Salah satu pakaian adat dari Kabupaten Manggarai. Pakaian ini yang dipakai juga oleh para penari (perempuan) dalam kegiatan wisuda. Foto diambil dari sini.
5 koma 3 (lima tahun,
tiga bulan) saya bekerja di UPT Publikasi dan Humas (dulunya bernama Lembaga
Publikas) Universitas Flores (Uniflor). Setiap tahun, Uniflor menggelar dua
kali wisuda yaitu pada (akhir) Maret atau (awal) April, dan pada (akhir)
Oktober atau (awal) (November). Sejak menjadi staff
UPT P&H sampai dengan konten ini ditulis, saya selalu menjadi bagian dari
kegiatan wisuda yaitu menjadi anggota Sie Dokumentasi dan Publikasi Wisuda
Sarjana Universitas Flores yang tugasnya mengurus wartawan dalam kegiatan
konferensi pers dan peliputan kegiatan wisuda, (dulu selama tiga tahun pernah)
menghubungi RRI untuk siaran langsung kegiatan wisuda, memilah-milih fotografer
dari sekian banyak proposal fotografer yang masuk dan membuat Surat Perjanjian
Kerjasama, membereskan segala sesuatu yang berkaitan dengan Sie Dokumentasi dan
Publikasi pada hari wisuda, hingga (satu bulan kemudian) melayani para Sarjana
yang hendak mengambil foto pemindahan kucir.
Uniflor itu unik. Kenapa
unik? Karena mahasiswa Uniflor datang dari semua suku/etnis yang ada di Pulau
Flores dan sekitarnya; ada Orang Manggarai, Orang Bajawa, Orang Ende, Orang
Maumere, Orang Larantuka, dan lain-lainnya. Kondisi ini yang menjadi
pertimbangan pihak Uniflor dalam memilih tema wisuda sehingga setiap periode
tema wisuda selalu berganti-ganti antara Manggarai, Ngada, Nagekeo, Ende,
Sikka, Flores Timur, Pulau Lembata, dan lain-lainnya. Pernah juga tarian dari
Pulau Sumba namun belum pernah saya menyaksikan tema dari luar Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Ini yang juga saya sukai dari kegiatan wisuda; menyaksikan para
penari mengiringi wisudawan dari areal parkir menuju Auditorium H. J. Gadi Djou
(Kampus I Uniflor), lantas sambil menunggu semua wisudawan masuk dan duduk para
penari melanjutkan tarian mereka di panggung atau di depan audiens. Kadang-kadang
saya suka mengabadikan tarian-tarian tersebut (video) tapi kadang-kadang saya
hanya menonton (karena beberapa tarian menjadi sangat membosankan—monoton).
Sabtu kemarin (9/4)
pagi-pagi sekali saya sudah siap ke Auditorium H. J. Gadi Djou karena wisuda
akan dimulai pukul 09.00 Wita. Di dalam ransel (ransel baru nih :p haahaha)
sudah duduk manis Nikon D5100 bekal foto dan handycam Sony bekal video. Sambil menunggu acara dimulai saya mulai
mengecek kehadiran wartawan, tiras pesanan, teman-teman dari RRI, dan
lain-lain. Hingga pada akhirnya acarapun dimulai. Wah, saya tidak boleh
ketinggalan nih, karena ada yang unik dari kegiatan wisuda kali ini yaitu
PENARINYA. Ya, biasanya penari pengiringnya ya yang seperti saya bilang
(begitu-begitu saja) karena mungkin MEREKA TIDAK BISA MEMBEDAKAN ANTARA SENI
PERTUNJUKKAN DENGAN RITUAL ADAT sehingga tariannya menjadi agak membosankan
karena monoton. Seni pertunjukkan punya maksud untuk menghibur, bukan untuk
sekadar memuliakan leluhur (dalam tatanan adat). Jadi, ada bedanya kan? Inilah yang belum sepenuhnya dipahami oleh
masyarakat sehingga gunjingan mereka terbaca/terdengar melebihi prestasi yang
pernah mereka berikan pada daerahnya sendiri *iya, ini kalimat sindiran
paling pedas untuk orang-orang yang suka menggunjing prestasi orang lain*.
