Foto: Yulastriany (Acie).
Foto di atas merupakan hasil bidikan
Yulastriany atau Acie; teman seperjalanan saya satu tim (saya lupa nomor
tim-nya, yang saya ingat kami masuk dalam keberangkatan Kloter II dan menamakan
tim ini Ninja Hatori) di Perkebunan Teh milik PT. Perkebunan Nusantara VIII
yang beralamat di Jalan Sindangsirna No. 4 Bandung di Jawa Barat, ketika
memenangkan kompetisi Petualang Aku Cinta Indonesia (ACI) besutan DetikDotCom. Di
Pengalengan sendiri setidaknya ada 7 pabrik pengolahan teh milik PT. Perkebunan
Nusantara VIII dan yang kami kunjungi adalah Perkebunan Teh Malabar. Saya masih
ingat komentar Acie waktu itu, “Saya suka hasilnya, Teh. Banyak warna ...
hijau, biru, merah, putih!”
Apa maka (istilah Orang Ende untuk: memangnya
kenapa) tiba-tiba saya memajang foto tersebut? Ini sih gara-garanya Mamatua dan
Tanta Sia (asisten Mamatua yang pali setia, sesuai dengan namanya Siatia #eh)
yang berkomentar pedas soal kualitas teh yang kami minum sehari-hari. Oke, saya
mengaku, asal-muasalnya memang dari saya ... si pencari cahaya
gara-gara.
Saya: Tanta Sia eee. Ini teh baru atau lama?
Maksud pertanyaan saya adalah apakah Tanta Sia
setega itu menyeduh teh bekas pakai untuk saya?
Tanta Sia: Heee jangan cari gara-gara eee. Itu teh baru.
Saya: Kenapa warnanya begini niiiii????
Mamatua: Jaman sekarang kualitas teh-nya rendah!
Saya dan Tanta
Sia: *saling pandang*
Keluarga kami adalah keluarga peminum. Bukan
peminum moke (tuak khas daerah timur)
melainkan peminum teh dan kopi. Dulunya kami selalu punya ritual minum teh atau
kopi pagi dan sore, tentu ditemani cemilan-cepuluh-cebelas khas pabrik (baca:
Khong Guan) atau pisang goreng. Sekarang, setelah rumah ini hanya dihuni oleh
Mamatua dan saya, ritual minum teh (kopi hanya sesekali jika saya sedang ingin)
pagi dan sore tetap berlangsung meskipun sudah tidak bersama-sama. Maksudnya
dengan tidak bersama-sama adalah saya minum teh sambil bekerja di studio
sedangkan Mamatua minum teh sambil main congklak di meja andalannya.
Merek teh yang kami minum pun bermacam-macam.
Dulunya wajib teh rendam Golpara dan Bandulan. Saya sendiri lebih memilih
Golpara karena rasanya lebih nendang gimanaa gitu. Lagipula dedaunan teh
Golpara lebih besar ketimbang Bandulan yang serpih-serpih itu sehingga
memudahkan saya yang malas ini dalam menyaring (alesyan!). Seiring berjalannya
waktu, tanpa hitam di atas putih, Mamatua dan saya kompak memilih teh celup
merek Sari Wangi. Alasannya? Karena kios-kios langganan di sekitar kompleks
rumah dengan kejam meniadakan teh merek Golpara dan memasok teh Sari Wangi.
Haha. Sesimpel itu sih alasannya. Dan ... lidah kami pun terbiasa.
Sayangnya, seperti kata Mamatua, seakan-akan
kualitas teh itu menurun. Dulunya untuk satu mug teh saya cukup saja dengan
satu kantung teh, tapi sebulan terakhir saya harus menyelup dua kantung teh
(yang dibiarkan terendam di dalam mug sampai tegukan terakhir). Kuping saya
sudah kebal sama omelan Tanta Sia soal stok teh di stoples yang selalu lebih
cepat tandas, “Minta uang ... daun teh habis!” begitu Tanta Sia kalau bete
ketika hendak menyeduh teh, eeeh teh-nya wassalam. Maklum, perempuan baik hati
itu harus rela pergi ke kios untuk membeli stok teh lagi.
