yang bisa kalian ambil dari buku bercover hitam oleh Penulis yang bisa kalian colek di Twitter @Peyemp.
Selamat berakhir pekan!
Jangan lupa, besok saya akan pos novel/seri Triplet (Part 4)!
Cheers.