Adalah Rikyn Radja,
penari kondang Kota Ende, bersama kelompoknya (Oh ya, mereka tergabung di dalam
Sanggar Cindy besutan Kakak Lin Rewa yang beralamat di Kelurahan Onekore) menjadi penari pengiring wisudawan pada
Sabtu kemarin. Luar biasa. Mereka sangat total baik itu dari pakaian, make-up, apalagi gerak-tubuh; seperti biasanya jika mereka sedang tampil. Bagi saya
kehadiran para penari kece yang bakal berangkat ke Darwin mewakili Indonesia ini merupakan BOM paling dahsyat yang diledakkan di
Uniflor. Saya baru melihat pada Sabtu kemarin betapa Auditorium H. J. Gadi
Djou terlihat begitu meriah dengan tarian yang megah apalagi pada akhir lagu
salah seorang penari wanita, Yoan, diangkat oleh para penari laki-laki dimana
tangan Yoan memegang papan segi-empat bergolo Uniflor. Yay! Kejutan itu membuat Auditorium dipenuhi suara tepuk tangan. Kece lah. Saya suka
lah. Saya rasa semua orang suka. Jikalau ada yang tidak suka, coba tolong cek
lagi hatinya jangan-jangan tumbuh kanker.
Lagu yang dipakai
oleh Rikyn untuk mengiringi tarian mereka berjudul Benggong. Sebuah lagu asal Manggarai yang kini menjadi lebih ngetop setelah diaransemen dan
dinyanyikan ulang oleh Ivan Nestorman (kalau ada yang belum tahu siapa Ivan Nestorman, Googling sana :p). Waktu Rikyn memintai saya mengedit lagu
bakal tarian mereka ini, kami sempat bertanya-tanya apakah arti dari Benggong tersebut?
Pencarian pada peramban Chrome *gile, bahasa saya* mengantar saya pada sebuah blog
*silahkan klik*. Banyak hipotesa tentang lagu Benggong di blog tersebut. Berikut
ini saya kutip paragraf terakhirnya:
Sesungguhnya saat diskusi itu kami tidak dapat mencapai kata sepakat sama sekali mengenai penafsiran atas lagu tradisional Benggong ini. Tetapi kami tidak ngotot mempertahankan pendapat kami masing-masing. Mungkin karena kami sadar kami sedang berurusan dengan masa silam yang serba kelam. Selanjutnya dalam refleksi pribadi saya cenderung untuk tidak memilih salah satu hipotesis sebagai kebenaran. Saya cenderung untuk tetap mengakomodasi kedua penjelasan dan penafsiran itu karena saya beranggapan dan berkeyakinan bahwa kedua pendekatan itu pasti bisa dipakai dan berguna untuk memaknai dan menafsirkan kembali lagu klasik Manggarai ini. Saya berharap agar di masa depan hipotesis ini bisa ditingkatkan menjadi sebuah tesis, kalau boleh bisa menjadi sebuah teori sosial yang pasti. Saya berharap generasi muda Manggarai, dengan bekal hermeneutik yang lebih baik dari saya sekarang, bisa melakukan hal itu dengan lebih baik.
Terimakasih Ata Manggarai untuk penjelasan komplit di blog-nya tentang lagu Benggong ini.
Benggong menjadi lagu paling favorit saat kegiatan wisuda periode April 2016 kemarin karena selain tarian pengiringnya menggunakan lagu ini, paduan suara juga menyanyikan lagu ini dengan harmonisasi yang tinggi. Kalau untuk urusan paduan suara, paduan suara Uniflor punya kualitas superb. Suka sekali mendengar suara para mahasiswa/mahasiswi dalam paduan suara tersebut. Osom lah.
Kita tunggu Oktober nanti ... tema apa yang akan diusung :)
Ah, semoga penarinya masihlah Rikyn Radja dan kawan-kawan.
*tulis Amen kalau setuju!* :p
Wassalam.
Waaaah...aku baru pernah dengar dalam wisuda ada pertunjukan tari. Jdi ngga bosen, ya. Ngga melulu sambutan. :D
BalasHapus