Sebagai orang awam (eits, jangan dibaca orang
gila ... tulisannya ‘awam’ bukan ‘gila’ :P) saya tidak tahu apakah dan
bagaimanakah kualitas teh. Yang saya tahu, warna teh-nya tidak sekental dulu
sehingga untuk mendapatkan teh-hitam a la saya, tak cukup lagi sekantung teh
celup Sari Wangi melainkan dua. Namun, sebagai orang awam saya cukup tahu soal
proses pembuatan teh karena pernah berjalan-jalan di perkebunan dan pabrik
pembuatan teh itu sendiri. Lantas, bagaimanakah proses pembuatan teh hingga
sampai ke dalam mug teh kita? Boleh ya saya bercerita sedikit, berdasarkan
hasil pandangan mata *tsah* dan wawancara sama Pak Agus dari perkebunan dan
pabrik teh Malabar.
Cekidot!
Daun teh yang telah dipetik (lihat foto, oleh
ibu-ibu bertopi itu), awalnya melewati proses pelayuan yang memakan waktu 18
jam di sebuah tempat berbentuk persegi empat panjang bernama withered trough. Setiap 4 jam daun teh
dibalik secara manual. Masing-masing withered
trough memuat 1 - 1,5 ton daun teh. Fungsi dari proses pelayuan ini adalah
untuk menghilangkan kadar air sampai dengan 48%. Daun-daun teh yang sudah layu
kemudian dimasukkan ke dalam gentong dan diangkut menggunakan monorel ke tempat
proses berikutnya. Dari monorel, daun-daun teh dimasukkan ke mesin
penggilingan. 1 mesin memuat 350 kg daun teh dan waktu untuk menggiling adalah
50 menit. Setelah digiling, daun teh dibawa ke tempat untuk mengayak. Proses
untuk mengayak ini terjadi beberapa kali dengan hasil hitungan berdasarkan
jumlah mengayak: bubuk 1, bubuk 2, bubuk 3, bubuk 4 dan badag.
Proses berikutnya adalah fermentasi. Bubuk 1
sampai bubuk 4 difermentasi dalam waktu berbeda :
Bubuk 1 = 120 menit
Bubuk 2 = 80 menit
Bubuk 3 = 60 menit
Bubuk 4 = 50 menit
Sementara itu hasil ayakan terakhir yaitu
badag tidak melewati proses fermentasi. Badag dan bubuk-bubuk yang telah
melewati proses fermentasi kemudian dibawa ke ruangan berikutnya untuk
dikeringkan. Lamanya proses pengeringan adalah 23 menit dengan suhu 100 derajat
Celcius. Bahan bakar untuk proses pengeringan ini adalah kayu dan batok kelapa
untuk rasa yang lebih enak. Nah, ini saya jadi ingat bedanya memasak
menggunakan tungku berbahan bakar kayu api dengna memasak menggunakan kompor
berbahan bakar minyak tanah. Jelas, menggunakan tungku menghasilkan citarasa
yang lebih maknyus!
Usai dikeringkan daun teh dibawa ke ruang
sortasi. Ada 3 jenis pekerjaan yang dilakukan di ruang sortasi. Pertama;
memisahkan daun teh yang hitam dan yang merah dengan menggunakan alat yang
disebut vibro. Kedua; memisahkan yang besar dan yang kecil. Ketiga; memisahkan
yang berat dan yang ringan. Setelah semua proses selesai dikerjakan maka
daun-daun teh harus diperiksa dulu (quality
control). Bila daun teh tersebut memenuhi standar maka akan dikemas di
tempat penyimpanan sementara (disimpan di dalam tong plastik berukuran besar).
Bila sudah siap untuk dipasarkan, contohnya diekspor, maka daun teh yang siap
dipasarkan tersebut akan dikemas ke dalam papersack.
Yang perlu diingat adalah dari semua
pengolahan teh, selalu ada arsip atau contoh untuk menghadapi klaim dari pihak
luar atau konsumen.
Informasi Pak Agus, proses pengolahan teh
secara keseluruhan adalah 24 jam. Dimulai dari proses pelayuan hingga
pengepakan. Dan, Anda tidak perlu ragu karena teh hasil olahan dari Perkebunan
Teh Malabar berkualitas baik. Hal ini dibuktikan dengan standarisasi yang
mereka ikuti saat ini; sistem ISO 9000. Bila ada kenaikan standarisasi lagi,
Perkebunan Teh Malabar pasti akan menurutinya.
Tulisan soal pengolahan teh ini juga pernah
dimuat di DetikTravel waktu masa-masanya ACI2010 dulu.
Ini pengalaman saya meminum teh ... apakah
Anda juga merasakan hal yang sama? Bahwa (sekarang ini) satu kantung teh saja
tidak cukup? Kalau saya lihat-lihat lagi, sepertinya mug teh saya yang kegedean
... memang :P
Aaaah ... jadi kangen keliling Jawa Barat
lagi!
Ada yang mau bayarin saya ... lagi?
:D